Sebuah tawaran untuk berkunjung ke rumah si Pitung di Marunda, Jakarta Utara, datang dari Kompasianer Muthia Alhasany, yang juga admin Kompasiana Click, komunitasnya para pecinta Commuter Line, Jakarta.
Tanpa berpikir panjang lagi, saya jawab pesan yang disampaikan lewan WhatsApp itu; Mau! Maka berkumpullah kami di Stasiun Kota, sebanyak 13 orang kompasianer, plus calon kompasianer, Fahmi, Putra dari pasangan Okti Li dengan Iwan yang lebih dikenal di akun FBnya sebagai Gauss O Ne, Sabtu tanggal 13 Juli lalu.
Dari Stasiun Kota, kami memulai perjalanan dengan kereta Commuter Line menuju Tanjung Priok. Dari Stasiun kami menyeberang ke terminal bus, lalu kemudian menuju halte bus Transjakarta. Ingin lebih cepat sampai di Marunda kami naik bus Transjakarta dan turun di halte jalan Enggano. Rupanya kami salah duga, rupanya bus yang sama juga berangkat dari terminal Tanjung Priok, akhirnya terpaksa menunggu bus Transjakarta yang menuju ke Marunda sekitar 20 menit.
Menaiki bus Transjakarta seukuran Kopaja tersebut, kami meluncur melewati jalan Sulawesi, lalu mendekat ke arah pelabuhan kontainer dan belok kanan melewati jalan raya Koja dan bablas menuju Cilincing, berpapasan dengan truk-truk pembawa kontainer berukuran 20 maupun 40 feet, atau panjang sekitar 6 dan 12 meter.
Sampai di Marunda, hal yang pertama yang paling menonjol menyambut kedatangan kami adalah Rusunawa Marunda yang terdiri dari 4 cluster yang mencakup 29 Blok dan 2880 unit. Dari jauh Rusun tersebut terlihat menarik karena setiap blok di cat dengan warna yang berbeda. Dari pertigaan yang merupakan halte terakhir menjelang Rusunawa kami disambut oleh sebuah Gapura bertuliskan RUMAH SI PITUNG dan dibawahnya tertulis; 12 Jalur Destinasi Wisata Pesisir.
Turun dari bus Transjakarta, dengan berjalan kaki kami menuju rumah si Pitung yang jaraknya sekitar 500 meter dari Gapura. Hal pertama yang saya lakukan saat sampai di komplek rumah si Pitung itu, adalah; melaksanakan shalat ashar di mushalla yang terdapat di samping rumah Si Pitung. Selesah shalat, barulah saya dan teman-teman memasuki rumah si Pitung.
Masuk lebih ke dalam lagi saya menemukan ruang makan, yang di tempati sebuah meja makan lengkap dengan kursi dan sebuah lampu gantung yang dalam keadaan menyala. Ada beberapa perlengkapan minum di atas meja, berupa kendi dan dua gelas yang juga menyerupai kendi kecil. Membayangkan rumah itu hanya ditempati satu orang, masuk akal juga kalau perlengkapan yang ada di sana juga minim.
Melihat lapangnya ruangan di rumah ini, timbul juga pertanyaan: buat apa rumah sebesar ini, kalau penghuninya hanya satu orang? Tapi jawaban yang timbul adalah; mungkin pemilik rumah sebelumnya adalah keluarga besar, atau, karena memang orang kaya sebagai juragan ikan, bisa dimaklumi juga bila dia membangun sebuah rumah besar untuk keluarganya, terlepas dia mempunyai keluarga besar atau tidak.
Di salah satu sudut ruang yang cukup luas itu juga terdapat sepasang kursi tamu, dan di bagian ujung  terdapat sebuah bangku yang terbuat dari bambu yang kalau melihat bentuknya, itu adalah sebuah kursi malas buat tiduran atau santai disaat senggang. Di atas kursi malas tersebut terdapat beberapa peralatan dapur, seperti dandang, ulekan cabe, cetakan kue dan juga sebuah lesung berikut alu.
Saya coba untuk membayangkan suasana rumah itu dimasa lebih dari seratus tahun silam, namun karena minimnya sarana pendukung rumah tersebut, saya gagal untuk menyelaminya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H