Mohon tunggu...
Dianita Sahentendi
Dianita Sahentendi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Ingin meningkatkan kemampuan menulis saya

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Refleksi Artikel Jurnal

23 Februari 2024   14:07 Diperbarui: 23 Februari 2024   14:09 109
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Identitas Jurnal

Judul         : Dekolonialisasi Pendidikan Agama Kristen di Indonesia

Penulis    : Mariska Lauterboom

Penerbit : Indonesian Journal of Theology

Tahun terbit : 2019

Deskripsi

Indonesia merupakan negara yang kaya akan budaya dari setiap daerah, mulai dari tarian daerah, bahasa daerah, adat istiadat, cerita rakyat bahkan mitos-mitos tentang terbentuknya dunia atau semesta. Budaya yang dimiliki oleh setiap daerah ini menjadi salah satu sarana penting yang bisa dikembangkan dan kemudian digunakan untuk dijadikan landasan dalam melakukan pendidikan, termasuk Pendidikan Agama Kristen yang ada di gereja. Namun, dengan adanya penjajahan yang dilakukan oleh bangsa Eropa terlebih khusus Belanda, menjadikan kekayaan budaya yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia menjadi hal yang dibatasi dan dilarang karena dianggap lebih rendah dibandingkan dengan budaya yang ada di Barat. Budaya-budaya di Indonesia dianggap sebagai sesuatu hal yang menyimpang dari ajaran kekristenan dan tentunya juga Alkitab.

Penginjilan yang dilakukan oleh Belanda dilakukan menggunakan bahasa asing, yang dimana hingga sekarang membuat bahasa asing terus diagungkan dibandingkan dengan bahasa daerah. Penginjilan tersebut dilakukan oleh misionaris dengan berpusat terhadap ajaran yang ada di Alkitab, sehingga sekarang Alkitab tetap menjadi sumber utama dalam melakukan penginjilan dan budaya-budaya lokal yang dimiliki oleh masyarakat cenderung terabaikan. Misionaris yang saat itu menjadi pusat penginjilan menjadikan orang Kristen hingga sekarang menjadikan misionaris atau pendeta sebagai pusat. Misionaris atau pendeta dianggap sebagai guru atau orang yang paling tahu mengenai seluk beluk Alkitab, sedangkan jemaat dianggap sebagai murid yang tidak tahu apa-apa. Sehingga anggota jemaat selaku murid harus terus dan tetap mendengarkan apa yang disampaikan oleh misionaris atau pendeta terhadap jemaat. Bahkan terjadi juga kesenjangan terhadap nilai-nilai firman yang disampaikan oleh misionaris atau pendeta terhadap kehidupan anggota jemaat.

Dekolonialisasi merupakan sebuah upaya dalam menghilangkan nilai-nilai yang menindas yang ditinggalkan oleh penjajah dahulu. Menjadi salah satu cara untuk memberikan tempat atau ruang ketiga untuk kebudayaan lokal yang dianggap lebih rendah dari budaya barat dalam melakukan Pendidikan Agama Kristen. Praktik pendidikan yang membelenggu diidentikkan dalam tiga hal, yaitu: Alkitab sumber utama dalam melakukan Pendidikan Agama Kristen, relasi pendeta dan jemaat (guru dan murid), dan metode belajar-mengajar yang menggunakan memorisasi atau hafalan.

