Jan de Marre, seorang penyair yang ditunjuk oleh pemerintah, memuji daerah ini melalaui syair panjangnya yang bertele-tele dan berlebihan. Seorang Jerman bernama Christopher Fryke yang mengunjungi Batavia pada 1680-an menganggap tempat tersebut lebih indah dari Kota Amsterdam di Belanda.  Tidak heran jika pada saat itu juga Kota Batavia berjuluk "Queen of The East" atau ratu dari timur.Â
Tetapi pada abad ke-18, Kota Batavia mengalami serangkaian kemunduran yang ditandai dengan maraknya perusahaan penggilingan tebu yang tidak mengindahkan aspek ekologi. Sehingga limbah pabrik tebu dan kebiasaan jorok para penghuni yang sebagian besar adalah budak membuat kanal-kanal menjadi keruh serta tidak jarang mengakibatkan banjir dan berbagai macam penyakit yang mengerikan bagi para penduduk di sekitar kanal, yang mayoritas adalah orang Belanda dan Eurasia.Â
Bagi sebagian besar orang Belanda melihat peristiwa ini sebagai kemunduran dari sistem tata kota Batavia yang telah hancur dan tidak sesuai dengan kondisi pada saat itu. Â
Sistem kanal tidak dapat menyelesaikan permasalahan banjir, dan bahkan ironisnya malah memperparah kondisi banjir. Pada awal 1634, sebuah kanal batu karang harus dibangun Â
mengarah ke laut untuk mencegah tertutupnya jalur masuk ke kali akibat endapan pasir. Bertambahnya populasi penduduk juga sangat berpengaruh, dimana kebiasaan membuang sampah sembarangan dan menghiraukan peraturan pemerintah seringkali dilakukan.Â
Walaupun begitu, pemerintah berupaya untuk mengeruk pasir yang mengendap didasar kali dengan bantuan para narapinadana atau sekelompok orang jawa dan budak yang direkrut oleh pemerintah. Tatapi hal itu tidak menghasilkan perubahan yang signifikan. Akibatnya pada pertengahan abad ke-18, sejumlah kanal bahkan diuruk oleh pemerintah karena menimbulkan penyakit seperti malaria dan tifus yang membuat mayoritas masyarakat Belanda meninggal dunia. Sebuah catatan dibuat oleh seseorang pelayar yang berlabuh untuk memperbaiki kapalnya yang rusak pada 1770, Kapten Cock mencatat bahwa pada Oktober, seluruh awak kapal dalam kondisi sehat, tetapi pada Desember, sebagian dari mereka kemudian sakit dan meniggal dunia. "Lebih banyak orang Eropa meninggal karena udara yang tidak sehat di Batavia, dibandingkan di tempat-tempat lain di dunia.....".
Akibat dari peristiwa ini masyarakat Belanda pergi meninggalkan kawasan Oud Batavia (Batavia lama) ke arah selatan kota menuju kawasan yang mereka nilai masih sangat asri dan airnya pun masih belum tercemar. Wilayah yang akan menjadikannya pusat dari permukiman baru, perdagangan, dan kantor administrasi pemerintah Kolonial Belanda. Kawasan inilah yang dikenal dengan sebutan Weltevraden atau dalam bahasa Belanda berarti "sangat memuaskan" lokasinya berdekatan dengan sebuah lapangan luas yang dikenal dengan sebutan Koningsplein (Lapangan Raja), dan setelah kemerdekaan menjadi Lapangan Merdeka. yang merupakan lapangan seluas 1 km x 0,85 km yang membuat mata menjadi decak kagum bagi setiap orang yang memandangnya.
Sejumlah bangunan mewah dan megah saling menghias tata kota di kawasan Weltevraden, lebih tepatnya di sisi kawasan Koningsplein, dimana istana Gubernur Jendral dibangun menyerupai gaya arsitektur Eropa pada abad ke-19. Dimana saat ini istana tersebut dikelola oleh Kementrian Keuangan Republik Indonesia. Selain itu, Gereja berdiri sebagai tempat ibadah kaum minoritas kristen Belanda di Batavia. Tetapi permasalahan pada masa ini lebih kompleks, jika dibandingkan masa sebelumnya. Hal ini dikarenakan Kota Batavia memiliki berbagai kemudahan dalam mencari kehidupan bagi orang-orang pinggiran yang ingin mengais rezeki di kota ini. Dimana populasi orang pribumi yang tinggal di Batava meningkat dua kali lipat pada abad ini, dari sekitar 33.000 orang pada 1815, menjadi hampir 78.000 orang pada tahun 1900-an.
