Ibu Tasya  : "Setiap hari, Bu."
Gleg. Saya tercekat sampai di situ. terbayang di mata saya bagaimana penderitaan si Tasya yang setiap hari mesti berkutat dengan pelajaran dan les mapel-nya. Terbayang pula bagaimana si ibu setiap siang menjelang pukul 2 mesti membujuk-bujuk anaknya untuk ikut les. Bahkan, mungkin tak hanya membujuk yang dilakukannya, tetapi juga membentaknya. Kasihan, kamu Sya.
Kejadian yang serupa terjadi pada Bella, keponakan saya. Keponakan saya ini diasuh oleh neneknya karena ibunya meninggal dunia. Karena amanah dari sang ibu sebelum meninggal, maka sampai sekarang Bella ikut neneknya. Bella setahun lebih tua daripada Nina, tetapi kelasnya selevel karena dia masuk umur 6,5 tahun, sedangkan Nina 5,5 tahun. Lebaran kemarin, ketika saya silaturahin ke tempat neneknya Bella, terjadilah juga percakapan serupa dengan sang nenek, yang rupanya lebih mempercayai guru les ketimbang mengajari sendiri cucunya.
Saya   : "Dik Bella gimana sekolahnya, Bu?'
Nenek Bella : "Ya, baik, Mbak. Kalau Nina gimana?'
Saya  : "Yah, begitu Bu. Lumayan, tapi masih banyak mainnya. Belajar tiap ada PR saja."
Nenek Bella : " Kalau Bella sekarang saya leskan, Mbak."
Saya  : "Les? Di mana?"
Nenek Bella : Â "Itu, di lembaga A. Cuma biar ada yang garapin PR, kalau di rumah gak ada yang ngerjakan."
Hadeh. Les cuma buat mengerjakan PR? Setiap siang, ketika teman-temannya main atau setiap malam sambil terkantuk-kantuk. Kalau anak enjoy, sih oke saja, tapi kalau anak terpaksa seperti si Tasya bagaimana?
Saya lihat, banyak orang yang salah mempersepsikan tentang belajar. Banyak orang mengukur hasil belajar berdasarkan angka-angka yang tertera saja, dengan melupakan proses yang semestinya dilewati oleh sang anak. Kalau PR dikerjakan oleh guru lesnya, tentulah hasilnya baik. Tapi apa mereka bisa menjamin jika PR yang dikerjakan oleh guru les itu bisa mendongkrak kemampuan anak?  Yang saya khawatirkan, anak menjadi  keenakan karena PR-nya dikerjakan sehingga dia tidak tertantang untuk memecahkan soal-soal yang seharusnya dipecahkannya.