Dalam konteks modern, karya ini menunjukkan bahwa semangat pembebasan perempuan sedang sangat bergejolak, bahkan rujukan terhadap gerakan feminis dan pembebasan perempuan serupa dengan para pendahulu perempuan muslim kita yang diberi hak-hak khusus dari gambaran perjuangan. Kebebasan menjalankan profesi yang sangat berpengaruh dalam kerangka kesadaran beragama dan nilai-nilai agama. Nilai-nilai Islam menjaga harkat dan martabat perempuan. Ajaran Islam tentang perempuan seolah-olah membiarkan perempuan menjadi perempuan modern dengan berfungsi layaknya manusia biasa, namun juga menjadi diri sendiri, mempunyai harga diri dan martabat, akhlak dan yang terpenting, diasumsikan bahwa hamba-hamba itu harus tetap dipertahankan.
Di sisi lain, banyak permasalahan yang dihadapi umat Islam khususnya perempuan dan tidak semua permasalahan yang ada dapat diselesaikan. Solusi ini diterima karena makn amansipasi, yang sepenuhnya sesuai dengan semangat tradisi dan ajaran Islam, belum sepenuhnya dipahami. Banyak aktivis pembebasan perempuan, serta aktivis feminis muslim, dengan dalih banyaknya persamaan hak yang seharusnya dirasakan oleh perempuan muslim, meskipun mereka perempuan, tidak berupaya untuk memilih mereka berdasarkan etika Islam. Emansipasi perempuan dari Barat tanpa seleksi dalam perspektif etika islamTerkadang hal ini bertentangan dengan posisi pengajaran normatif islam. Hal ini misalnya terjadi ketika para filsuf muslim bersentuhan dengan prinsip dan ajaran filsafat Yunani melalui keyakinan islam mereka, dan sebagian besar filsuf muslim tidak menerima 100 persen seluruh tradisi pemikiran Yunani.
Jika ada unsur-unsur dalam gagasan dan tradisi Yunani yang bertentangan dengan prinsip-prinsip ajaran islam, maka mereka secara selektif menolaknya, namun ajaran filsafat, itu sesuai dengan semangat islam maka terus dikembangkan demi kemajuan pengajaran itu sendiri. Gerakan emansipasi perempuan muslim modern harus dihidupkan kembali dengan meniru pola transmisi pemikiran yang sangat selektif yang dikembangkan oleh para ulama periode klasik dalam menghadapi ideologi sekuler Yunani-Hellenistik.
 Dimana mereka melakukan seleksi yang ketat terhadap teks-teks dan wacana intelektual yang dianggap canggih pada saat itu. Dengan demikian, semangat emansipasi tetap terjaga sesuai dengan prinsip-prinsip ajaran Islam, sehingga ajaran pembebasan tidak berlebihan dan menjadi gerakan sekuler yang tidak mengikuti etika islam yang dianut seluruh umat Islam. Cara yang efektif adalah dengan meningkatkan kesadaran gender para aktivis emansipasi perempuan muslim yang berpegang teguh pada ajaran suci ajaran islam dan menyadarkan mereka akan pentingnya pendidikan untuk menghindari perbedaan besar dalam peran perempuan.
Dalam banyak perbincangan publik pada era modern ternyata perjuangan persamaan gender yang telah lama didengungkan, secara realitas mennujukkan bahwa peran perempuan dalam perspektif persamaan hak dan kedudukan dengan laki-laki telah sedemikian maju dan berkembang. Hal ini tidak bisa dilepaskan dari adanya kesadaran dari kaum perempuan itu sendiri mengenai arti penting pendidikan bagi masa depan umat manusia khusunya perempuan muslim, dalam mengahadapi persaingan kerja dan karir yang setara dengan laki-laki.
