Oleh karena itu, tidak heran jika di dalam Al-Quran, perempuan mendapat perhatian khusus bahkan secara khusus dicadangkan sebagai nama salah satu surat dalam Al-Quran, khususnya surat an-Nisa', karena sebenarnya pada masa jahiliyah saat itu, perempuan tidak punya hak asasi manusia sebagai makhluk Allah SWT. Dalam konteks pendidikan global, tidak mungkin memisahkan isu-isu terkait gender dan pembebasan perempuan, terutama peran dan status perempuan dalam pendidikan serta persamaan hak antara laki-laki dan perempuan dalam mengakses dan berpartisipasi dalam pendidikan dan pengajaran. Sebagai agama universal, Islam memandang manusia mempunyai persamaan hak dan kewajiban, laki-laki dan perempuan.
 Artikel ini akan mencoba mengangkat isu kesetaraan gender, keadilan gender atau pembebasan perempuan sebagaimana yang diperjuangkan oleh gerakan feminis dalam konteks pendidikan dan menjelaskan secara meyakinkan visi Islam dalam bidang keadilan gender dalam konteks sudut pandang dan sejarah. Dan artikel ini diharapkan bermanfaat bagi semua orang dalam memahami kesetaraan gender khususnya dalam pandangan agama islam.
Metode Penelitian
Metode penelitian pada artikel ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan metode studi pustaka (library research) yaitu metode dengan pengumpulan data dengan cara memahami dan mempelajari teori-teori dari berbagai literatur yang berhubungan dengan penelitian tersebut. Studi pustaka juga dapat diartikan sebagai serangkaian kegiatan yang berkaitan dengan pengumpulan data perpustakaan, membaca dan mencatat bahan penelitian serta metode mengolahan. Dalam penilitian kepustakaan, setidaknya ada empat ciri pwnting yang harus diperhatiakan. Pertama, penulis bekerja secara langsung dengan teks atau data numerik, bukan dengan keahlian langsung. Kedua, data perpustakaan bersifat "siap pakai" artinya penulis tidak perlu terjun langsung ke lapangan. Ketiga, data pustaka ini umumnya sumber data sekunder, artinya peneliti memperoleh bahan dab data secara sekunder, bukan data asli yang diperoleh langsung di lapangan. Keempat keadaan data perpustakaan tidak dibatasi oleh waktu. (Zed, 2003)
Pengumpulan data tersebut menggunakan cara mencari sumber dan mengkontruksi dari berbagai sumber contohnya seperti buku, jurnal dan riset-riset yang pernah dilakukan. Bahan pustaka yang didapat dari berbagai referensi tersebut dianalisis secara kritis dan harus mendalan agar dapat mendukung proposisi dan gagasannya.
Hasil dan Pembahasan
Dalam perspektif sejarah Islam, posisi perempuan perlu diapresiasi lagi dengan  membuka catatan sejarah mengenai posisi perempuan pada masa pra-islam di kawasan Arab atau dengan kata lain situasi di Arab pra-islam, karena hal ini akan memberikan gambaran yang lebih obyektif mengenai hubungan hukum islam dengan  hukum Arab pra-islam atau kondosi normatif kaum Arab jahiliyah. Dalam bidang kehidupan bermasyarakat, masyarakat jahiliyah mempunyai hukum perkawinan, hukum waris, perdagangan, dan lain-lain. Hukum jahiliyah tentang perkawinan dan warisan menganggap perempuan tidak berharga. Laki -laki boleh menikahi perempuan sebanyak-banyaknya tanpa mahar dan tanpa batasan. Perempuan tidak berhak menerima warisan dari orang tua atau sanak saudaranya yang telah meninggal, bahkan perempuan menjadi harta warisan. Maka praktik kewarisan dalam islam untuk perempuan, jika dianggap tidak layak dengan proporsi laki-laki maka setidaknya setengahnya. (Zuhri, 1996)
Dalam beberapa kasus, sejak munculnya gagasan perempuan memberikan bagian warisan kepada perempuan dalam ajaran Islam, memicu reaksi keras dari tokoh-tokoh Arab Pra-Islam, yang mempertahankan tradisi jahiliyahnya dengan bersikap bermusuhan bahkan dengan menyatakan perang terhadap Nabi Muhammad SAW karena dianggap berani mencoreng budaya dan tradisi nenek moyang dengan memberikan hak waris kepada perempuan. Ternyata transformasi budaya dan hukum tidak hanya terkait dengan persoalan peran dan kedudukan perempuan yang diperjuangkan Islam, namun juga sosial politik, ekonomi, budaya, dan pendidikan. Misalnya ajarannya ditujukan untuk menolong fakir miskin, fakir miskin dan anak yatim, memerdekakan budak, dan lain-lain merupakan program besar Islam untuk mereformasi tatanan jahiliyah, yang dianggap sebagai revolusi yang mengkhawatirkan bangsawan Arab pra-Islam.
Namun setelah masuknya Islam banyak kritik terhadap islam dalam konteks modern, terutama yang menekankan ajaran Islam yang secara tidak langsung membedakan hak waris laki-laki dan perempuan. Dalam hal ini, Muhammad Qutb mengemukakan bahwa ada dua pandangan tentang konsep Islam tentang status perempuan, yang keduanya tidak sah. Yang Pertama adalah pandangan bahwa Islam memberikan persamaan hak antara laki-laki dan perempuan dalam segala hal. Kedua, pandangan-pandangan jahiliyah yang mengatakan bahwa Islam adalah musuh perempuan, bahwa Islam merendahkan derajat dan kehormatan perempuan, dan masih banyak lagi pernyataan-pernyataan lain yang secara tidak langsung menghina islam. Menurut Qutb, kedua pandangan tersebut dilatarbelakangi oleh kurangnya pemahaman terhadap hakikat ajaran Islam dan sengaja mencampurkan kebenaran dan kebatilan. (Qutb, 1985)
 Menurut Syahrin Harahap, kedua pandangan di atas tidak dijelaskan secara jelas. Dan pandangan yang terlalu longgar terhadap status perempuan, yang tercermin dalam gagasan bahwa emansipasi wanita atau perempuan mempunyai status setara dengan laki-laki dalam segala hal, dipandang sebagai pengaruh dunia Barat yang seringkali tidak sesuai dengan ajaran islam sendiri yang sejak dulu sudah diperjuangkan oleh Nabi Muhammad SAW sebagaimana telah tersurat dalam Al-Qur'an dan Hadist. Pendapat Said Ramadan bahwa gerakan feminis dalam Islam harus tetap pada semangat reformasi status perempuan, sebagaimana diungkapkan sejak awal  dalam Al-Qur'an dan al-Hadits. Karena jika gerakan feminis dalam Islam dilakukan secara membabi buta dengan meniru Barat, lambat laun akan merusak tatanan umat islam itu sendiri akibat kehilangan jati dirinya sebagai seorang muslimah. Karena islam telah menempatkan perempuan dalam posisi yang mulia. (Ramadhan, 1985)
Dalam konteks politik, pada masa Umar bin Khattab, sejarah mencatat ia pernah beradu argumen dengan seorang wanita di masjid. Saat itu, Umar mengakui kesalahannya dan membenarkan wanita tersebut. Secara historis, banyak perempuan yang menduduki posisi puncak di bidang politik dan militer, seperti perempuan yang diperankan oleh Aisyah r.a, kemudian menjadi pengusaha profesional, dan di bidang ekonomi, seperti yang digambarkan oleh Khadijah r.a dan lainnya. (Badawi, 1976)