"Jo sia awak ang kinyak?"
"Jo pak Uwo den..."
Sebagaimana tradisi di kampungku, aku selalu memanggil orang-orang yang lebih tua dariku dengan panggilan tuan, dan andai dia seangkatan ayahku aku panggil bapak. Tapi bila mereka satu suku denganku maka aku akan memanggilnya mamak. Kalau dia sudah kakek-kakek aku akan memanggilnya inyiak aki. Â Setiap panggilan itu tak pernah diikuti dengan nama orang yang di panggil, jadi yang dipanggil hanya statusnya.
Kerugian yang timbul dengan keadaan ini adalah aku banyak tidak tahu siapa nama-nama orang-orang tua yang aku panggil itu, kecuali aku pernah menanyakannya sebelumnya kepada anaknya atau keluarganya yang lain yang sepermainan atau seusia denganku. Adalah suatu ketidak laziman untuk menanyakan nama orang dewasa atau tua tersebut, langsung kepada yang bersangkutan oleh seorang anak kecil seperti aku.
Begitu juga terhadap yang wanita, aku hanya memanggil mereka kak atau kakak untuk mereka yang hanya tua beberapa tahun dariku, etek untuk lingkungan keluarga atau aciak untuk yang bukan keluarga untuk mereka yang berusia sedikit lebih rendah dari usia umiku, dan amai atau tuo bagi yang usianya diatas usia orang tuaku, serta inyiak uci bagi mereka yang sudah sepuh.
Itu pulalah sebabnya aku tidak tahu satupun nama orang-orang yang bekerja di bengkel perabot menantu amai Tiara ini, walaupun aku kenal dengan mereka dan tahu di mana rumahnya. Kecuali mereka yang rumahnya berbeda kampung denganku. Jadi setiap yang menyapa aku hanya bisa menjawab "...ya Tuan" atau ...ya Pak".
Di antara beberapa tukang yang ada disana, ada yang menanyakan kakak laki-lakiku tuan Salim, yang juga berprofesi seperti mereka. Tapi karena aku tidak tahu dimana keberadaan tuan Salim serta kemana dia merantau, maka jawabanku lebih banyak "tidak tahu....".
Karena sudah familiar dengan situasi oloh tempat mereka bekerja, sebagaimana juga oloh yang ada di kampungku. Maka aku tak merasa asing dengan suasana kerja para tukang itu, aku masuk dan melihat mereka bekerja dari jarak dekat. Masing-masing tukang membuat perabot sesuai dengan pesanan yang diberikan kepada mereka. Membuat kursi makan berikut mejanya, kursi tamu yang di kampung suka di panggilsice. Lemari pakaian, dipan dan lain-lain.
Sisa hari itupun aku habiskan disana, menonton para tukang itu bekerja, sesekali mengambilkan peralatan yang mereka butuhkan yang letaknya jauh dari bangku kerjanya, mengambilkan katam atau serutan kayu, panokok alias palu atau martil, arikalias gergaji, akupun tak canggung atau bingung mengambilkannya, karena aku sudah hafal semua peralatan itu, atau membantu memegang perabot yang mereka kerjakan bila kulihat ada yang membutuhkan pertolongan.
Bila tak ada lagi yang dapat aku bantu, aku lalu mengambil pengataman, bekas serutan kayu yang tipis setebal kertas dan bergulung-gulung, membawanya kesudut oloh dan menumpuknya disana, lalu aku duduk santai diatasnya sambil bersandar ke kayu bekas yang di sandarkan di dinding, menonton para tukang itu bekerja sambil menunggu dan membayangkan hari esok yang sudah pasti berbeda...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H