Mohon tunggu...
Dian Kelana
Dian Kelana Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pengelana kehilangan arah

www.diankelana.web.id | www.diankelanaphotography.com | www.diankelana.id

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Narkoba Merenggutkan Sang Anak dari Tengah Keluarga

6 April 2014   14:49 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:00 143
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

1979. Seorang bayi laki-laki yang sehat lahir di sebuah rumah bersalin. Seorang laki-laki yang tengah menggendong seorang balita, masuk menuju ruang pemulihan, dialah sang suami dari wanita dan ayah si bayi. Aku mengiringi dari belakang. Setelah sampai di tepi pembaringan, aku mengulurkan tangan pada si ibu, mengucapkan selamat atas kelahiran anak keduanya. Di sampingnya sang bayi yang masih merah itu, tertidur pulas.

Si ayah lalu menurunkan sang kakak dari pangkuannya, seorang perempuan balita berusia 3 tahun, yang tidak bisa berdiri sempurna karena polio. Aku lalu memegang tangan si anak bernama Vienna itu. Sementara sang ayah lalu menggendong si bayi.

Aku lalu menggendong Vienna. Wajah ingin tahunya yang sedari tadi tak lepas dari adiknya, membuat aku kasihan padanya. Karena tidak bisa lagi melihat adiknya yang tengah berada di pangkuan sang ayah. Setelah berada di pangkuanku, aku lalu mendekatkan Vienna ke adiknya yang masih dalam pangkuan ayahnya. Tangan mungilnya yang tak sempurna, mencoba membelai wajah adiknya. Ada rasa hiba yang aku rasakan saat itu. Melihat Vienna berusaha dengan jari tangannya yang kaku tetap mencoba menyentuh pipi adiknya, dan ketika hal itu berhasil di lakukannya, dia tertawa begitu bahagia, begitu juga saat hal itu dapat di ulanginya beberapa kali.

***

Jaime demikian nama sang bayi, tumbuh sebagai anak yang sehat dan tampan. Rambut ikalnya membuat dia berbeda di tengah keluarga. Prestasi sekolahnyapun bagus sehingga membuat bangga keluarga. Vienna, dengan segala keterbatasan fisiknya. Juga mampu memberikan nilai yang baik di sekolahnya, walau bukan yang terbaik, namun masih diatas rata-rata. Kecuali dalam mata pelajaran olah raga yang memang tak bisa diikutinya.

Hubungan kekeluargaan kami juga cukup baik. Walaupun tak punya hubungan darah dan keluarga, tapi aku cukup dekat dengan keluarga mereka. Akupun sering bertandang dan menginap di rumah mereka. Merekapun beberapa kali sempat berkunjung kerumah kakakku di mana aku tinggal dan menumpang.

Lulus sekolah dasar, Jaime dimasukkan ke pesantren yang letaknya tidak jauh dari rumah mereka. Karena dekat dari rumah, Jaime pun tidak mondok di pesantrennya. Berbeda dengan teman yang lain yang harus mondok di asrama dengan segala peraturannya yang ketat.

Selesai menuntaskan SMPnya di pesantren dengan nilai yang cukup bagus. Masuk SMA, Jaime dimasukkan ke sekolah negeri. Nilai raport SMPnya yang cukup bagus itu, menolong dirinya untuk mendapat tempat di SMA favorit pilihannya. Walau bukan berasal dari keluarga kaya, namun keluarganya cukup mampu untuk menyekolahkan dirinya di sekolah pilihan itu.

Di SMA sendiripun Jaime masuk murid yang cukup cerdas dan mampu mengikuti pelajaran dengan baik. Walau bukan yang terbaik, namun masih dalam lingkaran sepuluh besar di antara murid-murid pilihan lainnya. Dengan prestasi yang cukup membanggakan ini, diapun telah merencanakan masa depannya untuk memasuki salah satu perguruan tinggi terbaik di negeri ini. Pihak keluargapun tak merasa keberatan dengan pilihan sang anak. Apalagi tinggal hanya dialah satu-satunya yang masih menjadi tanggungan keluarga. Karena Vienna sang kakak, setelah menamatkan SMP, tak lagi punya keinginan untuk melanjutkan pendidikannya. Karena sering kesulitan melakukan aktifitas, disebabkan oleh keterbatasan kondisi fisiknya.

Tamat SMA dengan nilai diatas rata-rata. Jaime mendaftar di beberapa perguruan tinggi terbaik pilihannya. Dan tentu saja pilihan utamanya adalah Universitas Indonesia, yang saat itu telah pindah ke Depok.

Keberuntungan nampaknya memang tengah berada di pihaknya. Jaime lulus dari Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru, yang saat itu lebih terkenal dengan singkatan,“sipenmaru” yang diselenggarakan di Stadion Utama Senayan. Seluruh keluarga ikut bahagia menyambut keberhasilan Jaime, lulus memasuki perguruan terbaik di Indonesia itu. Walau tak ikut mengantarnya ke Depok, aku juga cukup senang mendengar kabar itu, saat aku berkunjung kerumah mereka.

Jauhnya rumah mereka yang berada di di Bekasi, dengan kampus UI yang berada di Depok. Mengharuskan Jaime untuk tinggal di salah satu rumah kost, di antara ratusan atau ribuan rumah kost yang bertebaran di sekitar kampusnya. Dari sini pulalah bencana itu mulai mengintai Jaime.

Jauh dari keluarga yang senantiasa memperhatikan segala kebutuhan ataupun keperluan pribadi, maupun pergaulan dan kehidupan sosialnya di tengah lingkungan yang terjalin baik. Membuat Jaime gamang.

Lingkungan yang serba baru, teman baru, kehidupan baru, tanpa ada keluarga yang mengawasi, membuat Jaime kehilangan kendali. Kepolosannya dalam berteman, membuat dia tidak sadar bahwa dia sedang dalam jeratan mafia narkoba. Menikmati kebebasan tanpa kontrol dari siapapun, memudahkan segalanya mendekati dirinya. Pelajaran pertama dari mencoba gratis barang haram itu, dari mereka yang katanya “teman” yang kemudian secara terus menerus mencekokinya. Akhirnya membuat dia menjadi pecandu yang akut. Fihak keluarga yang telambat tahu, sementara dana pendidikan senantiasa lancar mengalir, di tambah lagi dengan rengekan tambahan dana untuk praktek ini dan praktek itu, yang diterima dan diloloskan tanpa pernah berusaha mengetahui kebenarannya. Karena diselimuti kebanggaan akan anak yang kuliah dia perguruan tinggi terbaik Indonesia. Membuat orang tua lalai akan kontrol terhadap keadaan anak yang sebenarnya. Kesibukan mencari uang untuk biaya kuliah sang anak, maupun untuk kehidupan sehari-hari. Membuat orang tua lupa untuk sesekali mengunjung sang anak di kampus ataupun di tempat kostnya.

Akhirnya malapetaka itupun datang!

Suatu pagi, sebuah pesan melalui pager yang terselip di pinggangku terbaca: Jaime meninggal.

Aku tak perlu tahu siapa yang mengirim pesan itu. Tanpa berpikir panjang lagi aku menutup kembali studio yang baru saja dibuka, memberi tahu istriku agar segera berkemas juga anak-anak. Dengan taksi kami menuju rumah duka. Untunglah kami melawan arah, sehingga kemacetan tak begitu menghalangi perjalanan kami. Taksi yang kami tumpangi bisa berjalan dengan kecepatan cukup tinggi ke arah timur Jakarta, karena pengemudinya rupanya mengerti kami sedang dalam menghadapi musibah.

Sampai di rumah duka, kami mendapatkan tamu sudah cukup banyak. Aku langsung menemui sang ayah yang terkulai lemas bersandar di dinding di samping mayat sang putra tercinta yang terbujur kaku. Dengan muka yang mengambarkan kesedihan yang mendalam dan airmata yang tak kunjung berhenti mengalir. Aku menyalami dan memeluknya sambil mengucapkan doa dan menyuruhnya bersabar menghadapi musibah yang terjadi. Akupun tak sanggup menahan airmata, mengenang kedekatan kami yang bagaikan sudah saudara kandung.

Kemudian aku mendekati istrinya yang duduk di sisi lain di sebelah mayat. Menyalaminya dengan airmata yang juga tak dapat kubendung. Sambil malafazkan doa untuk sang anak, dan kata-kata penyabaran untuk sang ibu yang kehilangan putra tercintanya.

Dalam perjalanan pulang dari kuburan, aku hanya bisa membatin. Betapa merusaknya Narkoba bila telah berkenalan dengannya. Nyawa adalah taruhannya, seperti yang terjadi pada Jaime.

(Kisah nyata. Nama dan tempat di samarkan, untuk melindungi keluarga korban)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun