Tumbal
Dianingtyas Kh. (No. 74)
Kaki Muria, 1948.
Malam melarut. Lengang. Hanya suara binatang malam yang terdengar menambah syahdu malam. Tak ada lagi yang tersisa dari huru-hara yang terjadi dalam dua puluh empat jam ini. Namun, lengangnya malam tak selengang hati orang-orang yang berada di pendopo, bagian depan rumah kepala desa yang biasa dipanggil sebagai Bapak Kita. Semua orang masih merasakan tegangnya peristiwa yang baru saja mereka alami, ketika pasukan Belanda yang terdiri dari para Anjing Hitam -sebutan bagi orang Indonesia yang menjadi serdadu Belanda- memborbardir desa mereka pagi tadi. Hanya setengah hari, tetapi korban yang ditimbulkan sangat banyak. Penduduk berlarian mengungsi ke desa di seberang sungai, sementara tentara Republik berjuang sekuat tenaga membalas tembakan-tembakan itu dengan persenjataan apa adanya.
Jangan ditanya tentang korban. Perempuan dan anak-anak yang terkena pecahan bom tak terhitung jumlahnya. Darah mengalir di mana-mana. Dan semuanya itu hanya satu sebab. Ada seorang mata-mata yang melaporkan keberadaan tentara di Muria. Dia pasti telah menyampaikan tentang peranan Bapak Kita -Sang Kepala Desa- yang setiap hari menyediakan ransum makanan dan persenjataan bagi  pasukan pimpinan Mayor Kusmanto yang sedang menyusun strategi dan kekuatan untuk menggempur markas Belanda di Dawe.
Bagi Amirin, istri Kepala Desa, ini adalah mimpi buruk. Kedatangan Belanda begitu mendadak sehingga ia tak sempat ikut mengungsi ke desa seberang. Ia hanya bersembunyi di lubang perlindungan yang dibuat di bawah dipan kamarnya. Bersama dua anak dan seorang pembantunya, ia masuk ke lubang itu setelah mengunci rapat-rapat kamarnya. Ditahannya nafas, demikian juga didekapnya kedua anaknya yang mulanya hendak menangis. Namun, kedua anaknya tahu, bahwa dengan menangis mereka akan ketahuan dan nyawa mereka bisa melayang karena serdadu Belanda itu tengah memasuki rumah mereka.
Ada pengkhianat. Jelas itu. Kalau tak ada, mustahil serdadu itu berhenti sekian lama dan menggeledah rumah mereka, mencari-cari sesuatu yang tersembunyi di sana. Tapi tak ada. Suaminya sudah mengirimkan semua amunisi dari Pati yang datang  kemarin malam. Juga persediaan makanan. Hanya Karjo, anak buahnya yang biasa mengerjakan ladang, tengah memberi makan sapi di kandang samping. Dan Karjo yang setengah tuli itu tak mendengar teriakan Amirin untuk segera berlindung.
Malang bagi Karjo. Teriakan-teriakannya menggaung ke seisi desa. Belanda itu pasti menyiksanya. Amirin menutup telinga anaknya rapat-rapat agar tak mendengar teriakan kesakitan Karjo yang kukuh tak mau mengatakan di mana majikannya berada. Tapi lamat-lamat Amirin mendengar. Sebuah kalimat dalam Bahasa Belanda yang mengatakan bahwa Bapak Kita, suaminya, tengah berada di Pesanggrahan.
Lalu senyap. Serdadu-serdadu itu pergi, meninggalkan Karjo yang terluka. Amirin menanti kabar selanjutnya dengan hati gelisah. Suaminya bukan tentara yang bisa membela diri dengan senjata. Suaminya hanyalah penyuplai kebutuhan pokok tentara rakyat. Namun, karena peranannya yang sangat penting, Belanda justru mengincar nyawa suaminya. Dan pemilik kalimat berbahasa Belanda itulah yang memberi tahu Belanda. Amirin tahu siapa pemilik suara setengah sengau itu. Tentu saja, hanya segelintir orang yang bisa berbahasa Belanda dan dari segelintir itu, hanya satu yang bersuara sengau. Taruno.
Sebuah kabar sampai juga di telinganya. Bahwa suaminya ditangkap Belanda dan dibawa ke Dawe. Dan malam ini, tentara rakyat tengah berkumpul menyusun stretagi untuk membebaskan Bapak Kita yang barangkali kini sedang diinterogasi Belanda.
***