1963
Aku lagi di Guguak Rang Pisang, rumah keluarga almarhum ayah. Matahari baru saja menyinari kampung. Itu menandakan waktu sudah menunjukkan sekitar pukul 9 pagi.Â
Matahari memang terlambat menyinari kampung keduaku itu, karena posisinya yang berada di kaki bukit barisan yang membentang dari Utara ke Selatan, sehingga menghalangi matahari pagi yang terbit dari Timur.Â
Beda dengan kampung pertamaku di Ladang Darek, dimana aku dilahirkan. Kami bisa menikmati hangatnya cahaya matahari sejak sekitar pukul  7 pagi. Karena kampungku berjarak sekitar 1 kilometer ke arah Barat dari kaki Bukit Barisan.
Kampung sudah sepi dari anak-anak, karena mereka sudah berangkat ke sekolah di SD Hilir Lama yang jaraknya sekitar 4 kilometer dari Guguak Rang Pisang. Kecuali anak-anak yang masih di bawah usia sekolah seperti aku, atau yang masih balita. Yang masih asyik bermain di rumah, menemani orang tua masing-masing.
Aku berjalan di atas pematang sawah yang ukurannya lebih lebar dari pematang sawah lainnya, karena memang dibuat untuk jalan bagi warga yang tinggal di dusun Karan, tempat rumah keluarga ayahku berada, menuju jalan raya satu-satunya yang melintas di kampung itu. Melewati sawah-sawah yang sedang ditumbuhi palawija seperti jagung, kacang tanah dan sayur-sayuran. Sebagai pengisi jeda menjelang musim tanam padi berikutnya.
Jalan kecil pematang sawah yang di sampingnya juga terdapat selokan tempat mengalirkan air yang berasal dari rimba bukit barisan, untuk mengairi sawah yang berada di kiri dan kanannya, berakhir di tikungan jalan raya yang di sisi satunya terdapat sebuah masjid, tempat warga menunaikan ibadahnya.Â
Sampai di jalan raya, aku berhenti sejenak di halaman masjid. Untuk menyegarkan wajah dan kepalaku yang berkeringat, aku lalu menuju kolam tempat berwudhuk.
Kolam dengan lebar hampir 2 meter dan memanjang hingga ke sisi sebelahnya, dengan dibatasi di bagian tengah untuk memisahan tempat wudhuk laki-laki dan perempuan, berisi air yang begitu jernih, sehingga kita bisa melihat hingga ke dasar kolam.
Aku lalu mencuci muka. Dinginnya air kolam yang berasal dari bukit barisan itu, menyegarkan wajah dan kepalaku, membuat aku cukup betah berlama-lama main air di sana, sambil sekalian membersihkan kaki juga. Â