Mohon tunggu...
Dian Mardhika
Dian Mardhika Mohon Tunggu... Guru - An English Teacher at SMAN 1 Kotabaru, Kalimantan Selatan.

An English Teacher at SMAN 1 Kotabaru, Kalimantan Selatan.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

SAJAK POHON TUMBANG

19 Oktober 2012   12:12 Diperbarui: 24 Juni 2015   22:38 646
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku tumbuh

Orang-orang mulai menanam pohon di kepalaku

Hingga aku bersaksi bahwa daun telah menjadi rumah bagi matahari

Pepohonan menjadi tiang-tiang bagi langit yang menjadi atapnya

Ketika aku percaya,

aku teronggokseperti serpihan kayu yang terselip di sudut mata gergaji

Orang-orang pun terpukauerangan mesin-mesin raksasa yang melahirkan puing-puing

Mereka tertawa untuk menahan tangis yang menggumpal menjadi kegelapan masa depan

Daun-daun menjadi dongeng yang hanya didengar anak-anak dari sebuah buku pelajaran

Akar-akar mengering menjadi sisa kegelisahan masa silam yang tercabut dari ingatan

Aku terdiam

Orang-orang bungkam seraya melempar kebohongan dalam sebuah pesta di kepalaku

Kian senyapkecuali jerit jangkrik yang kehilangan sepetak taman ilalang

dan sebatang pohon Hampalam

Aku bergeser

Orang-orang duduk melingkar di pusara sunyi perbukitan

Lalu manggut-manggut dengan kesedihan yang sedikit dipaksakan

Kucium bangkai tanah yang mengeringdi hulu kampung halaman

Remahan debunya tak mampu mengubursetiap aroma anyir keserakahan

Pesta bubar

Aku tumbang di ceruk tanah yang tinggal sedepa saja

Aku terhempas di tanah kerontang bersama ranting-ranting yang kehilangan rasa kecewa;

bersama debu-debu yang hanya menjadi penghias kaca spion dan jendela di teras rumah

Aku terkapar bersama langit yang kehilangan atapnya

Tak ada yang memeluk tubuhku seperti daun-daun mendekap matahari

Aku menggelepardalam dada yang telah siap menjadi liang lahatnya

Orang-orang hanya menyeka kecemasan di leher mereka dengan selembar uang kertas

karena sudah tak ada lagi yang bisa menjadi keringat apalagi air mata

Duka pohon-pohon telah dikubur dalam lipatan dompet dan saku celana

Aku limbung kehilangan ranting dan dedaunan yang tak lagi bersemi di kepalaku

Pohon-pohon menjerit di atas ribuan makam kerabatnya

Aku datang dengan daun-daun kering yang kupungut di halaman gedung-gedung bertingkat

Kutaburkan aroma duka seperti pesan tonggak pohon Ketapi di pelataran rumah

Sepi; meskipun jerit pecah di pusat perkantoran, jalan raya, dan hotel-hotel mewah

Aku menjerit, teringat pohon Ramania yang sedang menunggu ajalnya

setelah datang dari kota dengan sepotong rasa bela sungkawa

Aku terbaring

Angin datang berbisik tentang sejuk udara perkotaan, tapi

aku mendengar gerisik kebohongan itu gugur bersama daun-daun hijau

Angin pun marah. Aku diam saja karena aku sangat peduli dan telah kehilangan air mata

Orang-orang mulai melesat ke pesta jelata di bawah pohon cabe

Pesta gelondongan lumat di lidah dan mulut jera sekali saja

Tak ada rasa sesal di hati kecuali bukit- bukit yang mati di ujung kata

Aku tertegun

Biji mataku terpikat tonggak ilalang yang mulai merobekselangkangan langit

Dari situlah menetes kegelisahan yang menyumbat selokan-selokan

Sungai pun telah begitu kecewa dipaksa makan lumpur dan sampah kolong rumah

Aku bergegas ke muara, berharapmasih bisa melarungkan sisa-sisa kesedihan

Tapi sungai sudah tak kuasa menelan segala kekecewaan

Sungai-sungai telah berubah menjadi tempat sumpah serapah

Kepedihanku kandas menjadi sisa-sisa pesta hujan di kaki Sebatung

Aku mematung

Pohon-pohon telah menjelma menjadi fosil masa lalu

Kurangkai sisa-sisa daun kering menjadi sebuah sajak pohon tumbang

Bacalah bait demi bait agar ranting dan daun tumbuh di hatimu

Bila aku tumbang maka teruskanlah kau menjadi batang!

Aku hampir tumbang. Kau jangan diam saja!



Sigam, Maret 2012

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun