Barangkali karena telah habis kata sehingga aku tak kunjung bisa menuliskan tentangmu, Ibu. Tentang kasih sayang dan pengorbanan yang tulus kepadaku, sejak aku masih di dalam kandunganmu hingga jelang usiaku tua.
Barangkali karena memang tak cukup kata untuk mengucapkan terima kasih atas segala cinta dan ketulusanmu, Ibu, hingga aku tak kuasa mengungkapkan betapa besarnya rasa yang harusnya terlimpah kepadamu.
Namun, kurasa percuma kuungkapkan semua ucapan terima kasihku jika aku tak pernah datang kepadamu di saat pekerjaan kantor sedang menumpuk.
Pun, kurasa percuma aku nyatakan rasa cintaku padamu jika aku berteriak memintamu datang hanya ketika aku membutuhkanmu.
Sungguh, betapa tak berbaktinya aku. Dan engkau, dengan segala maaf dan senyum akan selalu memberikan mafhum yang sebesar-besarnya atas semua kondisi yang tak membuatku ada di sisimu untuk sekadar membalurkan minyak angin ketika ragamu tak lagi kuat menahan  sepoi angin yang kini terasa duri.
Barangkali memang tak cukup kata untuk melukiskan berapa besar pengorbananmu kepadaku. Dari ketika aku dalam kandungan yang sungguh menyusahkanmu hingga terjadi perdarahan. Lalu, ketika aku lahir ke dunia dengan berat  lebih dari empat kilogram, sementara yang membantumu melahirkan hanyalah dukun bayi kampung. Tapi nyatanya engkau tersenyum bahagia menyambut hadirku meskipun tubuhmu lelah lahir dan batin, ketika itu, di sebuah rumah sederhana berlantai tanah di bawah naungan pohon bambu yang menderu-deru tertampar angin Desember.
Masih kuingat pula, ketika sakit terlalu sering mengunjungiku. Tak pernah engkau mengeluh walau mesti menempuh jarak puluhan kilo (sekian kilo di antaranya mesti berjalan kaki) hanya untuk mencapai dokter spesialis, sedangkan  gajimu sebagai guru golongan II tak akan cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup setiap bulan.
Dalam kondisi ekonomi yang serba susah, -aku selalu ingat usaha-usaha sampingamu untuk menambah ekonomi keluarga, Bu-,engkau  selalu memberikan yang terbaik buatku. Barbie-barbie-an seharga 5 kg gula putih yang begitu menarik perhatianku pun tetap engkau belikan meskipun mungkin ketika itu hatimu menjerit.  Namun, senyummu jua yang tersungging bagiku. Senyum bahagia ketika melihat putri kecilmu sibuk berimajinasi dengan barbie tiruan buatan Indonesia.
Sekolah? Tentu yang terbaik engkau sediakan buatku, meskipun harus lebih mahal daripada sekolah-sekolah anak yang lain. Â Masih kuingat dulu, ketika SMP dulu aku terpaksa harus kos karena jarak rumah ke sekolah 20 kilometer. Kauingat, Bu? Ketika itu engkau menangis dan aku pun menangis. Tapi, kita harus menegarkan diri demi masa depan yang lebih baik, bukan? Dan engkau tak pernah menyuruhku untuk berhenti atau kembali. Engkau terus mendorongku untuk terus maju, jangan sampai hanya terpaku di desa seperti teman-temanku yang lain. Dan di sinilah aku sekarang. Tegak berdiri menyandang gelar sarjana yang dulu tak sanggup engkau raih. Kutahu, itu salah satu momen bahagiamu, kan, Bu? Karena akulah satu-satunya anak yang bisa mencapai gelar sarjana sebelum berkeluarga. Artinya, ini bukti nyata kerja kerasmu. (Ingatkah, kau, Bu, bahwa masa menjelang wisuda adalah masa-masa terberatku dan engkaulah penyokong terbaikku, setelah Gusti Allah tentu saja.)
Lalu, apa yang telah kuberikan kepadamu? Waktu terbaik? Tak lagi. Semua waktuku untukmu hanyalah sisa-sisa kelelahan saja. Senyum tulusmu yang senantiasa tersungging terkadang hanya berbalas dengan senyum kelelahan, atau bahkan senyum tawar sekadar pemanis mulut. Janji atas ekonomi yang lebih baik? Bukan. Aku tahu, uang bukan segalanya bagimu. Perhatian lebih? Apalagi yang ini. Semua energi seolah sudah terserap untuk kehidupan baruku. Tapi engkau senantiasa maklum dan bahagia jika aku bahagia. Â Engkau bersedih ketika aku berduka. Dan engkau cemas ketika aku gelisah. Selamanya, anakmu ini akan menjadi orang yang menampung maklum yang demikian banyak darimu.