Strategi untuk dekolonialisasi khotbah yang bisa diterapkan pada PAK:

1. Mengenali dan menyebutkan nilai-nilai kolonial yang menindas dan kemudian merespons hal tersebut;

2. Menghargai perbedaan dan kemajemukan yang ada;

3. Harus hati-hati dalam setiap hal yang dilakukan dalam proses belajar-mengajar;

4. Peka terhadap dinamika kekuasaan yang ada dalam proses belajar-mengajar;

5. Perlu adanya ruang lain untuk menerima berbagai cerita yang tidak hanya bersumber di Alkitab;

6. Memfasilitasi negosiasi dan kontradiksi;

7. Menggunakan media yang kreatif;

8. Adanya resistensi dan kritik terhadap nilai-nilai kolonial yang ada di gereja dan diluar gereja.

Refleksi

Pendidikan Agama Kristen yang dilakukan pada konteks sekarang masih cenderung melanggengkan nilai-nilai yang menindas yang ditinggalkan mulai dari zaman penjajahan oleh pemerintahan Belanda. Mulai dari penekanan terhadap metode balajar-mengajar menggunakan metode memorisasi atau hafalan yang lebih menekankan pada segi kognitifnya tanpa mempertimbangkan pengalaman yang dimiliki oleh individu tersebut. Kemudian penekanan terhadap metode monolog, yang lebih cenderung terhadap penerusan makna bukan tentang bagaimana pendeta dan anggota jemaat sama-sama berdiskusi dan menciptakan makna bersama sesuai dengan konteks yang dimiliki oleh masing-masing gereja.

Setiap anggota jemaat merupakan individu yang telah terbentuk melalui sosialisasi yang terjadi di lingkungan dimana ia berada. Sehingga menggunakan metode monolog atau penerusan makna terhadap anggota jemaat merupakan sebuah metode yang kurang tepat lagi, karena hal itu akan cenderung membuat firman yang disampaikan tidak selaras dengan kehidupan sehari-hari yang dijalani oleh anggota jemaat. Hal inilah yang membuat saya setuju dengan penulis, bahwa perlu adanya upaya dekolonialisasi terhadap Pendidikan Agama Kristen yang ada di Indonesia. Dimana dalam metode pengajarannya gereja dan anggota jemaat harus peka terhadap nilai-nilai yang menindas yang terus dilanggengkan hingga sekarang. Kepekaan ini harus ditunjukkan tidak hanya di lingkungan gereja saja, melainkan di lingkungan luar gereja juga. Namun hal ini menjadi sebuah tugas besar, karena tidak semua orang menyadari tentang penindasan yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan kadang penindasan dianggap sebagai hal yang wajar untuk dilakukan ditengah kehidupan bermasyarakat. Hal ini terjadi, karena nilai-nilai penindasan tersebut telah terinternalisasi dalam diri setiap individu melalui sosialisasi dalam lingkungannya. Seperti, terciptanya budaya diam di kalangan orang percaya. Saat ada kasus perundungan terhadap saudara-saudara yang ada di Papua gereja hanya diam, tanpa memberikan suara untuk mendukung saudara-saudara yang di Papua. Hal tersebut membuat gereja secara tidak langsung mengajarkan anggota jemaat untuk tetap diam dan tidak mengambil tindakan saat ada ketidakadilan yang terjadi terhadap orang lain.

Kritik dan saran

Saya setuju dengan delapan langkah yang ditawarkan dalam artikel ini untuk melakukan dekolonialisasi Pendidikan Agama Kristen di Indonesia. Namun, untuk bisa melaksanakan ke delapan langkah tersebut menjadi sebuah tugas yang berat. Pasalnya tidak semua orang menyadari penindasan yang dialami oleh diri sendiri atau bahkan orang lain. Sehingga untuk menyadari nilai-nilai kolonial yang menindas dan masih tertinggal ini merupakan hal yang sulit dilakukan. Kecenderungan masyarakat untuk hidup berdampingan dengan nilai-nilai kolonial yang menindas masih banyak ditemukan hingga sekarang. Oleh karena itu, perlu adanya upaya pembekalan terhadap seluruh anggota gereja tentang apa itu nilai-nilai kolonial yang menindas dan masih dilanggengkan hingga sekarang. Bagaimana cara itu dilanggengkan? Disaat anggota jemaat sudah memiliki kesadaran akan hal-hal tersebut, maka ke delapan langkah yang ditawarkan memiliki kemungkinan untuk dilaksanakan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun