Aku tumbuh
Orang-orang mulai menanam pohon di kepalaku
Hingga aku bersaksi bahwa daun telah menjadi rumah bagi matahari
Pepohonan menjadi tiang-tiang bagi langit yang menjadi atapnya
Ketika aku percaya,
aku teronggokseperti serpihan kayu yang terselip di sudut mata gergaji
Orang-orang pun terpukauerangan mesin-mesin raksasa yang melahirkan puing-puing
Mereka tertawa untuk menahan tangis yang menggumpal menjadi kegelapan masa depan
Daun-daun menjadi dongeng yang hanya didengar anak-anak dari sebuah buku pelajaran
Akar-akar mengering menjadi sisa kegelisahan masa silam yang tercabut dari ingatan
Aku terdiam
Orang-orang bungkam seraya melempar kebohongan dalam sebuah pesta di kepalaku
Kian senyapkecuali jerit jangkrik yang kehilangan sepetak taman ilalang
dan sebatang pohon Hampalam
Aku bergeser
Orang-orang duduk melingkar di pusara sunyi perbukitan
Lalu manggut-manggut dengan kesedihan yang sedikit dipaksakan
Kucium bangkai tanah yang mengeringdi hulu kampung halaman
Remahan debunya tak mampu mengubursetiap aroma anyir keserakahan
Pesta bubar
Aku tumbang di ceruk tanah yang tinggal sedepa saja
Aku terhempas di tanah kerontang bersama ranting-ranting yang kehilangan rasa kecewa;
bersama debu-debu yang hanya menjadi penghias kaca spion dan jendela di teras rumah
Aku terkapar bersama langit yang kehilangan atapnya
Tak ada yang memeluk tubuhku seperti daun-daun mendekap matahari
Aku menggelepardalam dada yang telah siap menjadi liang lahatnya
Orang-orang hanya menyeka kecemasan di leher mereka dengan selembar uang kertas
karena sudah tak ada lagi yang bisa menjadi keringat apalagi air mata
Duka pohon-pohon telah dikubur dalam lipatan dompet dan saku celana
Aku limbung kehilangan ranting dan dedaunan yang tak lagi bersemi di kepalaku
Pohon-pohon menjerit di atas ribuan makam kerabatnya
Aku datang dengan daun-daun kering yang kupungut di halaman gedung-gedung bertingkat
Kutaburkan aroma duka seperti pesan tonggak pohon Ketapi di pelataran rumah
Sepi; meskipun jerit pecah di pusat perkantoran, jalan raya, dan hotel-hotel mewah
Aku menjerit, teringat pohon Ramania yang sedang menunggu ajalnya
setelah datang dari kota dengan sepotong rasa bela sungkawa
Aku terbaring
Angin datang berbisik tentang sejuk udara perkotaan, tapi
aku mendengar gerisik kebohongan itu gugur bersama daun-daun hijau
Angin pun marah. Aku diam saja karena aku sangat peduli dan telah kehilangan air mata
Orang-orang mulai melesat ke pesta jelata di bawah pohon cabe
Pesta gelondongan lumat di lidah dan mulut jera sekali saja
Tak ada rasa sesal di hati kecuali bukit- bukit yang mati di ujung kata
Aku tertegun
Biji mataku terpikat tonggak ilalang yang mulai merobekselangkangan langit
Dari situlah menetes kegelisahan yang menyumbat selokan-selokan
Sungai pun telah begitu kecewa dipaksa makan lumpur dan sampah kolong rumah
Aku bergegas ke muara, berharapmasih bisa melarungkan sisa-sisa kesedihan
Tapi sungai sudah tak kuasa menelan segala kekecewaan
Sungai-sungai telah berubah menjadi tempat sumpah serapah
Kepedihanku kandas menjadi sisa-sisa pesta hujan di kaki Sebatung
Aku mematung
Pohon-pohon telah menjelma menjadi fosil masa lalu
Kurangkai sisa-sisa daun kering menjadi sebuah sajak pohon tumbang
Bacalah bait demi bait agar ranting dan daun tumbuh di hatimu
Bila aku tumbang maka teruskanlah kau menjadi batang!
Aku hampir tumbang. Kau jangan diam saja!
Sigam, Maret 2012
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H