Mohon tunggu...
Dian Prasetiorini
Dian Prasetiorini Mohon Tunggu... Human Resources - Busy Mom

Selain aktif bekerja, Dian juga seorang ibu dari dua anak yang selalu mencari keseimbangan antara karier, keluarga, dan waktu untuk dirinya sendiri. Sebagai seorang Aquarius yang kreatif, Dian gemar menuangkan pikirannya ke dalam tulisan, terutama cerita-cerita yang menggambarkan perjalanan emosional manusia.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Peta yang selalu Berubah

2 Februari 2025   10:50 Diperbarui: 2 Februari 2025   14:29 29
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dira membuka matanya saat matahari pagi menyinari celah tirai kamarnya. Suasana tenang, sepi, kecuali suara dentingan jam dinding yang menandakan waktu terus berjalan. Tapi bagi Dira, waktu tidak pernah cukup. Pekerjaan, tugas, dan tanggung jawab yang menumpuk di kepalanya membuat setiap detik terasa berharga. Di luar jendela, angin pagi bergerak pelan, tetapi di dalam hatinya, ada rasa cemas yang tak bisa diredakan.

Hari ini, ada satu hal yang membuatnya merasa sedikit lebih tenang, hari ini adalah hari pertama dari liburan yang telah ia rencanakan selama berbulan-bulan. Setelah bekerja keras, akhirnya Dira bisa mendapatkan waktu untuk dirinya sendiri.

Dia bangkit dari tempat tidurnya dan berjalan menuju meja kerja. Sebuah map tebal terbuka di atas meja, berisi rencana perjalanan ke kota kecil yang ia impikan untuk kunjungi sejak lama. Dira sudah mempersiapkan semua informasi tentang tempat wisata, restoran, dan penginapan. Segala sesuatunya harus sempurna, dan tidak ada ruang untuk kesalahan.

Dira memeriksa tiket bus yang sudah dibooking, kemudian memastikan semua detail perjalanan. Di dalam folder yang sudah dia siapkan, ada dokumen tentang peta kota yang akan ia tuju. Peta yang diprint dengan rapi dan ditandai dengan warna-warni untuk menunjukkan tempat-tempat yang ingin dikunjungi. Dira selalu merasa tenang saat semuanya terorganisir dan sesuai rencana.

Dia memeriksa peta itu sekali lagi, memastikan semuanya sudah siap. Namun, ada yang aneh. Peta yang tadinya terlipat rapi dan tidak bergerak, kini tampak berubah. Dira menyipitkan mata dan melihat dengan lebih seksama. Kota-kota di peta itu bergerak, bukan secara fisik, tetapi seperti berubah tempat. Nama-nama kota yang seharusnya ada di satu lokasi kini menghilang dan muncul di tempat lain. Sebuah jalan yang sebelumnya lurus kini berbelok tajam.

Dira merasa pusing sejenak. "Apa ini? Mungkin aku hanya kelelahan," gumamnya, berusaha mengusir ketegangan. Ia mengernyitkan dahi dan memeriksa kembali peta tersebut, berharap apa yang dilihatnya tadi hanya khayalan semata. Tetapi saat ia kembali menatapnya, peta itu berubah lagi. Nama kota yang seharusnya ada di sebelah utara, tiba-tiba muncul di tengah-tengah, seolah-olah peta itu hidup dan bergerak mengikuti irama waktu.

Hatinya berdebar. Apa yang terjadi dengan peta ini? Dira mencoba menekan perasaan takutnya dan memutuskan untuk tidak panik, meskipun ia merasa aneh. Tapi semakin ia memeriksa peta itu, semakin jelas bahwa ada sesuatu yang lebih besar sedang terjadi. Rencananya yang telah disusun dengan cermat mulai terasa rapuh. Ia tidak tahu mengapa, tapi dia merasa bahwa dunia ini tidak lagi sejelas dan sebaik yang dia bayangkan.

Mungkin ini semua hanya kebetulan. Tapi sebuah pertanyaan tiba-tiba muncul dalam benaknya: Apakah perjalanan ini akan tetap sesuai rencana? Dia menatap peta itu sekali lagi, lalu menutupnya dengan cepat. "Sudah, tidak usah terlalu dipikirkan," katanya pada dirinya sendiri, mencoba menenangkan pikiran yang semakin kacau. "Semua akan baik-baik saja. Aku hanya harus mengikuti rencana."

Dira menarik napas panjang, berusaha mengusir kegelisahan di dadanya. "Aku akan tetap pergi," bisiknya, mencoba meyakinkan dirinya sendiri. "Rencana ini sudah terlalu lama aku tunggu. Tidak ada alasan untuk membatalkannya."

