Semakin dekat aku dengan pintu masuk lapangan itu, aku mulai melihat orang sedang menggiring kambing, sapi dan juga kerbau keluar masuk lapangan, hingga akhirnya ketika aku sampai, barulah aku tahu kalau itu adalah pasar ternak.Â
Karena sudah terbiasa hidup di kampung dan berdekatan dengan hewan peliharaan seperti itu, bahkan malah pernah punya seekor sapi yang kami gembalakan bersama uda Des. Aku tak merasa takut untuk masuk ke dalam pasar ternak itu. Hanya saja aku juga tidak berani terlalu dekat dengan hewan besar seperti sapi dan kerbau dewasa.
Saat melewati hewan-hewan ternak yang ukuran tubuhnya beragam itu, aku juga sesekali melihat para pemilik maupun pengunjung yang ingin menjual maupun membeli ternak di sana. Ciri khas pemilik hewan ternak itu adalah kain sarung yang diselempangkan di pundaknya lalu menyilang ke samping  bagian bawah tubuh sebelahnya.Â
Sementara untuk pengunjung ada juga yang melakukan hal yang sama, atau hanya menyandang kain sarung mereka di pundak masing-masing. Bahkan ada juga yang meletakkan sarung mereka diatas kopiah hitam yang bertengger di atas kepala mereka, yang berfungsi sebagai pelindung dari sengatan panasnya matahari.
Sebelum bertransaksi, sipembeli akan melihat lebih dulu hewan pilihannya. Bila dirasa sudah sesuai dengan kebutuhan, ukuran tubuh dan usia serta jenis kelamin sang ternak, maka transaksipun dimulai. Keunikan transaksi itu adalah, si pembeli tidak akan mendapatkan jawaban langsung dari si pemilik ternak, tapi si pemilik ternak akan mengulurkan tangannya seperti orang akan bersalaman dengan si pembeli, namun tangan yang terjulur itu ditutupi dengan kain sarung yang terselempang di tubuh si pemilik ternak. Si pembelipun kemudian akan mengulurkan tangannya ke tangan si pemilik yang tersembunyi di bawah kain sarung.Â
Melalui jari-jari pemilik dan pembeli itulah tawar menawar berjalan. Walaupun mereka saling bertatapan mata, namun tak satupun kata-kata berupa angka penawaran yang mereka sebutkan keluar dari mulut keduanya. Paling yang kedengaran hanya ucapan "tambahlah " "atau "kurangilah" sementara berapa tambah atau kurangnya, semuanya bermain di jari keduanya yang bernegosiasi di bawah kain sarung, Â sehingga berapa penawaran dan nilai transaksi itu tak seorang pun yang tahu selain mereka berdua. Kecuali kalau nanti uang sudah berpindah tangan dari si pembeli kepada si penjual.
Panas dan juga rasa haus membuat aku tidak bisa bertahan terlalu lama di pasar ternak itu. Takut dimarahi karena bermain jauh dari rumah, ikut membuat aku harus segera pulang. Dengan langkah gontai aku tinggalkan pasar ternak, lalu berjalan pulang ke rumah amai Tiara.
Sampai di rumah, aku tidak masuk dari pintu depan. Takut dimarahi, aku tak berani bertemu amai Tiara. Aku lalu berjaan lewat samping rumah, terus ke belakang.
Oloh atau bengkel perabot itu persis terletak di belakang, menempel ke rumah induk, cukup luas untuk menampung enam bangku kerja para tukang yang bekerja. Setelah sampai di sana, diam-diam aku berdiri sambil sebelah tanganku memegang tiang pintu masuk. Rupanya kehadiranku langsung terlihat oleh salah seorang tukang yang sedang bekerja. Diapun menyapaku.
"Ee, awak ang Mi, bilo tibo, jo sia kinyak?" salah seorang tukang yang bekerja disana langsung menyapaku dari bangku kerjanya. Si penanya adalah suami dari kak Nuzu, salah seorang tetangga di kampungku.
"Sabantako, Tuan..."