Setengah Bebas Pers Indonesia
Semakin tinggi mutu jurnalisme, maka semakin tinggi pula mutu masyarakatnya--Bill Kovac
Di Asia Tenggara, cuma Filipina dan Indonesia saja yang mencatat perkembangan positif dan mendapat status "setengah bebas" dalam kebebasan pers. Namun begitu Indonesia tetap mendapat sorotan lantaran besarnya pengaruh politik terhadap media, serangan dan ancaman terhadap aktivis dan jurnalis di daerah, serta persekusi terhadap minoritas yang dilakukan oleh awak media sendiri (WWW.DW.DE).
Freedom House menggelar studi kebebasan pers di 199 negara. Setelah melalui proses penilaian, lembaga ini memberikan status "bebas", "setengah bebas" dan "tidak bebas" buat masing-masing negara. Hasilnya peringkat paling bawah didiami Turkmenistan, Uzbekistan dan Belarusia. Sementara peringkat terbaik dimiliki Belanda, Norwegia dan Swedia.
Sebuah studi mengungkap, situasi yang dihadapi wartawan masih buruk. Situs www.DW.DE menyatakan di Turki tercatat serangkain serangan terhadap wartawan, Gökhan Biçici misalnya ditangkap saat protes di lapangan Gezi. Menurut Komiter Perlindungan Jurnalis (CPJ), awal Desember lalu Turki memenjarakan 40 wartawan, ini jumlah tertinggi di seluruh dunia. Ancaman terbesar lagi buat kebebasan pers sangat miris, pengambil-alihan media nasional oleh perusahaan swasta yang dekat dengan pemerintah.
Serangan terhadap jurnalis juga terjadi di Ukraina, terutama selama aksi protes di lapangan Maidan dan okupasi militan pro Rusia di Krimea. Korbannya Tetiana Chornovol, Jurnalis perempuan yang kerap memberitakan gaya hidup mewah bekas Presiden Viktor Yanukovich itu dipukul ketika sedang berkendara di jalan raya.
Situasi kritis juga dijumpai di Cina dan Rusia. Kedua pemerintah berupaya mempengaruhi pemberitaan media dan meracik undang-undang buat memberangus suara kritis di dunia maya. Rusia misalnya membredel kantor berita RIA Novosti dan menjadikannya media pemerintah. Sebagian kecil penduduk Rusia pun turun ke jalan, mengusung spanduk bertuliskan, 'Berhentilah Berbohong'.
Buat Amerika Serikat, mereka adalah negara dengan kebebasan pers. Namun kebijakan informasi Washington belakangan mulai menuai kecaman. Selain merahasiakan informasi resmi dengan alasan keamanan nasional, pemerintah AS juga memaksa jurnalis membeberkan nara sumber, tulis sebuah studi. Selain itu dinas rahasia dalam negeri AS juga kedapatan menyadap pembicaraan telepon.
Beberapa negara lain yang mengalami perbaikan dalam kebebasan pers seperti Kirgistan, di mana 2013 lalu tercatat lebih sedikit serangan terhadap jurnalis. Nepal yang juga berhasil mengurangi pengaruh politik terhadap media, tetap mencatat serangan dan ancaman terhadap awak pers. Loncatan terbesar justru dialami oleh Israel yang kini mendapat predikat "bebas" oleh organisasi dunia Freedom House.
Masih ingat dengan dua Wartawan Perancis yang di tahan di Papua?. Dua wartawan Perancis itu ditahan sejak dua bulan di Papua karena melakukan liputan, hanya dengan izin visa turis. Akses wartawan ke Papua masih dipersulit, Thomas Dandois dan Valentine Bourrat, sedang mempersiapkan reportase untuk stasiun siaran Perancis-Jerman ARTE, ditahan awal Agustus lalu di Wamena, Kabupaten Jayawijaya, Provinsi Papua.
Mereka disebut mewawancarai anggota gerakan separatis, tanpa visa khusus dan akreditasi untuk melakukan reportase.Kepala Kejaksaan Tinggi Papua, Maruli Hutagalung menerangkan awal minggu ini, berkas mereka masih diperiksa. Kejaksaan punya waktu satu minggu untuk memutuskan apakah kasus itu akan diajukan ke pengadilan. Tuduhan yang akan diajukan adalah pelanggaran keimigrasian. Selain itu, keduanya dituduh membantu gerakan separatis melakukan makar. (WWW.DW.DE)
Situs Voa-Indonesia Februari lalu menyebut kebebasan Pers Menurun di Sebagian Besar Negara. Indeks Kebebasan Pers 2015 dari Wartawan Tanpa Tapal Batas. Penurunan itu diakibatkan konflik bersenjata dan tindak teror oleh kelompok non-negara seperti kelompok teroris Negara Islam (ISIS). Laporan yang dikeluarkan organisasi pembela media “Wartawan Tanpa Tapal Batas” mengatakan kebebasan pers menurun di seluruh dunia tahun lalu. Indeks Kebebasan Pers Dunia tahunan mengatakan keadaan di dua pertiga dari 80 negara yang disurvei memburuk pada 2014.
Penurunan itu diakibatkan konflik bersenjata dan tindak teror oleh kelompok non-negara seperti kelompok teroris Negara Islam (ISIS).Indonesia menduduki peringkat 138 dalam Indeks Kebebasan Pers Dunia tahun 2015 yang dirilis hari Kamis (12/2). Peringkat tahun ini turun dari peringkat ke-132 tahun lalu.
