Selanjutnya, kita akan coba melihat dari sudut yang berbeda. Pembaca tentu pernah mengkonsumsi pangan fermentasi yang diolah kembali dengan melibatkan suhu tinggi seperti menggoreng tempe dan tahu.Â
Kita memahami bahwa tempe dan tahu sangat familiar di tengah masyarakat Indonesia, bahkan konsumsi harian.
Teknologi proses pasca fermentasi memberi peluang kematian sel probiotik. Lalu kalau tetap kita konsumsi apakah masih ada nilanya?
Jawabannya ya. Makanan fermentasi yang diolah lanjutan masih mengandung nilai manfaat karena kehadiran postbiotik dan parabiotik.
Ulasan berikutnya penulis menyajikan beberapa makanan fermentasi asal Indonesia yang pola konsumsinya harus diolah lebih lanjut. Beberapa diantara makanan di bawah ini juga sudah ditetapkan sebagai warisan budaya takbenda oleh Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan RI. Check them out, enjoy.
1.  Asam Keueng dan kuah Pliek U
Masakan asli Aceh ini sangat legendaris dan sering disajikan pada peringatan acara keagaamaan dan hadir di hidangan pesta pernikahan. Asam keueng biasanya ditambahkan pada masakan gulai daging dan ikan. Cita rasanya pedas, agak asam dan segar terasa.
Sedangkan Pliek U sendiri merupakan kelapa fermentasi yang menjadi bumbu masak khas Aceh. Kuah pliek u dibuat dengan menggongseng terlebih dahulu kelapa fermentasi kemudian dimasak bersama sayuran, kikil atau udang, santan dan bumbu rempah.
2. Dangke (Keju Enrekang)
Dangke merupakan susu kerbau yang difermentasi bersama getah buah Pepaya. Makanan ini familiar di Sulawesi Selatan. Masyarakat disana berinovasi untuk menggoreng dan mengolah bakar keju ini. Tentunya citarasa berbeda terbentuk setelah keju mendapatkan pengolahan selanjutnya.