Sementara itu jumlah populasi orang Cina juga bertambah hampir seperempat populasi penduduk. Selama abad ke-19 mereka terus bertambah, hingga hampir dua kali lipat yaitu sekitar 24.000 orang. Sama dengan orang pribumi yang tinggal di Batavia, orang Cina juga memiliki sejumlah kepentingan mendasar sebagai pedagang dan pengusaha besar yang sukses. Tidak heran jika nantinya timbul rasa iri hati dikalangan orang Eropa dan Pribumi dalam hal mencari penghasilan. Bahkan pada tahun 1930, populasi Kota Batavia (termasuk Weltevraden) tumbuh menjadi 435.000, atau tiga kali lipat dari populasi pada tahun 1900.9Â
Tidak seperti orang Belanda dan Cina, orang pribumi bekerja sebagai pegawai rumah tangga, penjual hasil kebun, peternak, dan pembantu bagi orang-orang kaya. Sehingga,karena keterbatasan dana dan ekonomi banyak diantara mereka yang membangun permukiman di daerah pinggiran, khususnya di pinggir Kali Ciliwung. Hal ini lantas mengakibatkan terjadinya kerusakan lingkungan dikawasan pinggiran yang tidak sesuai dengan tata kota pemerintah pada saat itu. Sehingga bencana banjir pun sering melanda perkampungan masyarakat sekitar. Selain masalah kependudukan, masalah yang sangat membuat repot pemerintah Kolonial adalah masalah kesehatan, dimana masalah kesehatan ini timbul karena gaya hidup yang jorok dan kotor yang sering dilakukan oleh masyarakat pinggiran, dan akhirnya meluas ke wilayah pertengahan Kota Batavia. Berbagai penelitian kesehatan dilakukan oleh pemerintah Hindia Belanda yang memperkirakan tingkat kematian dikalangan orang Eropa pada abad ke-19, yaitu dari 228 kematian per 1000 penduduk pada 1819 menjadi 29 kematian pada tahun 1903-1911. 10Walaupun angka ini terlihat menurun tetapi tinggkat kematian ini sangat tinggi jika dibandingkan dengan di Negara Belanda tempat mereka berasal.Penyakit kolera merupakan penyakit yang sangat mematikan pada abad ke-19, dimana sebagian besar penduduk Belanda, Cina, dan Pribumi meninggal dunia akibat penyakit ini. Pada tahun 1864, terdapat sekitar 240 orang Eropa meninggal dunia.11 Sedangkan kematian orang pribumi pada tahun 1903-1908 adalah 48 kematian per 1000 penduduk, anggka ini hampir dua kalilipat jika dibandingkan kematian pada orang Eropa.
Tidak hanya masalah populasi dan beragamnya masalah kesehatan, Kota Batavia juga mengalami permasalahan baru sebagai akibat dari modernisasi transportasi yang sangat pesat perkembangannya di kota ini. Hal ini juga sebagai akibat dari bertambahnya populasi yang turut memaksa agar transportasi memiliki keberagamannya dalam menyediakan kebutuhan penduduk kota tersebut. Pada masanya terdapat berbagai sarana transportasi publik seperti, ratusan mobil, ribuan sepeda (berdasarkan sensus tahun 1937, satu di antara delapan penduduk menggunakan sepeda), 12dan becak pertama dapat ditemui di Kota Batavia tersebut. Hal ini mengakibatkan dibangunnya sejumlah infrastruktur pelengkap seperti, jalan beraspal, jembatan, dan pertokoan yang berakibat pada permasalahan pembebasan lahan yang kadang berujung konflik dengan masyarakat perkampungan di Kota Batavia. Bahkan hingga pada saat ini menjadi salah satu masalah pelik kota ini yan harus diselesaikan oleh para pemempin kota.