Mikroorganisme secara alami tersebar pada permukaan tubuh manusia maupun di dalam rongga tubuh. Tak satu pun diantara manusia yang dapat hidup terlepas dari mikroorganisme (mikroba), tidak ada manusia yang mampu terpisah dari mikrobanya. Bestie-lah istilahnya.
Melansir ujaran Rob Knight via Voa Indonesia, terdapat rata-rata 39 triliun sel mikroba pada tubuh manusia. Lebih banyak dibandingkan dengan sel manusiawinya yang hanya 30 triliun sel.
Terkait kuantitas mereka yang tinggi, beragam dan fungsional, dalam tulisan ini akan dibahas khusus mengenai mikrobioma kulit dan kaitannya dengan pemakaian jenis pakaian. Mari lanjut membaca.
Sekilas tentang sejarah pakaian
Pakaian telah dikenal sejak lama dari mulai zaman prasejarah, zaman batu tua. Ini dibuktikan dengan adanya bentuk pakaian yang diukir dalam figur-figur Paleolitik serta sisa pakaian yang ditemukan di situs arkeologi.
Dari bukti sejarah pula diketahui Homo neanderthalensis menggunakan pakaian sejak mulai menyebar ratusan ribu tahun yang lalu ke Eropa dan menempati daerah dingin.
Dalam sebuah naskah disebutkan bahwa manusia Neanderthal menggunakan pakaian serupa jubah yang terbuat dari kulit hewan. Masih terdapat bulu hewan menempel pada pakaian tersebut.
Sejarah juga mencatatkan penggunaan pakaian berlapis-lapis oleh manusia modern awal yaitu Homo sapiens sebagai tapak awal migrasi mereka ke tempat dengan iklim yang lebih dingin.
Dalam Zohary dan Hopf pada tahun 2000 diketahui bahwa manusia modern awal telah menggunakan pakaian dari serat tumbuhan dari serat Rami dan Kapas. Tanaman ini didomestikasi sekitar 10.000 tahun silam. Sumber lain oleh Kvavadze dkk. pada tahun 2009 menyebutkan serat rami liar (bukan domestikasi) telah dikenal sebagai serat tekstil tertua sejak 34.000 tahun lalu.
Mikrobioma Kulit dan Pakaian
Sebagaimana fungsinya pakaian sebagai penutup tubuh, melapisi sebagian atau keseluruhan permukaan kulit. Jika dibentangkan luasan organ kulit mencapai 1,8 meter persegi, terluas dari semua organ yang dimiliki manusia.
Selain sebagai penutup tubuh, kulit juga berfungsi sebagai pertahanan fisik dari serangan organisme dan bahan asing dengan potensi kerusakan bagi organ lainnya. Bagaimana bisa?
Tentu saja bisa. Kulit menjadi habitat alami bagi berbagai mikroorganisme, mikrobioma istilahnya. Keberadaan komunitas ini menjadikan kulit secara alami dapat mempertahankan diri dari serangan fisik berasal dari lingkungan yang masuk dan melakukan kontak dengan kulit.
Sayangnya kulit tidak sekaya usus. Faktanya, kulit sangat miskin nutrisi. Pada kulit manusia, daerah folikel rambut adalah area yang kaya akan lipid (lemak). Mikroba penyebab penyakit senang sekali berdiam maupun berpindah pada daerah seperti folikel rambut, sebum dan kelenjar keringat yang kaya nutrisi lipid dan protein.
Sedangkan lapisan epidermal cenderung merupakan area yang kering, daerah dengan kandungan garam, asam serta miskin nutrisi.
Lalu bagaimana keragaman mikrobioma kulit? Mikroorganisme pada kulit dikelompokkan berdasarkan lama hidup dan sifatnya yaitu stabil, transien, residen temporer dan patogen. Bakteri yang ditemukan dominan pada kulit diantaranya Cutibacterium spp. (dulu : Propionibacterium), Staphylococcus spp., dan Corynebacterium spp., sedangkan jamur dominan pada kulit yaitu Melassezia spp., serta berbagai virus.