Namun, entah mengapa, dia tidak bisa menghilangkan perasaan bahwa peta yang dia pegang bukan hanya tentang arah atau tujuan. Peta itu dan perubahan yang terjadi mungkin membawa pesan yang lebih dalam tentang perjalanan hidupnya. Sebuah pesan yang, meskipun belum ia mengerti sepenuhnya, membuat hatinya semakin ingin tahu.

Pagi berikutnya, Dira berusaha melanjutkan hari dengan normal. Seperti yang sudah direncanakan, ia menyiapkan segala sesuatunya untuk perjalanan yang sudah direncanakan jauh-jauh hari. Tiket, penginapan, dan agenda wisata yang sudah disusun rapi tetap ada di meja. Semua terlihat sempurna, namun hatinya masih dipenuhi dengan rasa gelisah yang tak terdefinisikan.

Tanpa sadar, Dira mulai memandangi peta itu lebih dalam, seakan memaksa dirinya untuk menemukan jawaban. Setiap kali ia memandang titik tertentu, peta itu memberi petunjuk lebih lanjut, suatu jalan menuju tempat yang seharusnya tidak ada di dalam rencana awalnya. Jalan yang tampaknya tidak pernah terdaftar sebelumnya. Dan anehnya, jalan itu terlihat terang dan jelas.

"Kenapa tidak coba saja?" gumam Dira pada dirinya sendiri, merasa sedikit ragu. "Apa yang bisa salah?"

Di luar jendela, matahari semakin tinggi. Dira berdiri dan meraih jaket yang tergantung di balik pintu. Ia menatap tas perjalanan yang sudah dipersiapkan dengan penuh kehati-hatian, namun tiba-tiba merasa tidak nyaman. Bagaimana jika semuanya benar-benar berubah? Bagaimana jika perjalanan yang ia impikan justru membawa ketidakpastian yang lebih besar?

Tanpa banyak berpikir, Dira mengambil keputusan untuk meninggalkan rencananya yang sudah lama disusun. Peta yang terus berubah memberinya dorongan untuk melangkah ke arah yang tak pasti, ke tempat yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya. Dengan langkah berat namun penuh harap, Dira memutuskan untuk mengikuti jalan yang baru muncul di peta, meskipun itu berarti ia harus mengabaikan rencana-rencana sebelumnya.

Dira keluar dari rumah, merasakan udara pagi yang dingin menyentuh kulitnya. Ia melangkah menuju halte bus, mengikuti jalan yang seakan-akan terpetakan dengan sempurna, meski dalam hatinya ada keraguan. Setiap langkah terasa aneh, seperti meninggalkan sesuatu yang pasti untuk menuju sesuatu yang tidak diketahui.

Perjalanan ke halte itu seperti sebuah pertanda bahwa segala yang telah direncanakan dengan penuh hati-hati sekarang harus dilepaskan. Saat bus tiba, Dira duduk di kursi sambil melihat ke luar jendela. Peta yang ia pegang di tangannya tidak pernah berhenti berubah menampilkan tempat-tempat baru yang semakin membingungkan.

Sampai di sebuah persimpangan, Dira turun dan mengikuti jalanan yang ditunjukkan oleh peta. Dia mulai berjalan, tidak tahu arah yang pasti, namun entah kenapa, Dira merasa semakin terbuka terhadap apa pun yang akan terjadi. Jalan itu semakin memanjang dan membingungkan, namun langkahnya terasa semakin ringan.

Di depan Dira, sebuah jalan sempit muncul, yang tidak ada dalam rencana awalnya. Peta menunjukkan bahwa itu adalah jalan yang akan membawanya ke tempat yang aneh, namun mengundang rasa penasaran yang semakin besar. Dira merasa sebuah kekuatan yang tak terjelaskan mendorongnya untuk melangkah lebih jauh, tanpa menoleh kembali.

Saat langkah Dira semakin jauh, ia menyadari bahwa perjalanan yang dia jalani sekarang bukanlah tentang tujuan yang telah ia tetapkan sebelumnya, melainkan tentang perjalanan itu sendiri. Ia harus mengikuti petunjuk yang datang, meskipun dunia sepertinya terus berubah tanpa bisa diprediksi.

Dira berhenti sejenak dan melihat kembali peta yang terus berubah. Namun kali ini, dia tidak merasa bingung. Sebaliknya, ia merasa bahwa dunia memberinya kesempatan untuk melihat hal-hal dari sudut pandang yang berbeda. Peta itu mungkin tidak memberinya jawaban yang jelas, tetapi mengajarinya untuk menerima perubahan dan ketidakpastian.

"Siapa yang bisa mengendalikan dunia ini?" Dira berbisik pada dirinya sendiri. "Sudah, ikhlaskan saja."

