Siang menunjukkan pukul sebelas. Halaman sekolah anak saya penuh dengan para pengambil rapor. Usai pidato panjang dan lebar dari ketua yayasan, saya pun menuju ke ruang kelas tempat rapor anak saya dibagikan. Kelas 3. Di sana sudah ada beberapa wali murid yang antre mengambil rapor. Saya pun kemudian duduk di barisan paling depan sambil menunggu giliran. Di papan tulis terdapat daftar nama anak yang mendapatkan peringkat 1 sampai dengan 10. Alhamdulillah, nama anak saya tertera pada daftar teratas.
Tak berapa lama saya duduk, datanglah seorang ibu. Dia ibu kawan anak saya. Anaknya bernama Tasya. Ibu tersebut  kemudian duduk di samping saya, lalu mengamati daftar yang tertera di papan tulis. Lalu, muncullah percakapan kami, antara lain begini:
Saya    : "Ada namanya Tasya, Bu, dapat peringkat kedelapan."
Ibu Tasya  : " Nina sih dapat peringkat pertama. Lha Tasya saya les-kan kok malah turun peringkatnya."
Saya   : "O, jadi Tasya dileskan ya Bu. Di mana?"
Ibu Tasya  : "Itu, di Mbak X. Wong dileskan kok malah turun peringkat" (sambil bersungut-sungut)
Saya  : "Kalau Nina sih gak saya leskan, Bu. Biar punya banyak waktu untuk main."
Ibu Tasya  : "Kalau Nina kan pinter. Gak les juga gak pa pa. Tasya kalau di rumah main terus, jadi saya leskan biar PR-nya bisa dikerjakan."
Saya  : "Wah, sama saja, Bu. Nina juga banyak mainnya. Dia memang hanya belajar kalau ada PR. Pernah sih, minta les, tapi sementara masih saya larang. Toh saya bisa mengajarinya di rumah. Biar dia gak bosan dengan pelajaran melulu."
Ibu Tasya  : "Iya, sih, Bu. Setiap kali mau les Tasya mesti nangis dulu."
Saya  : "Lesnya gak setiap hari, kan?"
Ibu Tasya  : "Setiap hari, Bu."
Gleg. Saya tercekat sampai di situ. terbayang di mata saya bagaimana penderitaan si Tasya yang setiap hari mesti berkutat dengan pelajaran dan les mapel-nya. Terbayang pula bagaimana si ibu setiap siang menjelang pukul 2 mesti membujuk-bujuk anaknya untuk ikut les. Bahkan, mungkin tak hanya membujuk yang dilakukannya, tetapi juga membentaknya. Kasihan, kamu Sya.
Kejadian yang serupa terjadi pada Bella, keponakan saya. Keponakan saya ini diasuh oleh neneknya karena ibunya meninggal dunia. Karena amanah dari sang ibu sebelum meninggal, maka sampai sekarang Bella ikut neneknya. Bella setahun lebih tua daripada Nina, tetapi kelasnya selevel karena dia masuk umur 6,5 tahun, sedangkan Nina 5,5 tahun. Lebaran kemarin, ketika saya silaturahin ke tempat neneknya Bella, terjadilah juga percakapan serupa dengan sang nenek, yang rupanya lebih mempercayai guru les ketimbang mengajari sendiri cucunya.
Saya   : "Dik Bella gimana sekolahnya, Bu?'
Nenek Bella : "Ya, baik, Mbak. Kalau Nina gimana?'
Saya  : "Yah, begitu Bu. Lumayan, tapi masih banyak mainnya. Belajar tiap ada PR saja."
Nenek Bella : " Kalau Bella sekarang saya leskan, Mbak."
Saya  : "Les? Di mana?"
Nenek Bella : Â "Itu, di lembaga A. Cuma biar ada yang garapin PR, kalau di rumah gak ada yang ngerjakan."
Hadeh. Les cuma buat mengerjakan PR? Setiap siang, ketika teman-temannya main atau setiap malam sambil terkantuk-kantuk. Kalau anak enjoy, sih oke saja, tapi kalau anak terpaksa seperti si Tasya bagaimana?
Saya lihat, banyak orang yang salah mempersepsikan tentang belajar. Banyak orang mengukur hasil belajar berdasarkan angka-angka yang tertera saja, dengan melupakan proses yang semestinya dilewati oleh sang anak. Kalau PR dikerjakan oleh guru lesnya, tentulah hasilnya baik. Tapi apa mereka bisa menjamin jika PR yang dikerjakan oleh guru les itu bisa mendongkrak kemampuan anak?  Yang saya khawatirkan, anak menjadi  keenakan karena PR-nya dikerjakan sehingga dia tidak tertantang untuk memecahkan soal-soal yang seharusnya dipecahkannya.
Les mapel tentu saja bukan hal yang buruk. Tetapi, kita harus mempertimbangkan beberapa hal, antara lain:
1. Apakah sudah sesuai dengan kebutuhan anak?
Misalnya saja, anak lemah matematika dan gurunya di sekolah sudah mentok untuk mengajarinya. Semetara itu, orang tua tak cukup punya waktu dan keahlian. Maka, sebaiknya anak memang dipanggilkan guru les yang dibutuhkan.
2. Apakah sesuai dengan minat anak?
Anak bukanlah fotokopi kita. Anak adalah individu yang unik, punya minat dan bakat sendiri. Maka, orang tua tak boleh memaksakan sang anak untuk terus mengikuti keinginannya. Orang tua hanya bisa mengarahkan anak agar tak salah memilih. Saya sering melihat anak yang sangat tertekan ketika mengikuti les hanya karena menuruti kemauan orang tuanya. Jika anak melakukannya dengan terpaksa, saya yakin hasilnya tak akan optimal.
3. Apakah guru les yang dipilih memang benar-benar mumpuni?
Sekarang ini banyak sekali lembaga bimbel atau guru les privat yang menawarkan jasanya. Â Orang tua yang hendak memilihkan temapt les untuk anaknya harusnya jeli memilih tempat untuk les anaknya. Jangan sampai salah pilih tempat les yang hanya menawarkan hasil instan saja, tetapi carilah tempat les yang membantu anak untuk memahami proses. Â Kita bisa mengetahuinya berdasarkan informasi dari anak-anak yang pernaha mengikuti les di tempat-tempat tersebut.
Namun, bagi saya pribadi, selama masih bisa membantu anak di rumah, mengapa mesti kita leskan pada orang lain? Selain kita bisa menjamin proses belajarnya, kita juga bisa merekatkan kedekatan kita dengan anak. Mumpung mereka masih butuh kita. Â Suatu hari nanti, Â mungkin mereka akan bilang, "Ah, Ibu, masak yang beginian gak tahu, sih." Hehehe.
Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H