Beberapa faktor telah dirangkum Waturangi pada tahun 2022 yang mempengaruhi keragaman mikrobioma kulit. Beberapa diantaranya yakni gaya hidup dan lingkungan.Â
Lebih lanjut dalam bukunya diungkap bahwa gaya hidup yang dimaksud meliputi kebersihan dan jenis pekerjaan. Selain itu lingkungan memegang kendali yakni kondisi geografis dan iklim.
Pandemi Covid 19 memberikan dampak peningkatan kepedulian manusia terhadap higienitas pakaian. Pemakaian masker sebagai bagian yang tidak terlepas dari memberikan proteksi dari penyebaran mikroba patogen.
Kebiasaan baik seperti mencuci pakaian terlebih dahulu sehabis membeli baru, menggunakan masker saat berada di kerumunan, mengganti pakaian setelah bepergian dari luar rumah dan anjuran personal hygiene lainnya membentuk kebiasaan baru dan kesadaran masyarakat akan pentingnya kebersihan diri.
Jenis Pakaian dan keseimbangan mikrobioma kulit
Sejak manusia sudah mulai melakukan aktivitas tenun kain, sejak itulah teknologi produksi kain semakin berkembang. Berkembang pesat hingga abad ke-18 mulai diperkenalkan produk kain semi sintetis pertama, sutra buatan atau dikenal sebagai rayon. Kelebihannya, produksi massal relatif cepat dan murah.
Dilansir dari Textile Exchange, serat sintetis diproduksi besar-besaran mencapai 62 % produksi serat global pada tahun 2018. Sebesar 51,5 % diantaranya adalah serat sintesis poliester lebih banyak dibanding kapas dan wol.
Permukaan kulit manusia memiliki pH 4,5-5. Beberapa jenis bakteri seperti Staphylococcus spp. dan Corynebacterium spp., tergolong bakteri toleran terhadap kondisi sedikit nutrisi di kulit.
Beberapa jenis serat seperti rami, kapas dan poliester dibandingkan terhadap dampaknya pada mikrobioma kulit.
Selama proses produksi serat, secara intensif kapas mentah, kutikula dan kotoran dihilangkan. Sehingga menurut Gutarowska dan Michalski hal ini menyebabkan rentan kolonisasi mikroba. Sebagai akibatnya selulosa mengalami penurunan derajat polimerisasi dan rusaknya bentukan serat. Mikroba berdiam di dalam serat kain dan sangat memungkinkan pula mengolonisasi lapisan permukaan kulit manusia.
Interaksi pakaian dengan permukaan kulit bersifat mekanis, melalui gesekan dan tekanan. Menurut Hipler dan Elsner, gesekan kain dengan kulit memicu penyakit kulit keratosis follicularis dan dapat memperburuk kondisi seperti dermatitis atopic (eksim). Sedangkan tekanan memicu kerusakan superfisial dan peregangan jaringan.
Faktor lainnya terkait pewarnaan kain untuk sebagian orang yang peka terhadap bahan tertentu dapat mengiritasi kulit yang berakitbat pada dermatitis alergi.
Selain itu fisik kain juga mempengaruhi kelembaban, permeabilitas udara dan serapan panas jenis kain tertentu berhubungan dengan serat penyusunnya. Hal ini dinilai juga mempengaruhi iklim mikro di kulit, sehingga juga mempengaruhi keragaman dan keseimbangan struktur mikroba di kulit.
Penyerapan suatu zat di kulit dapat meningkatkan pH kulit sehingga mengganggu fungsi normal dan keberadaan bakteri normal kulit. Akibatnya mikroba patogen kulit akan mudah menyerang imunitas fisik ini.
Serat alam dapat memberikan nutrisi dan sumber energi bagi mikroba untuk bertahan hidup dalam bentuk karbohidrat dan protein.
Pemilihan kain sesuai dengan cuaca sangat dianjurkan. Menggantinya rutin setelah kontak dengan lingkungan dan aktivitas fisik juga sangat dianjurkan.
Terima kasih sudah membaca. Salam.
Referensi
Waturangi, D.E. 2022. Mikroorganisme dan Aplikasinya dalama Berbagai Industri. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H