Mohon tunggu...
Dianisa Rizkika
Dianisa Rizkika Mohon Tunggu... Wiraswasta - Sedang belajar menulis

Anak teknik yang gemar minum kopi dan bercita - cita menjadi pegiat literasi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Jaga Nyala Sikap Anti-Korupsi Lewat Tradisi Matiti di Bali

10 Agustus 2024   12:57 Diperbarui: 10 Agustus 2024   12:57 78
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Indonesia tengah dilanda badai disorientasi cara pandang dan moral etika yang tercabik-cabik. Hingga lahirlah kultur kebohongan dan praktik korupsi. Korupsi demi korupsi menjadi permainan kotor dari mulai penguasa,  kalangan menengah, hingga kalangan bawah.

Catatan sejarah menunjukkan tren kasus korupsi di Indonesia meningkat setiap tahunnya. Dari data hasil pantauan ICW, ditemukan sebanyak 791 kasus korupsi di tahun 2023, dengan taksiran kerugian negara mencapai Rp 28,4 triliun. Merebaknya kasus korupsi yang terjadi, sejatinya menjadi musuh kesejahteraan masyarakat. Efek domino juga bermunculan, sebabkan lunturnya kepercayaan masyarakat akibat terampasnya hak rakyat.

Tindakan kotor ini kebanyakan didasari karena sebab internal, diantaranya karena sifat serakah dan melekatnya hedonisme serta konsumerisme yang disertai bayang-bayang gaya hidup mewah. Selain itu pula, tumbuh suburnya korupsi juga didukung dari sikap pembenaran di sekelilingnya, diantaranya menutupi tindakan curang orang lain, pembenaran korupsi dengan dalih membahagiakan keluarga ataupun anggapan perusahaan sudah untung besar.

Beberapa faktor eksternal yang mewarnai tindak tanduk koruptor juga disebabkan berbagai alasan. Utamanya karena terpicu kesempatan berkedok khilaf, lemahnya sistem pengawasan lembaga, dan akibat  kondisi terhimpitnya perekonomian keluarga. Korupsi juga menjadi bumbu pelengkap dari kasus suap-menyuap untuk naik jabatan ataupun meraih keringanan hukuman di pengadilan.

Korupsi menjadi perbuatan yang mencederai nilai agama dan sosial serta perbuatan tidak etis yang merusak citra diri dan bangsa. Korupsi menjauhkan masyarakat dari cita-cita bangsa, membangun negara yang berdaulat adil dan makmur. Bagaimana caranya Indonesia jadi kaya dan makmur, di saat praktik korupsi makin bertumbuh subur? Lalu, bagaimana cara memberantasnya?

Upaya internalisasi kearifan lokal dan budaya bisa menjadi jawabannya. Variabel budaya yang menjadi identitas bangsa dapat dijadikan penyokong peradaban manusia, hingga memunculkan sikap anti-korupsi jika diperkenalkan sejak dini. Tentunya, budaya mengisyaratkan adanya nilai-nilai perilaku, adat-istiadat, tradisi maupun pola pikir yang lama-kelamaan mengakar kuat pada masyarakat.

Kini, kita pun merasakan era tergerusnya akar budaya bangsa hingga warisan kearifan lokal oleh pusaran disrupsi kemajuan teknologi. Tak ayal lagi, budaya barat dengan mudahnya diterima dan dijadikan sasaran enkulturasi para generasi milenial dan gen z. Padahal, Indonesia kaya akan budaya dan tradisi yang luar biasa. Dimana pendidikan bermuatan lokal ini berperan penting dalam penghayatan dan internalisasi nilai-nilai intelektual lokal.

Sebab itu, perlu dilakukan enkulturasi budaya sikap anti-korupsi lewat pembelajaran budaya sejak dini, yang diperkenalkan oleh orang tua dan masyarakat sekitar. Karena korupsi tidak dapat diberantas hanya dengan mengandalkan hukum pidana saja. Masyarakat diharuskan patuh pada nilai-nilai tradisi yang mencerminkan keteladanan. Demi mencegah penyimpangan etika, hingga menciptakan kesadaran menjaga integritas. Dengan begitu, upaya pembelajaran budaya memiliki dampak positif, bagi upaya pelestarian kearifan lokal sekaligus menanamkan nilai luhur. Salah satunya adalah  nilai-nilai anti-korupsi yang menjadi pedoman bagi generasi muda agar tak masuk  jurang keserakahan.