Iran, China, Suriah dan Korea Utara termasuk di antara negara-negara yang terendah tingkat kebebasan persnya. Lima negara yang peringkatnya tertinggi semua berada di Eropa Barat, sementara peringkat Amerika Serikat berada di peringkat ke-49 tahun ini, atau turun 3 poin dari tahun lalu. Finlandia memperoleh angka terbaik untuk tahun kelima, yang membantu Eropa dan Balkan memperoleh angka terbaik, walaupun kawasan itu mengalami penurunan angka kebebasan pers.Timur Tengah dan Afrika Utara adalah di tempat terakhir.
Voa-Indonesia juga menyebut jumlah Jurnalis Internasional yang Dibunuh Meningkat pada 2014. Desember 2014 lalu, Jurnalis Amerika, James Foley, yang dibunuh militan Negara Islam (ISIS) di Suriah. Komite Perlindungan Jurnalis (CPJ) mengatakan peningkatan jumlah itu adalah akibat meningkatnya kerentanan di zona-zona konflik tempat orang-orang Barat seringkali disasar.
Sebuah kelompok kebebasan pers mengatakan setidaknya 60 jurnalis telah tewas tahun ini saat melakukan pekerjaan mereka, dengan para anggota media internasional mencakup persentase yang besar.Komite Perlindungan Jurnalis (CPJ) di New York mengeluarkan laporan tahunan mereka Selasa (23/12) yang mendokumentasikan kematian jurnalis di 21 negara pada 2014. Lembaga itu mengatakan jurnalis lokal terus menjadi sasaran terbesar, namun 23 persen dari mereka adalah jurnalis internasional.
Kesenjangan upah jurnalis
Bisnis.com menyampaikan rasio upah jurnalis di perusahaan Media masih rendah. Jum'at, 01 Mei 2015, Peringatan Hari Buruh Internasional pada 1 Mei 2015 di Jakarta dimanfaatkan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta untuk menuntut perusahaan media agar meningkatkan kesejahteraan jurnalis.Tahun lalu AJI Jakarta menetapkan upah layak jurnalis setingkat reporter dengan status karyawan tetap pada tahun pertama sebesar Rp6,5 juta. Angka tersebut dihitung sebagai standar upah layak bagi jurnalis di Jakarta agar jurnalis bisa melaksanakan tugas jurnalistiknya secara lebih profesional. Kutipan Ketua AJI Jakarta Ahmad Nurhasim menyatakan faktanya banyak media tak menggaji karyawannya sesuai dengan standar upah layak tersebut.
Dalam survei AJI akhir tahun 2014, rata-rata perusahaan media baik online, televisi maupun media cetak, hanya menggaji jurnalis dengan pengalaman satu tahun di kisaran Rp3 juta sampai Rp4 juta per bulan. Selain itu, kenaikan upah jurnalis di Jakarta setiap tahun sangat rendah. Dari 46 perusahaan media yang disurvei akhir tahun lalu, rata-rata upah jurnalis hanya naik 3% pada 2014 dibandingkan 2013. Padahal, upah minimum provinsi di Jakarta mengalami kenaikan 9%. Lenetapan upah layak di setiap perusahaan penting agar wartawan bisa menjalankan kerja jurnalistik dengan profesional.
Rendahnya tingkat kesejahteraan jurnalis membuat pekerja media, rentan tergoda menerima atau meminta amplop atau gratifikasi ke narasumber sehingga membahayakan kebebasan pers dan membuat jurnalis tidak independen.
Organisasi jurnalis AJI sependapat bahwa upah yang rendah bukan sebuah alasan bagi jurnalis untuk melanggar kode etik jurnalistik, namun perbaikan upah dan tingkat kesejahteraan jurnalis juga tidak bisa dikesampingkan oleh perusahaan media.
Berdasarkan riset AJI Jakarta, rasio pengeluaran perusahaan untuk menggaji pekerja media masih rendah. Jawa Pos, misalnya, hanya mengalokasikan 8% dari total pengeluaran untuk menggaji pekerja media mereka. Sedangkan Tempo Media Grup hanya mengalokasikan angka sebesar 12,39% pada 2012. Begitu pula MNC grup dan SCTV grup (Elang Mahkota Teknologi) di bawah 10%. Kondisi ini sangat jauh tertinggal dibandingkan dengan di Malaysia (Star Publication) yang mengalokasikan angka 18,3%, Singapore Press Holding 29,3% dan Fairfax Media Australia 37,12%.AJI juga menyoroti konvergensi media yang dinilai tidak memberi balasan setimpal bagi jurnalis dan para pekerja media pada umumnya.
Belum lagi konversi media cetak dengan media digital menambah beban kerja jurnalis dan pekerja media karena harus memenuhi kebutuhan konten untuk lebih dari satu media. Jurnalis dan pekerja media tidak mendapatkan tambahan imbalan dari pekerjaan ekstra tersebut. Bayangkan itu terjadi di Ibukota, bagaimana dengan jurnalis di daerah, sungguh miris lagi.
Freedomhouse.org dalam situanya menyajika data hanya 14 persen masyarakat dunia ini hidup dalam kebebasan pers, sisanya masih setengah bebas, dan tidak bebas.
Awesome
World press freedom day 2015
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H