Dira berdiri di ujung jalan, tertegun. Peta yang ia bawa kini sudah tidak bisa lagi diandalkan. Semua tanda, arah, dan petunjuk yang ada di dalamnya telah berubah, begitu juga dengan dunia yang dihadapinya. Apa yang sebelumnya tampak seperti petunjuk yang pasti kini terlihat kabur, dan setiap kali ia menatap peta itu, tempat-tempat yang dikenalnya berubah menjadi entitas yang tidak dikenalnya sama sekali.

Ia memandang sekeliling. Di sepanjang jalan yang dilalui, ada banyak orang yang sibuk dengan rutinitas mereka, tak peduli dengan perubahan yang terjadi di peta milik Dira. Mereka berjalan mengikuti jalannya sendiri, tanpa keraguan, tanpa rasa takut. Dira tiba-tiba merasa seperti orang asing di dunia yang begitu familiar ini. Kenapa harus selalu ada ketakutan terhadap yang tidak terduga? Kenapa selalu harus mengendalikan segala sesuatu?

Dira menghela napas panjang. "Sudah cukup," katanya pelan, seolah berbicara pada dirinya sendiri. "Sudah ikhlaskan saja."

Di depan Dira, ada sebuah kafe kecil yang tampaknya sederhana, namun menenangkan. Tanpa berpikir panjang, ia memutuskan untuk masuk dan duduk di meja pojok. Seorang pelayan muda datang dan menyapanya dengan ramah.

"Selamat pagi, ada yang bisa saya bantu?" tanya pelayan itu.

Dira hanya tersenyum. "Kopi hitam, dan... mungkin saya butuh sedikit waktu untuk berpikir."

Pelayan itu mengangguk dan segera pergi ke dapur. Dira menyandarkan punggungnya pada kursi, meresapi setiap detail di sekelilingnya. Kafe ini, dengan suasananya yang tenang, seakan mengajak Dira untuk berhenti sejenak. Dia mulai merasa, dalam keheningan itu, bahwa tidak semua perjalanan harus ditempuh dengan kecepatan tinggi. Kadang, berhenti untuk sekadar merenung adalah bagian dari perjalanan itu sendiri.

Beberapa menit kemudian, kopi hitam yang dipesan Dira tiba. Ia menatap cangkir itu sejenak, lalu meminum sedikit. Rasanya pahit, namun entah kenapa, itu memberi rasa tenang. Dalam kesendirian ini, Dira mulai merasa lebih ringan, lebih lapang, meskipun ia tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Mungkin dunia ini memang tidak bisa dipetakan dengan sempurna, tetapi itu bukan berarti ia harus kehilangan arah.

"Peta yang selalu berubah," pikirnya. "Mungkin bukan masalah kalau kita tidak tahu arah yang pasti. Yang penting, kita tetap bergerak."

Tiba-tiba, sebuah suara mengganggu lamunannya. Seorang pria muda duduk di meja sebelah, lalu tersenyum kepada Dira. "Kau tampak bingung, ada yang bisa kubantu?" tanyanya, mengamati wajah Dira yang terlihat penuh pertanyaan.

Dira terkejut, tetapi kemudian ia tersenyum kaku. "Aku hanya berpikir tentang banyak hal... tentang rencana yang tidak berjalan seperti yang aku harapkan."

Pria itu mengangguk, seolah mengerti apa yang Dira rasakan. "Kadang, kita terlalu keras kepala mengikuti peta yang sudah kita buat sendiri, bukan? Padahal, seringkali jalan yang tidak kita rencanakan justru membawa kita ke tempat yang lebih baik."

Dira terdiam. Kata-kata pria itu seperti menyentuh bagian dari dirinya yang selama ini ia abaikan. Memang benar, dalam perjalanan hidupnya, Dira selalu memaksakan diri untuk mengikuti jalan yang sudah direncanakan dengan cermat. Ia khawatir jika ada hal yang tidak sesuai, semuanya akan berantakan. Tapi sekarang, saat melihat pria itu, ia merasa ada kebenaran dalam ucapannya.

"Aku rasa kamu benar," jawab Dira, setengah ragu. "Aku terlalu berusaha mengendalikan semuanya."

Pria itu tersenyum. "Aku juga pernah begitu. Aku merasa hidup ini seperti jalan yang bisa kita petakan, dan aku selalu mencoba untuk mengatur semuanya dengan detail. Tapi suatu hari, aku sadar, hidup itu seperti jalanan yang tidak selalu lurus. Kadang, kita harus bisa menerima belokan yang datang tanpa bisa diprediksi."

Dira menunduk, meresapi kata-kata pria itu. Di luar kafe, angin berhembus ringan, dan matahari yang menyinari jendela membuat suasana menjadi lebih hangat. Ia mulai merasa lebih nyaman dengan ketidakpastian yang ada di sekitarnya. Mungkin ini saatnya untuk benar-benar melepaskan kontrol yang selama ini ia genggam erat.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun