Mohon tunggu...
Dianna FitriaNovita
Dianna FitriaNovita Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Airlangga

Mendengarkan musik, menonton film, menulis, bersepeda

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tinggal Kenangan

30 April 2024   22:11 Diperbarui: 30 April 2024   22:18 165
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Tahun 2010-2011 adalah waktu dimana aku dipertemukan dengan Pradana. Dalam sekejap kita bisa menjadi dekat dan akrab satu sama lain. Bukan hanya teman sekelas maupun sahabat, kita masih memiliki hubungan kerabat. 

Kita bukan orang yang saat bertemu suka memuji satu sama lain. Justru kita lebih sering membuat onar yang menjengkelkan satu sama lain. Namun, adakalanya kita berdamai dengan cara ramai di kelas.

Guru pengajar di kelas pun bingung dengan tingkah kita. Saat tidak bertengkar kita malah ramai di kelas. Sedangkan saat bertengkar akan saling menyalahkan dan mencari pembelaan dari guru. Itulah yang aku dan Pradana lakukan saat duduk di bangku kelas 2 SD.

Saat aku tidak masuk sekolah dia mencariku. Namun, saat aku masuk sekolah dia berpura-pura senang ketika aku tidak masuk sekolah. Begitupun dengan aku yang melakukan hal sama ketika Pradana tidak masuk sekolah. Kita berdua adalah seseorang yang cukup gengsi mengatakan kebenaran bahwa ketidakhadiran satu sama lain di kelas membuat perasaan kangen muncul.

Aku dan Pradana adalah manusia yang takut jarum suntik. Terlebih Pradana, dia sangat histeris saat harus divaksin. Bahkan, ibunya turun tangan untuk menggendongnya agar tidak melarikan diri. Aku sering mengejeknya dengan mengingatkan kembali kenangan saat vaksinasi di kelas yang memalukan baginya. Dia selalu kesal dan marah jika aku melakukan hal itu. Dia juga akan berusaha keras mengalihkan topik perbincangan kami.

Aku masih ingat dia pernah berkata bahwa dia membenciku karena aku pintar. Dia mengatakan aku tidak perlu belajar rajin dan menjadi yang terbaik. Dia biasanya berusaha mengalihkan perhatianku dengan mengajakku terus berbicara dengannya membahas berbagai topik.

Dengan begitu, aku akan mengesampingkan tugasku. Namun, saat aku berhasil tetap mengerjakan tugas di sela-sela perbincangan kami dan hendak mengumpulkannya dia menghentikan ku. Dia meminjam pekerjaanku untuk dia salin karena dia belum mengerjakan tugas itu. Kemudian dia berkata supaya aku menjadi anak yang rajin dan pintar supaya saat dia merasa kesulitan dalam mengerjakan tugas bisa meminta bantuanku.

Aku tidak keberatan meminjamkan pekerjaanku untuk dia salin jawabannya. Dia adalah orang pertama yang melihat wajah sedih, kecewa, terguncangku saat hari libur di tempat warung makan. Aku sulit menghentikan air mataku yang terus berlinang membasahi wajahku. Aku bersyukur dia tidak pernah bertanya apa yang telah terjadi kepadaku.

Selama kita mengenal dia tidak pernah membuatku sedih dan menangis. Dia lebih sering membuatku merasa kesal, marah, terhibur, tertawa. Dia adalah alasanku suka melihat ke belakang. Sebab dia duduk di bangku belakangku. Pernah aku merencanakan dan berharap setelah lulus SD kita bisa satu sekolah lagi.

Pradana adalah alasanku semangat berangkat bersekolah. Aku selalu penasaran dengan apa yang akan kita bahas besok di sekolah saat bertemu. Apakah besok kita akan tertawa, marah, kesal?

Tidak terduga, ternyata Pradana sering tidak masuk sekolah. Awalnya aku hanya tahu jika dia sedang sakit.  Aku berharap beberapa hari kemudian dia segera sembuh dan bisa masuk sekolah lagi. Sempat masuk sekolah lagi, aku pun senang bisa melihatnya di kelas lagi.

Namun, tidak lama kemudian dia tidak masuk sekolah lagi dalam kurun waktu yang cukup lama. Bahkan hingga berbulan-bulan. Dia juga tidak mengikuti ujian. Aku benar-benar penasaran apa yang sebenarnya terjadi kepadanya.

Hingga akhirnya mulai ada titik terang bahwa Pradana mengidap leukemia. Saat itu, aku tidak begitu tahu apa itu penyakit leukemia. Namun, aku rasa itu penyakit yang cukup menakutkan mengingat Pradana harus mengorbankan sekolahnya selama berbulan-bulan untuk menjalani pengobatan.

Aku sempat mendengar kabar bahwa Pradana akan bisa kembali bersekolah sekitar 1,5 bulan lagi. Aku pun cukup lega mengetahui hal tersebut. Bersama wali kelas, kami para temannya memutuskan untuk menjenguk Pradana di rumahnya sebelum dia mulai kembali bersekolah. Kami sangat bersemangat saat hendak bertemu Pradana lagi setelah sekian lama.

Suasana bersemangat untuk bertemu dengan Pradana berubah saat aku masuk ke rumahnya dan melihat kondisinya. Dia kehilangan banyak berat badannya. Dia duduk dekat dengan ibunya dengan lemas. Aku masih teringat wajahnya yang terlihat seperti biasanya. Aku merasa takut setelah melihatnya dan berjabat tangan dengannya.

Aku takut tidak punya kesempatan bertemu dengan dia lagi. Walaupun kami semua selalu mendo'akan kesembuhannya dan mendukung dia agar bisa segera kembali bersekolah. Hari pun berganti hingga aku selalu bertanya kapan bisa bertemu dengan Pradana lagi di kelas. Semoga dia bisa segera kembali masuk kelas.

Pagi itu, saat aku sedang mencari ayahku sambil berjalan-jalan di sekitar rumah tetanggaku aku mendengar berita duka yang disiarkan melalui masjid. Awalnya, aku tidak ingin terlalu mendengarkannya karena kemungkinan besar tidak mengenal orang yang meninggal tersebut. Namun, setelah aku mendengar nama dan  nama orang tuanya sulit bagiku mempercayai ini.

Aku merasa mungkin aku salah mendengarnya. Mungkin hanya nama yang mirip tapi itu bukan dia. Aku berusaha meyakinkan bahwa orang yang meninggal bukan Pradana temanku. Aku pun bersiap pergi ke sekolah. Ternyata apa yang aku dengar tadi tidak salah. Semua warga sekolah membicarakan tentang kematian Pradana.

Jujur aku sedih dan tidak tahu harus bagaimana. Apa yang aku takutkan menjadi kenyataan. Dia yang selalu membuatku marah, kesal, tertawa sudah kembali ke pangkuan Tuhan. Dia pergi dan tidak akan kembali lagi. Aku merasa sangat bersalah sebagai teman, sahabat, kerabat tidak merasa telah melakukan banyak hal baik menjelang kepergiannya.

Aku tidak tahu apa yang dia rasakan sebelum dia pergi untuk selamanya. Aku tidak bisa menghiburnya saat ia sakit. Aku benar-benar merasa belum bisa menjadi teman, sahabat ataupun kerabat yang baik untuk Pradana.

Saat itu, kami satu sekolah melayat di rumah duka. Aku pun ikut mengantarkan kepergian Pradana hingga di tempat peristirahatan terakhirnya.  Dengan rasa sedih dan berlinang air mata yang mengiringi perjalanan kebersamaan kami untuk terakhir kalinya.

Aku tidak tega melihatnya dikubur dengan tanah. Aku memilih keluar dari area pemakaman sambil bertanya-tanya bahwa mungkin itu bukan Pradana. Aku berharap dia adalah orang yang mirip dengannya dan Pradana yang sesungguhnya masih hidup. Suatu hari nanti pasti aku akan bertemu dengan Pradana lagi.

Sulit bagiku menerima kepergiannya yang begitu mendadak. Aku sering berkata dalam hati juga pikiran, seandainya dia masih hidup dan bisa bertemu lagi pasti akan kukatakan sangat merindukannya. Aku tidak suka ketidakhadirannya di kelas. Aku tidak keberatan jika kita harus sering bertengkar atau berbicara dengan topik yang random di kelas. Aku pasti tidak akan menolak memberikan tugas yang telah aku selesaikan untuk dia salin.

Selama bertahun-tahun aku selalu berpikir begitu. Hingga tiba saatnya aku pun berkata dalam hati jika dia memang sudah tiada setidaknya aku ingin bertemu dengan dia sekali di dalam mimpi. Terlebih saat aku benar-benar merindukan temanku ini. Namun, selama bertahun-tahun aku tidak berkesempatan bertemu dengannya meskipun hanya lewat mimpi.

Hingga tiba saatnya ketika SMA aku pernah bermimpi bertemu dengannya untuk pertama kali. Dalam mimpi itu, aku seperti kembali ke masa SD. Aku bertemu dengan Pradana lagi. Kita memakai seragam khas sekolah. Kita sedang hendak foto bersama. Aku merasa senang saat itu. Hingga saat silau kamera mengambil potret kami, Pradana menghilang. 

Sebelum dia menghilang, aku sempat bertanya dengannya. Namun, dia hanya diam. Saat dia menghilang aku berusaha mencarinya tapi tidak bisa menemukan keberadaannya. Tidak lama pun aku terbangun dari tidurku. Perasaanku campur aduk saat itu.

Aku senang dan terharu bisa bertemu dengan Pradana untuk pertama kalinya di dalam mimpi. Di sisi lain, aku juga sedih menyadari bahwa dia sudah lama pergi meninggalkan dunia ini. Aku sangat menyayangi teman, sahabat, sekaligus kerabatku yang satu ini. Bagiku, sampai kapanpun dia tetap memiliki tempat spesial di lubuk hatiku.

Setelah bertahun-tahun berlalu, ketika ditanya apa impianku aku mulai sadar. Aku ingin kelak bisa menjadi donatur dan relawan yayasan kanker. Aku ingin bisa membantu menyemangati untuk mereka penderita kanker dalam proses pengobatannya. Aku berharap itu bisa menebus rasa bersalahku kepada mendiang teman, sahabat, sekaligus kerabatku, Pradana.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun