Kehadiran saya yang tidak begitu menjadi perhatian para pedagang maupun para pengunjung pasar, membuat saya leluasa mengarahkan HP saya untuk mengabadikan kesibukan pasar di pagi hari itu.Â
Mendekati jam tujuh, saya mulai menarik diri dari pasar dan kembali ke hotel untuk menikmati sarapan pagi dan segelas teh manis. Selesai sarapan berupa ketoprak dan segelas teh manis hangat yang di jual di kaki lima tidak jauh dari hotel, saya lalu masuk kamar dan kemudian mandi.
Â
Selesai mandi, saya kembali keluar dan menanyakan kepada petugas hotel kendaraan yang menuju ke Rawa Pening. Petugas hotel mengatakan, daripada naik angkot yang harus nyambung-nyambung, mendingan naik ojek saja, dan dia siap mengantarkan saya gratis tanpa bayar.Â
Tapi saya menolak tawaran dia, karena bila saya naik ojek, kegiatan potret memotret pakai HP akan terganggu, karena goncangan motor yang saya naiki. Akhirnya saya memilih jalan kaki kembali ke pasar Projo. Kalau tadi pagi prioritas saya adalah para pedagang sayur, maka pada  kedatangan saya yang kedua ini, saya akan lebih fokus pada keadaan pasar dan kondisinya.
Â
Â
Setibanya saya di pasar Projo sekitar jam 9, saya lalu menemui kepala pasar, yang alhamdulillah ada di tempat, namu sebelum masuk saya melihat ada sedikit keramaian di depan kantor pasar. Rupanya adalah para petugas sensus yang akan mengadakan sensus ekonomi di dalam pasar. Setelah para petugas tersebut berangkat menunaikan tugas merek masing-masing, baru saya menemui kepala pasar Projo, Sariyanto, 43 tahun.Â
Saya ngobrol dengan beliau sambil jalan-jalan mulai dari kantor lalu masuk pasar hingga ke atap pasar. Pasar Projo mulai tumbuh sejak zaman penjajahan Belanda di tahun 1930an. Awal terbentuknya pasar adalah karena terdapatnya dua batang pohon besar di pinggir jalan desa saat itu.Â