Dalam ajaran agama Hindu, perlu digarisbawahi bahwa Dharma adalah landasan dan pedoman dalam memenuhi Kama dan mendapatkan Artha. Landasan Dharma harus dipegang teguh dan seseorang yang yang memperoleh segala sesuatunya. Jika diingkari, maka orang tersebut dianggap sebagai pencuri.
Hal tersebut tersirat dalam ajaran Bhagavad Gita (Bab III, 12), yang berbunyi:
Istan bhogan hi vo deva, dasyante yajna bhavitah
Tair dattan apradayaibhayo, yo bhukte stena eva sah
Jika diterjemahkan, memiliki arti : "Para Dewa mengurus berbagai kebutuhan hidup. Bila para dewa dipuaskan dengan pelaksanaan yajna (kurban suci), mereka akan menyediakan segala kebutuhan untukmu. Tetapi orang yang menikmati berkat-berkat itu, tanpa mempersembahkannya kepada para dewa sebagai balasan, sesungguhnya dia adalah pencuri."
Petuah yang diambil kutipan isi kitab Bhagavad Gita, diharapkan dapat menuntun umat Hindu untuk memberikan persembahan kepada para Dewa dari sumber yang baik. Persembahan para Dewa tidak boleh berasal dari hasil korupsi. Hal ini sesuai dengan landasan dharma, agar persembahannya diterima Dewa dan mendapat pahala. Peran ajaran tersebut memuat aturan yang mengikat para pengikutnya untuk selalu mencari jalan yang baik dalam mencari rezeki.
Petuah yang tak kalah penting berkaitan dengan konsep hukum berkeadilan. Prinsipnya, berlakunya hukuman disesuaikan dengan kewenangan seseorang maupun kedudukannya dalam status sosial. Status sosial di Agama Hindu dibedakan menjadi empat golongan yang kemudian terkenal dengan istilah Catur warna. Catur warna terdiri dari kasta Brahmana, Ksatria, Waisya, dan Sudra.
Jadi, apabila seorang Ksatria melakukan pelanggaran hukum, ia tidak akan menerima keringanan. Dan tentunya akan menerima hukuman lebih tinggi dibandingkan strata Waisya dan seterusnya.
Hal ini dijelaskan dalam Kitab Manawa Dharmasastra, 337, sebagai berikut.
Astpdyam tu drasya steye bhawati kilbisam,
sdaaiwa tu waiyasya dwtrimat ksatriyasya ca.