Penanaman nilai budaya anti-korupsi salah satunya diajarkan dalam tradisi Matiti Suara di Bali. Tradisi kuno ini masih dilangsungkan di Desa Batur, Kintamani. Setiap tahunnya, digelar upacara  Ngusaba Kadasa yang dilaksanakan pada bulan April yang menjadi puncak rangkaian tradisi Matiti Suara. Upacara tersebut dilakukan di Pura Kahyangan Jagat  Pura Batur, Kintamani.

Selama upacara berlangsung, Jero Guru Bedanginan sebagai Kesinoman, menjadi pelaksana utama upacara. Jero Guru menyampaikan sabda petuah dari sesuhunan yang berasal dari Ida Bhatara sebanyak tiga kali, sementara warga Desa Batur menjawab sambil berteriak, sebagai tanda ketulusan dalam menerima sabda tersebut.

Pesan moral yang diambil dari petuah yang disampaikan, diantaranya mengajarkan masyarakat untuk berperilaku baik, tidak curang, serta  tulus ikhlas dalam mementingkan menjaga kedamaian dan kesejahteraan masyarakat sekitarnya. Tradisi ini juga berkaitan dengan ajaran yang termaktub dalam kitab Sarasamuscaya, Bhagavad Gita, dan Menawa Dharmasastra.

Dalam Kitab Sarasamuccaya, 81, yang berbunyi:

Duragam bahudaghami prarthanasamsayatmakam,

Manah suniyatam yasya sukhi pretya veha ca.

Nihan ta krama nikang manah, bhnanta lungha svabhawanya, 

akweh mangen-angenya, dadi prathana, dadi sangsaya, 

pinakawaknya, hana pwa wwang ikang wenang humeret manah, sira 

tika menggeh amanggih sukha, mangke ring paraloka kabeh

Memiliki arti bahwa :  "Keadaan pikiran itu demikianlah tidak berkententuan jalannya, banyak yang dicita-citakannya, terkadang penuh kesangsian, demikianlah kenyataannya; jika ada orang dapat mengendalikan pikirannya, pasti orang itu memperoleh kebahagiaan, baik sekarang maupun di dunia yang lain".

Petuah tersebut membahas sifat serakah manusia yang berasal dari keinginan manusia untuk bebas berkehendak. Kebebasan berkehendak sering menuntun manusia ke dalam godaan materi, hingga cenderung bersikap pragmatis. Jika manusia tidak mampu mengendalikan diri, maka datanglah kegelisahan dan ketidakpuasan.  

Manusia akan menghalalkan berbagai cara termasuk tindak korupsi untuk memenuhi keinginannya. Sloka ini menekankan pentingnya pengendalian pikiran dan menguasai keinginan yang bersifat nafsu sesaat. Pikiran yang sifatnya materialistis harus dikendalikan, guna menghindari perbudakan objek-objek duniawi yang menghadirkan sifat tamak.

Dalam ajaran agama Hindu, perlu digarisbawahi bahwa Dharma adalah landasan dan pedoman dalam memenuhi Kama dan mendapatkan Artha. Landasan Dharma harus dipegang teguh dan seseorang yang yang memperoleh segala sesuatunya. Jika diingkari, maka orang tersebut dianggap sebagai pencuri.

Hal tersebut tersirat dalam ajaran Bhagavad Gita (Bab III, 12), yang berbunyi:

Istan bhogan hi vo deva, dasyante yajna bhavitah

Tair dattan apradayaibhayo, yo bhukte stena eva sah

Jika diterjemahkan, memiliki arti : "Para Dewa mengurus berbagai kebutuhan hidup. Bila para dewa dipuaskan dengan pelaksanaan yajna (kurban suci), mereka akan menyediakan segala kebutuhan untukmu. Tetapi orang yang menikmati berkat-berkat itu, tanpa mempersembahkannya kepada para dewa sebagai balasan, sesungguhnya dia adalah pencuri."

Petuah yang diambil kutipan isi kitab Bhagavad Gita, diharapkan dapat menuntun umat Hindu untuk memberikan persembahan kepada para Dewa dari sumber yang baik. Persembahan para Dewa tidak boleh berasal dari hasil korupsi. Hal ini sesuai dengan landasan dharma, agar persembahannya diterima Dewa dan mendapat pahala. Peran ajaran tersebut memuat aturan yang mengikat para pengikutnya untuk selalu mencari jalan yang baik dalam mencari rezeki.

Petuah yang tak kalah penting berkaitan dengan konsep hukum berkeadilan. Prinsipnya, berlakunya hukuman disesuaikan dengan kewenangan seseorang maupun kedudukannya dalam status sosial. Status sosial di Agama Hindu dibedakan menjadi empat golongan yang kemudian terkenal dengan istilah Catur warna. Catur warna terdiri dari kasta Brahmana, Ksatria, Waisya, dan Sudra.

Jadi, apabila seorang Ksatria melakukan pelanggaran hukum, ia tidak akan menerima keringanan. Dan tentunya akan menerima hukuman lebih tinggi dibandingkan strata Waisya dan seterusnya.

Hal ini dijelaskan dalam Kitab Manawa Dharmasastra, 337, sebagai berikut.

Astpdyam tu drasya steye bhawati kilbisam,

sdaaiwa tu waiyasya dwtrimat ksatriyasya ca.

Yang apabila diterjemahkan, artinya :

"Dalam hal pencurian, seorang sudra yang bersalah dihukum delapan kali lipat, waisya dengan enam belas kali lipat dan ksatria sebesar tiga puluh dua kali lipat."

Dalam ajaran Hindu, konstitusi yang berwenang dituntut untuk adil kepada para pelanggar hukum tanpa pandang bulu. Terutama pada kasus korupsi akan dihukum seadil-adilnya sesuai kasta sosial yang berlaku. Kasta sosial yang dimiliki seseorang menentukan tingkat keringanan hukuman, semakin tinggi akan semakin berat hukumannya. Mengapa demikian? Sebab semakin tinggi kastanya, akan dipandang sebagai seseorang yang memiliki derajat intelektual dan menjadi teladan bagi masyarakat setempat.

***

Mustahil membasmi korupsi hanya dengan pendekatan hukum pidana, jika tidak diimbangi dengan enkulturasi budaya masyarakat. Terlebih, peran enkulturasi ini dapat mengubah cara pandang dalam memaknai tindakan korupsi sebagai tindak kejahatan dan kecurangan. Sebab itu, kearifan lokal menjadi kunci dalam membangun sikap anti-korupsi dan memupuk nilai integritas di masyarakat.

Enkulturasi tradisi Matiti Suara di Bali menjadi salah satu wadah transmisi sikap anti-korupsi di masyarakat. Tradisi tersebut berisi petuah dengan nilai kebaikan, integritas dan keadilan untuk dijadikan pedoman masyarakat. Penanaman sikap anti korupsi lewat kearifan lokal seperti Matiti Suara dinilai efektif, karena  mampu membentengi pola pikir masyarakat untuk menjaga integritas dan menekan angka korupsi di daerah. Dengan demikian, masyarakat akan menyadari dalam mewujudkan negara maju dan bebas korupsi, kearifan lokal yang melekat erat dan syarat akan nilai-nilai luhur harus dijunjung tinggi.

*******

REFERENSI

https://geotimes.id/opini/korupsi-dalam-perspektif-budaya/

https://antikorupsi.org/id/tren-penindakan-kasus-korupsi-tahun-2023

https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpnbbali/booklet-anti-korupsi/

https://baliexpress.jawapos.com/balinese/674494552/tradisi-matiti-suara-di-desa-adat-batur-di-pura-ulun-danu-batur-tradisi-hindu-bali-kuno-yang-jadi-simbol-petuah-yang-mendalam-dari-sesuhunan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun