Mohon tunggu...
Dian Wahyu Kusuma
Dian Wahyu Kusuma Mohon Tunggu... profesional -

Jurnalis Wawancara dan Menulis

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Setengah Bebas Pers Indonesia

3 Mei 2015   21:35 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:25 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Situs Voa-Indonesia Februari lalu menyebut kebebasan Pers Menurun di Sebagian Besar Negara.   Indeks Kebebasan Pers 2015 dari Wartawan Tanpa Tapal Batas.  Penurunan itu diakibatkan konflik bersenjata dan tindak teror oleh kelompok non-negara seperti kelompok teroris Negara Islam (ISIS).  Laporan yang dikeluarkan organisasi pembela media “Wartawan Tanpa Tapal Batas” mengatakan kebebasan pers menurun di seluruh dunia tahun lalu. Indeks Kebebasan Pers Dunia tahunan mengatakan keadaan di dua pertiga dari 80 negara yang disurvei memburuk pada 2014.

Penurunan itu diakibatkan konflik bersenjata dan tindak teror oleh kelompok non-negara seperti kelompok teroris Negara Islam (ISIS).Indonesia menduduki peringkat 138 dalam Indeks Kebebasan Pers Dunia tahun 2015 yang dirilis hari Kamis (12/2). Peringkat tahun ini turun dari peringkat ke-132 tahun lalu.

​Iran, China, Suriah dan Korea Utara termasuk di antara negara-negara yang terendah tingkat kebebasan persnya. Lima negara yang peringkatnya tertinggi semua berada di Eropa Barat, sementara peringkat Amerika Serikat berada di peringkat ke-49 tahun ini, atau turun 3 poin dari tahun lalu.  Finlandia memperoleh angka terbaik untuk tahun kelima, yang membantu Eropa dan Balkan memperoleh angka terbaik, walaupun kawasan itu mengalami penurunan angka kebebasan pers.Timur Tengah dan Afrika Utara adalah di tempat terakhir.

Voa-Indonesia juga menyebut jumlah Jurnalis Internasional yang Dibunuh Meningkat pada 2014.  Desember 2014 lalu, Jurnalis Amerika, James Foley, yang dibunuh militan Negara Islam (ISIS) di Suriah.  Komite Perlindungan Jurnalis (CPJ) mengatakan peningkatan jumlah itu adalah akibat meningkatnya kerentanan di zona-zona konflik tempat orang-orang Barat seringkali disasar.

Sebuah kelompok kebebasan pers mengatakan setidaknya 60 jurnalis telah tewas tahun ini saat melakukan pekerjaan mereka, dengan para anggota media internasional mencakup persentase yang besar.Komite Perlindungan Jurnalis (CPJ) di New York mengeluarkan laporan tahunan mereka Selasa (23/12) yang mendokumentasikan kematian jurnalis di 21 negara pada 2014.  Lembaga itu mengatakan jurnalis lokal terus menjadi sasaran terbesar, namun 23 persen dari mereka adalah jurnalis internasional.

Kesenjangan upah jurnalis

Bisnis.com menyampaikan rasio upah jurnalis di perusahaan Media masih rendah.  Jum'at, 01 Mei 2015,  Peringatan Hari Buruh Internasional pada 1 Mei 2015 di Jakarta dimanfaatkan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta untuk menuntut perusahaan media agar meningkatkan kesejahteraan jurnalis.Tahun lalu AJI Jakarta menetapkan upah layak jurnalis setingkat reporter dengan status karyawan tetap pada tahun pertama sebesar Rp6,5 juta.  Angka tersebut dihitung sebagai standar upah layak bagi jurnalis di Jakarta agar jurnalis bisa melaksanakan tugas jurnalistiknya secara lebih profesional.  Kutipan Ketua AJI Jakarta Ahmad Nurhasim menyatakan faktanya banyak media tak menggaji karyawannya sesuai dengan standar upah layak tersebut.

Dalam survei AJI akhir tahun 2014, rata-rata perusahaan media baik online, televisi maupun media cetak, hanya menggaji jurnalis dengan pengalaman satu tahun di kisaran Rp3 juta sampai Rp4 juta per bulan.  Selain itu, kenaikan upah jurnalis di Jakarta setiap tahun sangat rendah. Dari 46 perusahaan media yang disurvei akhir tahun lalu, rata-rata upah jurnalis hanya naik 3% pada 2014 dibandingkan 2013. Padahal, upah minimum provinsi di Jakarta mengalami kenaikan 9%.   Lenetapan upah layak di setiap perusahaan penting agar wartawan bisa menjalankan kerja jurnalistik dengan profesional.

Rendahnya tingkat kesejahteraan jurnalis membuat pekerja media, rentan tergoda menerima atau meminta amplop atau gratifikasi ke narasumber sehingga membahayakan kebebasan pers dan membuat jurnalis tidak independen.

Organisasi jurnalis AJI sependapat bahwa upah yang rendah bukan sebuah alasan bagi jurnalis untuk melanggar kode etik jurnalistik, namun perbaikan upah dan tingkat kesejahteraan jurnalis juga tidak bisa dikesampingkan oleh perusahaan media.

Berdasarkan riset AJI Jakarta, rasio pengeluaran perusahaan untuk menggaji pekerja media masih rendah. Jawa Pos, misalnya, hanya mengalokasikan 8% dari total pengeluaran untuk menggaji pekerja media mereka. Sedangkan Tempo Media Grup hanya mengalokasikan angka sebesar 12,39% pada 2012. Begitu pula MNC grup dan SCTV grup (Elang Mahkota Teknologi) di bawah 10%. Kondisi ini sangat jauh tertinggal dibandingkan dengan di Malaysia (Star Publication) yang mengalokasikan angka 18,3%, Singapore Press Holding 29,3% dan Fairfax Media Australia 37,12%.AJI juga menyoroti konvergensi media yang dinilai tidak memberi balasan setimpal bagi jurnalis dan para pekerja media pada umumnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun