Mohon tunggu...
Diannisa Latifah
Diannisa Latifah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Seorang Mahasiswa studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas Muhammadiyah Purwokerto

Selanjutnya

Tutup

Book Pilihan

Persoalan Ekologi Pada Novel "Teruslah Bodoh Jangan Pintar" Karya Tere Liye

28 Oktober 2024   10:25 Diperbarui: 28 Oktober 2024   11:33 268
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Penelitian kritik sastra yang memperhatikan aspek lingkungan selalu menjadi hal yang menarik sesuai dengan konteks zaman. Tujuan dari kajian kritik sastra berwawasan lingkungan adalah agar manusia dapat memahami dan menerapkan pesan - pesan berbasis ekologi yang terdapat dalam karya sastra. Sastra Indonesia memiliki hubungan yang sangat erat dengan berbagai aspek kehidupan orang Indonesia yang terceminkan dalam esensi bahasa, sastra dan kehidupan sehari - hari. Sastra memang menjadi media yang relevan untuk menyalurkan isu - isu lingkungan, terutama terkait dengan bencana alam. Salah satu bagian dari karya sastra ialah prosa fiksi. Prosa fiksi ialah prosa yang berupa cerita rekaan atau khayalan pengarangnya. Isi cerita tidak sepenuhnya berdasarkan pada fakta. Prosa fiksi disebut juga karangan narasi sugestif atau imajinatif. Novel termasuk ke dalam salah satu bentuk dari prosa fiksi yang menceritakan tentang kehidupan manusia dalam berinteraksi dengan lingkungan dan sesamanya. Dengan demikian, novel bisa berfungsi sebagai media keritik ekologi.

Kritik yang berkaitan dengan lingkungan yang dilakukan pada karya sastra dapat ditinjau dengan pendekatan ekokritik. Ekokritik adalah sebuah kajian ilmu atau teori yang mengamati hubungan antara sastra dan lingkungan hidup. Hadirnya ekokritik adalah sebagai upaya penyelamatan lingkungan melalui kacamata sastra, atau bagaimana karya sastra mengungkap pentingnya lingkungan. Pada artikel ini akan di bahas persoalan ekologis dalam novel 'Teruslah Bodoh Jangan Pintar' karya Tere Liye. Novel ini di terbitkan pada bulan Februari, tahun 2024 oleh penerbit Sabak Grip. Penulis Tere Liye merupakan penulis Indonesia terkenal yang telah menebitkan puluhan buku yang banyak digemari banyak kalangan masyarakat Indonesia. Nama pena Tere Liye adalah nama pena yang digunakan oleh penulis Darwis. Ia menggunakan nama pena tersebut, karena terinspirasi dari judul lagu India yang menjadi soundtrack film "Veer Zaara".

Novel "Teruslah Bodoh Jangan Pintar" jika ditelaah secara mentah - mentah memilki makna yang cukup kontroversial. Namun di balik judulnya itu, pembaca akan menemukan arti makna sesungguhnya bila sudah menyelesaikan baca novel "Teruslah Bodoh Jangan Pintar". Secara singkat novel "Teruslah Bodoh Jangan Pintar" berkisah tentang enam orang aktivis lingkungan yang berjibaku melawan perusahaan tambang di meja hijau. Perusahaan tersebut telah memakan banyak korban serta merusak lingkungan yang sangat parah. Pembaca akan di bawa ke dalam alur cerita yang menegangkan, akan di buat kesal dan marah pada penyajian setiap karakter dalam kisah novel ini. Bisa dipastikan sudut pandang pembaca terhadap pemerintah akan berubah bila sudah menamatkan baca novel ini, terlebih lagi pada maraknya kasus isu lingkungan yang sedang banyak diperbincangkan pada saat ini. Seperti, contohnya kasus korupsi perusahaan tambang timah yang di mana kasus tersebut kini sedang ditangani oleh Kejaksaan Negeri. Lalu, persoalan ekologi apa saja yang di bahas dalam novel ini ?, mari kita bahas penjelasannya sebagai berikut:

1. Pembiaran Lubang  Bekas Tambang.

Di bagian bab pertama seorang saksi dihadirkan di peradilan tertutup antara aktivis lingkungan dengan pengacara perusahaan tambang. Saksi tersebut merupakan teman dari korban yang tenggelam di lubang bekas tambang. Ahmad sebagai saksi, melihat secara langsung bahwa Badrun tenggelam yang diduga karena kram kaki. Lantas karena galian tambang yang sangat dalam membuat pencarian korban sulit dilakukan.

Membiarkan lubang bekas tambang tanpa dilakukan reklamasi jelas sangat membahayakn masyarakat sekitar. Hal ini sering ditemui di lapangan, di mana banyak pertambangan yang acuh terhadap keselamatan warga sekitar dengan membiarkan lubang yang terbuka. Belum lagi jika lubang tersebut terisi air sehingga menjadi danau buatan. Jelas danau buatan ini berbahaya, karena larutan bekas tambang tersebut mengandung zat asam kimia yang tinggi. Jika zat kimia tersebut melebihi ambang batas maka dapat menjadi racun bagi makhluk hidup sekitarnya.