Dalam konteks sejarah paling tidak peran perempuan di bidang pendidikan telah dilakukan oleh isteri Nabi Muhammad SAW, seperti peranan Siti Aisyah r.a, yang terkenal karena kecerdasannya dan jasanya dalam meriwayatkan beberapa hadits. Kemudian pada masa Dinasti Fatimiyyah di Mesir, yang mewakili kekuatan politis representasi gender dalam politik Islam. Dinasti ini tercatat sebagai Dinasti yang mengembangkan kajian Kelslaman Madzhab Syiah di Mesir dengan mendirikan Jami' al-Azhar sebagai cikal bakal Universitas Al-Azhar yang menjadi pusat pengembangan pendidikan dan keilmuan pada masanya.
Azyumardi Azra memberitahu bahwa perhatian ulama tentang peran penting perempuan Islam dalam bidang pendidikan dan keilmuan islam telah digambarkan secara menarik oleh beberapa ulama terkenal. Sebagaimana yang ditulis oleh sejarawan muslim, al-Khatib al-Baghdadi dalam kamus biografinya berjudul Tarikh Baghdad, memuat biografi sejumlah ulama perempuan. Begitu juga al- al- Sakhawi menulis beberapa kamus biografi tokoh-tokoh abad ke-15 terutama Daw' al-Lami', khusus tentang perempuan yang diberi judul Kitab al-Nisa'. Dalam terakhir diberikan biografi sekitar 1075 perempuan, 411 orang diantaranya mempunyai pendidikan agama yang tinggi. (Azra, 1999)
Bahkan Salabi memberikan data tentang jumlah ulama perempuan yang mencapai 1543 dalam kitab al- Ishabah fi Tamyiz al-Shahabah karya Ibnu Hajar. Begitu dalam kitab Tahzib al-Asma' karya an-Nawawi menyebut bahwa jumlah ulama perempuan cukup besar pada era klasik Islam. (Azra, 1999)
Di Indonesiaan sebenarnya ulama-ulama perempuan yang konsen dan mempunyai perhatian terhadap pendidikan bisa disebutkan misalnya di Kerajaan Aceh pernah diperintah beberapa Sultanah, yang mempunyai kekuatan politis juga kepakaran di bidang ilmu agama islam, dan perhatian yang besar terhadap keberlangsungan agama islam melalui jalur pendidikan islam dan dakwah islam. Pada abad ke-20 muncul beberapa aktifis pendidikan islam seperti Nyai Ahmad Dahlan, dan beberapa Nyai (ulama perempuan) yang berkiprah dalam pesantren-pesantren tradisional. Bahkan tokoh emansipasi perempuan di Indonesia RA. Kartini menurut penelitian terakhir, beliau juga pernah nyantri pada ulama terkenal di Jawa Tengah, yang juga turut menginspirasi kesadarannya untuk memperjuangkan pendidikan bagi kaum perempuan. Di samping tentunya interaksi Kartini dengan teman-temanya di Belanda. Yang menarik adalah temuan bahwa kartini sebagai bangsawan perempuan Jawa yang beragama islam, juga mendapat pendidikan pesantren, dan dianggap kuat dalam kepribadiannya dalam mengangkat derajat perempuan di bidang pendidikan. Dalam beberapa situs hasil penelitian mengengungkapkan bahwa RA. Kartini pernah belajar agama Islam (nyantri) kepada Kyai Soleh Darat, namun hal itu tidak pernah ditulis dalam sejarah biografi Kartini, karena sengaja digelapkan oleh Orientalis. (Arrahmah, 2015) Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Interaksi Kartini dengan Kyai Soleh Darat tertarik untuk menerjemahkan al-Qur'an ke dalam bahasa Jawa atas insprirasi RA Kartini.
Kesimpulan
Para ulama sebenarnya telah memperjuangkan kesetaraan gender dalam Islam demi mewujudkan ajaran Islam yang berlandaskan semangat Al-Qur'an dan Hadits. Perjuangan kesetaraan gender dalam bidang pendidikan Islam juga dilakukan sejak zaman Nabi Muhammad SAW hingga pada era modern. Namun secara obyektif, dalam konteks sejarahnya, feminisme atau gerakan pembebasan perempuan tidak hanya populer di dunia Barat, namun juga di kalangan aktivis muslim yang sejalan dengan gerakan gender yang menuntut persamaan hak antara laki-laki dan perempuan dalam segala bidang.