Ampuni aku, Ibu. Tak semestinya begini yang terjadi. Harusnya selalu ada waktuku buatmu. Namun, engkau selalu mengatakan bahwa keluargalah yang harusnya menjadi prioritas.  Dan aku, entahlah, kadang tak tahu di mana harus meletakkan diri dengan segenap tetek bengek tugas-tugas kantor dan rumah yang kian menggunung.  Hingga engkau, semakin hari semakin  terkesampingkan. Astaghfirullah.
Ketika kemarin, tanggal 22 Desember 2013, tepat usiamu 74 tahun. Sengaja kukumpulkan kakak-kakak agar dapat sekadar berdoa bersama, semoga engkau diberi kesehatan oleh Allah SWT. Kulihat, betapa bahagianya engkau, melihat anak-anak  berkumpul lengkap.  Kulihat betapa matamu sangat berbinar menikmati momen ini. Ah, Ibu, maafkan aku karena nyaris tak pernah membuatmu bahagia. Padahal, bahagiamu sangatlah sederhana. Maafkan kami, Bu.
Bu, barangkali yang kukatakan ini dapat sedikit membahagiakanmu. Bahwa aku ingin senantiasa mewarisi dedikasimu dalam mendidik murid-muridmu. Puluhan tahun engkau mengajar, dalam kehidupan sederhana, bahkan rumah pun baru kaupunya menjelang pensiun. Namun, engkau tak pernah mengeluh ketika harus menampung murid-muridmu yang  latihan jelang lomba. Meskipun tak ada honor dari sekolah, engkau tulus ikhlas mendidiknya,  Bahkan jajan dan uang saku pun kausediakan untuk murid-muridmu. Sungguh, sebuah ketulusan yang susah dicari tandingannya, bahwa yang kauharapkan adalah prestasi anak-anak didikmu. Sebuah prestasi yang melahirkan kebanggaan bagi seorang guru. Kuharap, aku dapat mengikuti jejak langkahmu dalam mendedikasikan diri bagi kemajuan anak didik, Bu.
Bu, melihatmu masih tegak berdiri di usia 74 tahun ini adalah berkah yang tak terkira bagiku, juga bagi anak-anakmu yang lain. Lihat, ketika orang-orang seusiamu sudah terbungkuk-bungkuk termakan osteoporosis, engkau masih gesit bermain dengan cucu-cucumu, memberikan mereka kasih sayang yang terkadang juga tak sempurna kami curahkan. Melihatmu yang masih punya ingatan yang sangat tajam, adalah sebuah hal yang sangat kami syukuri, mengingat banyak orang yang usianya lebih muda darimu sudah terserang penyakit pikun. Â Melihatmu tetap sehat meskipun mata sudah tak lagi awas, gigi sudah mulai tanggal, dan rambut sudah hampir semuanya memutih adalah kebahagiaan kami, karena dengan demikian kami tak akan kekurangan perhatian dan kasih sayang, yang senatiasa kaulantunkan dalam doa-doa setelah salatmu. (Ah, betapa egoisnya, kami tak pernah melimpahimu kasih sayang, tetapi senantiasa mengharapkannya darimu)
Barangkali memang telah habis kata untuk berterima kasih padamu, Bu. Tapi kami bersyukur atas nikmat-Nya sehingga sampai setua ini kami masih bisa menikmati hangatnya kasih sayangmu. Hangatnya kasih sayang seorang ibu yang terpancar dari perhatian-perhatian yang tak pernah lekang, dari doa-doa yang selalu terpancar.
Harapanku, Bu, senantiasaah engaku bahagia dengan hari-harimu kini, meskipun kutahu masa lalumu bukanlah masa lalu yang cukup menyenangkan. Kuakan mencoba untuk membahagiakanmu, Bu, mencoba membantumu mewujudkan satu-satunya mimpimu yang belum tercapai, yaitu menunaikan ibadah haji. Semoga Allah senantiasa memberimu kesehatan jiwa dan raga sehingga ketika saatnya berangkat nanti engkau bisa melaksanakan semua rukunnya dengan sempurna. Meskipun ketika itu usiamu sudah mencapai 75 tahun, dengan pertolongan Gusti Allah, kuyakin semuanya akan dipermudah. Tetap sehat, ya, Bu. Semoga semakin sabar dalam menjalani hari-harimu. Aku bertekad untuk tak lagi menyia-nyiakan kebersamaan denganmu yang demikian berarti ini. Jangan lupa doamu untukku juga, ya. (Ah, aku lupa, bukankah doamu bagi anak-anakmu sudah serupa mantra bagimu?)
Kado ulang tahun untuk ibuku.
22 Desember 1939-22 Desember 2013.
Semoga tetap sehat dan senantiasa bahagia.
Dianingtyas Kh. Â Nomor 109
Untuk membaca karya peserta lain silahkan menuju akun Fiksiana Community dengan judul : Inilah Hasil Karya Peserta Event Hari Ibu.
Silahkan bergabung di FB Fiksiana Community.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H