2. Pembuangan Limbah Tambang Tanpa Adanya Pengolahan.

Pada hari berikutnya, saksi yang dihadirkan oleh aktivis lingkungan adalah Ibu Siti.Ia merupakan salah satu penduduk yang cukup menderita karena kehadiran tambang di pulaunya. Diceritakan oleh Ibu Siti, bahwa pulau tempat tinggalnya terdapat kandungan emas. Tepatnya di gunung purba yang terletak di tengah pulau tersebut. Semenjak kehadiran tambang, kehidupan di pulau tersebut berubah. Salah satu yang paling dirasakan adalah limbah tambang yang dibuang begitu saja tanpa diolah. Limbah itu dibuang ke sungai-sungai dan mengarah ke laut. Akibatnya para penduduk terkontaminasi merkuri hasil limbah tambang emas. Yang paling parah adalah dalam jangka panjang terdapat penduduk yang melahirkan bayi cacat akibat keracunan dalam waktu lama.

Memang, air limbah penambangan secara langsung menyebabkan pencemaran air. Limbah ini dihasilkan dari pencucian atau pemurnian bahan tambang. Limbah pencucian tersebut mencemari air sungai sehingga warna air sungai menjadi keruh, asam, dan menyebabkan pendangkalan sungai. Tak hanya limbah emas, limbah tambang lain seperti batu bara misalnya setelah diteliti mengandung zat - zat yang sangat berbahaya bagi kesehatan manusia jika airnya dikonsumsi.

3. Berkurangnya Lahan Tutupan Hijau.

Contoh lahan tutupan hijau adalah beralihnya fungsi  seperti hutan, kebun, sawah menjadi lahan lain. Kasus ini terjadi pada tokoh yang bernama Rudi dan Budi. Dua saudara kandung ini mempunyai sawah peninggalan ayahnya. Mereka bersitegang konflik. Budi sebagai adik ingin tetap mempertahankan tanahnya dari perusahaan tambang sedangkan, Rudi sebagai kakak ingin menjual tanah bapaknya sebagai modal hidup di kota besar. Pada akhirnya penduduk sekitar selain Rudi dan Budi juga terbujuk untuk menjual lahan tanahnya pada peusahaan tambang timah tersebut. Akibatnya mereka tidak punya garapan sawah dan tidak punya pekerjaan. Selain itu kampung mereka menjadi gersang karena banyak hutan yang ditebang menjadi pertambangan.

Pada kenyataanya memang penambangan dapat menghancurkan sumber - sumber kehidupan masyarakat karena lahan pertanian yaitu hutan dan lahan - lahan sudah dibebaskan oleh perusahaan. Hal ini disebabkan adanya perluasan tambang sehingga mempersempit lahan usaha masyarakat, akibat perluasan ini juga bisa menyebabkan terjadinya banjir karena hutan di wilayah hulu yang semestinya menjadi daerah resapan air telah dibabat habis. Hal ini diperparah oleh buruknya tata drainase dan rusaknya kawan hilir (arah aliran sungai yang menuju ke laut).

4. Perusakan Habitat.

Salah satu saksi yang diundang dalam peradilan adalah ahli ornitologi, ilmuwan yang berkecimpung di dunia burung. Beliau menjelaskan bahwa pertambangan dapat menyebabkan rusaknya habitat burung endemik. Akibatnya burung - burung tersebut bermigrasi ke lokasi lain seperti pemukiman penduduk. Tentunya, burung - burung yang bermigrasi tersebut akan mengalami kesusahan dalam beradaptasi di lingkungan baru sehingga terjadilah penurunan populasi .

Tentunya, perusakan habitat ini memang sering banyak ditemui di berbagai tempat. Banyak hewan yang tersasar ke pemukiman warga seperti macan, orang utan bahkan gajah. Itu semua, dikarenakan habitat mereka yang diambil paksa oleh manusia terutama perusahaan tambang.

5. Potensi Bencana Geologis.

Tak hanya ahli ornitologi, ahli geologipun dihadirkan oleh aktivis lingkungan di meja peradilan tersebut. Ia menjelaskan, bahwa letak pertambangan berpotensi menimbulkan bencana longsor yang sangat besar dan juga dapat menyebabkan berkurangnya sumber resapan air. Sungguh memang benar apa adanya dengan yang diucapkan saksi ahli geologi tersebut. Banyak di antara kita, perusahana tambang yang meremehkan dampak lingkungan yang terjadi dan mengenyampingkan AMDAL yang telah dibuat. Akibatnya terjadilah bencana alam yang tidak terduga dan menyengsarakan masyarakat sekitar misalnya longsor, kekeringan, banjir, gas bumi yang bocor seperti kasus lumpur Lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur.

Itulah demikian pembahasan mengenai persoalan ekologis yang terdapat dalam novel "Teruslah Bodoh Jangan Pintar". Dengan terbitnya novel ini memberikan banyak wawasan baru yang menginpirasi kita semua.Terutama agar tidak menerus menjadi orang yang bodoh yang gampang dibodohi. Sebaliknya mau selalu berusaha untuk tahu tentang banyak hal. Novel ini juga dapat menjadi bahan renungan pengingat bahwa kebahagian sejati terletak pada kesederhanaan dan keberanian untuk melawan ketidakadilan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun