Kriteria Pemeriksaan
Terdapat 2 (dua) kriteria yang merupakan alasan dilakukannya pemeriksaan, yaitu:
- Pemeriksaan Rutin
 Kriteria pertama adalah Pemeriksaan Rutin. Ini merupakan pemeriksaan yang dilakukan sebagai bagian dari pemenuhan hak dan/atau pelaksanaan kewajiban perpajakan oleh Wajib Pajak. Pemeriksaan ini biasanya dilakukan secara berkala tanpa ada indikasi khusus ketidakpatuhan perpajakan. Contoh alasan-alasan untuk Pemeriksaan Rutin termasuk kasus di mana Wajib Pajak menyampaikan SPT dengan klaim restitusi, klaim kompensasi, terlibat dalam transaksi yang signifikan, atau tidak menyampaikan SPOP PBB.
- Pemeriksaan Khusus
Kriteria kedua adalah Pemeriksaan Khusus. Pemeriksaan Khusus melibatkan pemeriksaan yang dilakukan dengan tujuan khusus, berbeda dari pemeriksaan rutin yang bersifat berkala. Ada dua jenis Pemeriksaan Khusus, yaitu:
- Audit Based on Data (Berbasis Data): Pemeriksaan Khusus berdasarkan audit berbasis data dilakukan terhadap Wajib Pajak berdasarkan data konkret yang menunjukkan adanya indikasi ketidakpatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan.
- Risk-Based Audit (Berbasis Analisis Risiko): Pemeriksaan Khusus berdasarkan analisis risiko dilakukan berdasarkan hasil analisis risiko yang menunjukkan adanya indikasi ketidakpatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan.
Â
Jangka Waktu Pemeriksaan PajakÂ
Jangka Waktu Pemeriksaan Pajak adalah periode waktu yang diatur oleh Peraturan Menteri Keuangan nomor 18/PMK.03/2021 dan didasarkan pada Pasal 31 ayat (2) dari Undang-Undang KUP (Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan). Pasal ini mengatur bahwa pemeriksaan pajak harus memiliki batasan waktu. Walaupun konsep ini memiliki dasar hukum, beberapa pihak tidak sepakat dengan adanya batasan waktu ini, terutama karena proses pengumpulan data untuk pemeriksaan seringkali bergantung pada pihak eksternal. Sebagai contoh, untuk mendapatkan izin membuka rahasia perbankan, seringkali memerlukan waktu berbulan-bulan untuk mendapatkan jawaban, atau konfirmasi dari pihak ketiga di luar negeri yang bisa memakan waktu bertahun-tahun. Awalnya, pada Undang-Undang No. 16 Tahun 2000, tidak ada ketentuan tentang jangka waktu pemeriksaan. Konsep jangka waktu pemeriksaan baru muncul dalam Keputusan Menteri Keuangan nomor 545/KMK.04/2000 tentang Tata Cara Pemeriksaan Pajak, meskipun masih berdasarkan Undang-Undang No. 16 Tahun 2000. Baru pada Undang-Undang No. 28 Tahun 2007, yaitu di Pasal 31 ayat (2), konsep jangka waktu pemeriksaan masuk ke dalam hukum perpajakan.
Jangka waktu pemeriksaan kemudian dibagi menjadi dua bagian, yaitu jangka waktu pengujian dan jangka waktu pembahasan akhir hasil pemeriksaan dan pelaporan. Pembagian ini diperlukan untuk menghindari situasi di mana pemeriksa pajak memberikan Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan (SPHP) di akhir jangka waktu pemeriksaan, yang kemudian diikuti oleh periode pembahasan yang lebih lama. Jangka waktu pengujian mengacu pada waktu yang diperlukan selama proses pengumpulan data dan pemeriksaan yang dilakukan oleh pemeriksa pajak. Jangka waktu ini bervariasi tergantung pada jenis pemeriksaan dan dapat diperpanjang dalam beberapa situasi, seperti ketika pemeriksaan melibatkan transaksi transfer pricing atau konfirmasi dari pihak ketiga.
Jangka waktu pembahasan akhir hasil pemeriksaan dan pelaporan adalah periode setelah SPHP diterbitkan, di mana pihak wajib pajak memiliki kesempatan untuk membahas hasil pemeriksaan dan menanggapi temuan tersebut. Jangka waktu ini lebih singkat daripada jangka waktu pengujian. Dalam kasus restitusi pajak, ada batas waktu yang berbeda yang mengatur kapan Direktur Jenderal Pajak harus menerbitkan surat ketetapan pajak setelah menerima permohonan restitusi. Prinsip yang berlaku adalah jangka waktu mana yang lebih dulu akan diterapkan: jangka waktu pemeriksaan atau jangka waktu restitusi pajak, tergantung pada situasi dan kapan permohonan restitusi diterima oleh DJP.
Proses Pemeriksaan Pajak