Mohon tunggu...
Dian Kelana
Dian Kelana Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pengelana kehilangan arah

www.diankelana.web.id | www.diankelanaphotography.com | www.diankelana.id

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Berkelana di Ambarawa

5 Mei 2016   22:46 Diperbarui: 7 Mei 2016   09:52 714
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 [caption caption="Cahaya merona matahari pagi di Ambarawa"][/caption]

Sehabis diguyur hujan lebat saat memasuki hotel Sari, Ambarawa, saya berganti baju, dilanjut dengan menunaikan shalat isya, habis shalat saya online sebentar, dengan HP masih di tangan akhirnya saya tertidur pulas. 

Jam tiga lewat dua menit, saya terbangun, lihat jam di HP kemudian lalu shalat tahajud dan terus berdoa. Suasana malam yang adem membuat saya ingin bermain keluar kamar hotel. Sunyi,  adem dan tenteram, demikian yang saya rasakan begitu berada di luar kamar.

Dengan HP tetap di dalam genggaman, saya lalu berjalan menuju halaman depan hotel. Suasana jalan raya yang berada di depan hotel terlihat sepi, lampu penerangan hotel bersinar temaram. Walau sekeliling saya kelihatan agak gelap, tapi tidak terasa menyeramkan, malah suasana sunyi itu membuat perasaan terasa begitu damai.

Setelah memotret beberapa kali dengan HP Lenovo P70 yang berada di tangan saya, saya lalu kembali masuk kamar. Karena sudah mendekati pukul empat pagi, saya lalu menyalakan tv, lalu menonton agar tidak ketiduran saat menjemput datangnya waktu subuh nanti. 

Selesai mandi jam 4, saya lalu melaksanakan shalat sunat fajar, tak lama kemudian suara azan subuh pun terdengar mengalun indah dari masjid-masjid disekitar hotel. Azan usai saya pun melaksanakan shalat subuh sendiri. 

Terdengar beberapa penghuni Hotel juga sudah bangun, dan  mempersiapkan diri untuk melaksanakan panggilan Tuhan itu. Selesai shalat subuh seorang petugas  membuka pintu pagar hotel. Melihat pintu pagar dibuka, saya lalu masuk kamar dan mengambil jaket. Saya ingin melihat bagaimana kota Ambarawa di pagi hari.

Karena masih berada di kaki gunung, udara Ambarawa terasa cukup dingin, namun karena juga berasal dari kota yang juga berada dekat gunung, saya sudah terbiasa. Keluar dari pekarangan hotel, saya berjalan ke arah barat Kota, menuju pasar Projo yang hanya bergerak sekitar 1 kilo dari hotel. 

Semakin dekat ke Pasar Projo, lalu lintas semakin ramai, hingga akhirnya saya pun bergabung dengan para pedagang sayur yang menurunkan sayur mereka dari mobil bak terbuka. Melihat pemandangan pagi itu, di mana para petani sayur terlihat membenahi dagangan mereka, dan pembeli yang juga semakin ramai, yang umumnya adalah pedagang sayur eceran untuk di warung-warung atau di pasar darurat. membuat saya semakin bersemangat mengabadikannya dengan HP saya. 

 

Pasar Ambarawa tahun 1939 (Foto: Sariyanto/Kep. Pasar Projo)

Kehadiran saya yang tidak begitu menjadi perhatian para pedagang maupun para pengunjung pasar, membuat saya leluasa mengarahkan HP saya untuk mengabadikan kesibukan pasar di pagi hari itu. 

Mendekati jam tujuh, saya mulai menarik diri dari pasar dan kembali ke hotel untuk menikmati sarapan pagi dan segelas teh manis. Selesai sarapan berupa ketoprak dan segelas teh manis hangat yang di jual di kaki lima tidak jauh dari hotel, saya lalu masuk kamar dan kemudian mandi.

 

Pasar Projo, Ambarawa, 1969 (Foto Sariyanto, Kep.Pasar Projo)

Selesai mandi, saya kembali keluar dan menanyakan kepada petugas hotel kendaraan yang menuju ke Rawa Pening. Petugas hotel mengatakan, daripada naik angkot yang harus nyambung-nyambung, mendingan naik ojek saja, dan dia siap mengantarkan saya gratis tanpa bayar. 

Tapi saya menolak tawaran dia, karena bila saya naik ojek, kegiatan potret memotret pakai HP akan terganggu, karena goncangan motor yang saya naiki. Akhirnya saya memilih jalan kaki kembali ke pasar Projo. Kalau tadi pagi prioritas saya adalah para pedagang sayur, maka pada  kedatangan saya yang kedua ini, saya akan lebih fokus pada keadaan pasar dan kondisinya.

 

Pasar Projo, Ambarawa 1992 - 2012, (Foto Sariyanto, Kep. Pasar Projo.)

 

Setibanya saya di pasar Projo sekitar jam 9, saya lalu menemui kepala pasar, yang alhamdulillah ada di tempat, namu sebelum masuk saya melihat ada sedikit keramaian di depan kantor pasar. Rupanya adalah para petugas sensus yang akan mengadakan sensus ekonomi di dalam pasar. Setelah para petugas tersebut berangkat menunaikan tugas merek masing-masing, baru saya menemui kepala pasar Projo, Sariyanto, 43 tahun. 

Saya ngobrol dengan beliau sambil jalan-jalan mulai dari kantor lalu masuk pasar hingga ke atap pasar. Pasar Projo mulai tumbuh sejak zaman penjajahan Belanda di tahun 1930an. Awal terbentuknya pasar adalah karena terdapatnya dua batang pohon besar di pinggir jalan desa saat itu. 

Mulai sejak itu penduduk yang ingin menjual hasil pertanian maupun industri rumah tangga lainnya mulai berdatangan kesana. Dengan semakin ramainya pasar tradisional itu, pemerintahan Belanda pun kemudian mendirikan kios sederhana untuk para pedagang yang awalnya hanya berbentuk tenda darurat yang ditutupi kain. 

Sejak adanya pasar Projo, yang awalnya bernama pasar Ambarawa, telah terjadi beberapa kali renovasi. Renovasi terakhir adalah pada tahun 2014, dimana sebelumnya terjadi kebakaran besar yang menghanguskan seluruh pasar. Pasar berlantai dua ini selesai di renovasi tahun 2015 dengan biaya sekitar 47 milyard

Akhir perjalanan kami mengeliling pasar Projo, Ambarawa, adalah naik ke puncak lantai atas pasar. Ini saya lakukan untuk mendapatkan pemandangan latar belakang pasar Projo, yang setelah saya sampai di puncak pasarnya, benar-benar fantastis indahnya. Melihat ke sekeliling Pasar Projo, membuat saya takjub dengan keindahannya. 

Di selatan belakang pasar mulai dari timur hingga ke barat saya melihat bentangan danau Rawapening yang begitu indah dengan latar belakang Gunung Telomoyo dan Merbabu bagaikan mengawasi keindahan sekelilingnya. Sementara dibagian Utara menjulang gunung Sindoro. 

Untuk mendapat foto yang lebih baik lagi, saya memanjat atap bagian belakang pasar, yang memperlihatkan luasnya pemandangan Danau Rawa Pening. Walau cukup jauh dari pasar, namun Rawa Pening tertlihat begitu mempesona saya, sehingga jari saya begitu sulit untuk dihentikan memencet tombol kamera HP Lenovo P70 itu. Diakhir tinjauan sayapun selfie bersama sang kepala pasar yang begitu sabar menerima kehadiran saya dan memberikan keterangan yang saya perlukan.

[caption caption="Matahari pagi mulai menerangi Ambarawa dari kegelapan. Foto:Dian Kelana"]

 

[/caption]

[caption caption="Transaksi pagi. Foto: Dian Kelana"]

[/caption]

[caption caption="Menunggu pembeli. Foto: Dian Kelana."]

[/caption]

[caption caption="Tempat bertemunya Pedagang dan Pembeli. Foto: Dian Kelana"]

[/caption]

[caption caption="Menjelang Transaksi. Foto: Dian Kelana."]

[/caption]

[caption caption="Grup Lelaki. Foto: Ngopi Pagi"]

[/caption]

Menunggu Pembeli  Foto: Dian Kelana

 

Rawa Pening difoto dari lantai atas Pasar Projo. Foto: Dian Kelana.
Rawa Pening, yang sering membuat inspirasi. Foto: Dian Kelana

 

Selfie bersama kepala Pasar Projo, Ambarawa, Setiyanto, dengan latar belakang gunung Telomoyo dan Merbabu  
Pemandangan di bagian Barat Pasar Projo. Foto: Dian Kelana

 

Bagia Utara Pasar Projo, dengan latar belakang Gunung Sindoro. Foto: DK

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun