Mohon tunggu...
DIANIRA MILLA ASTRI
DIANIRA MILLA ASTRI Mohon Tunggu... Lainnya - MAGISTER AKUNTANSI MERCUBUANA / ACCOUNTANT

MATAKULIAH : MANAJEMEN PAJAK NIM: 55522120034 - Dosen Apollo, Prof. Dr, M.Si.Ak - Universitas Mercu Buana

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kuis 07 Manajemen Pajak

27 Oktober 2023   00:05 Diperbarui: 27 Oktober 2023   00:17 174
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Diskursus Penyelesaian Ketidakpatuhan Administrasi Perpajakan"

Pajak adalah sumber utama pendapatan negara yang penting dalam menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan dan membiayai berbagai program pembangunan. Oleh karena itu, administrasi perpajakan menjadi hal yang sangat penting dalam menjaga integritas dan ketertiban keuangan negara. Ketidakpatuhan administrasi perpajakan, yang terjadi ketika Wajib Pajak atau pengusaha tidak mematuhi peraturan perpajakan, bisa merugikan negara dan menimbulkan kerugian dalam pengumpulan pajak. Untuk mengatasi masalah ini, pemerintah Indonesia telah mengeluarkan berbagai peraturan, di antaranya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) yang menentukan prosedur penyelesaian ketidakpatuhan administrasi perpajakan.

Salah satu peraturan yang relevan adalah Peraturan Menteri Keuangan Nomor 29/PMK.03/2020 tentang Tata Cara Penyelamatan Bagi Wajib Pajak yang Terkena Dampak Pandemi Virus Corona. Dalam konteks pandemi COVID-19, banyak Wajib Pajak mengalami kesulitan keuangan, yang berdampak pada kewajiban perpajakan mereka. PMK ini memberikan landasan hukum bagi pemerintah untuk memberikan bantuan kepada Wajib Pajak yang terkena dampak pandemi dengan memberikan keringanan pembayaran pajak. 

Wajib Pajak yang memenuhi syarat dapat mengajukan permohonan penangguhan atau pembebasan sanksi administrasi. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 29/PMK.03/2020 memiliki beberapa isi penting yang bertujuan untuk memberikan solusi dalam menangani ketidakpatuhan administrasi perpajakan dalam situasi darurat akibat pandemi COVID-19. Berikut adalah ringkasan penjelasan isi dari PMK 29/PMK.03/2020 yang terkait dengan solusi dalam menangani ketidakpatuhan administrasi perpajakan :

1. Pengaturan Jangka Waktu Penyelesaian

Dalam keadaan darurat, seperti pandemi COVID-19, peraturan ini memberikan fleksibilitas dalam menentukan jangka waktu penyelesaian tertentu untuk permohonan pelayanan administrasi perpajakan yang diajukan selama periode darurat. Artinya, ketika Wajib Pajak mengajukan permohonan pelayanan administrasi perpajakan, pihak berwenang dapat menentukan jangka waktu tertentu untuk menyelesaikan permohonan tersebut, dan hal ini dapat disesuaikan dengan situasi yang sedang dihadapi (dijelaskan dalam Pasal 2).

2. Penggunaan Layanan Elektronik

Peraturan ini memungkinkan Wajib Pajak untuk mengajukan permohonan pelayanan administrasi perpajakan secara elektronik. Ini mencakup pengisian formulir permohonan secara elektronik dan mengunggah dokumen yang diperlukan dalam format digital. Selain itu, komunikasi antara Wajib Pajak dan instansi perpajakan juga dapat dilakukan melalui saluran elektronik, seperti email. Hal ini bertujuan untuk mempermudah proses administrasi perpajakan tanpa memerlukan pertemuan fisik, yang bisa berisiko selama pandemi (dijelaskan dalam Pasal 5-7). Pasal 6 mengatur bagaimana jangka waktu penyelesaian tertentu dihitung tergantung pada cara permohonan diajukan. Jika permohonan diajukan secara elektronik (melalui email) dan diterima secara lengkap, maka jangka waktu penyelesaian tertentu dihitung sejak tanggal permohonan diterima.

Namun, jika permohonan diajukan melalui pos atau perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir dengan bukti pengiriman surat, maka jangka waktu penyelesaian tertentu dihitung sejak BPS (Bukti Penerimaan Surat) atas permohonan Wajib Pajak yang telah diterima secara lengkap.

Kemudian, Pasal 7 mengatur bahwa dalam hal Wajib Pajak menyampaikan permohonan pelayanan administrasi perpajakan sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) melalui SPT, penyampaian SPT tersebut harus dilakukan melalui saluran tertentu yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.

Jangka waktu penyelesaian tertentu atas pelayanan administrasi perpajakan dihitung sejak diterbitkan BPS atas permohonan Wajib Pajak yang telah diterima secara lengkap sesuai dengan ketentuan di Pasal 6 ayat (2).

3. Masa Berlaku

Peraturan ini mengatur bahwa Wajib Pajak masih dapat memperoleh pelayanan administrasi perpajakan hingga berakhirnya keadaan darurat (pandemi COVID-19 dalam hal ini). Ini memastikan bahwa pelayanan administrasi perpajakan akan tetap tersedia untuk Wajib Pajak selama situasi darurat berlangsung, meskipun mungkin dengan penyesuaian dalam bentuk layanan dan prosedur yang diberikan (dijelaskan dalam Pasal 8).

PMK No 63/PMK.03/2021 adalah peraturan yang memberikan pedoman tentang pelaksanaan Pasal 25 ayat (4) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang ketentuan umum dan tata cara perpajakan. Pasal ini mengatur mengenai surat pernyataan tanggung jawab membayar pajak yang diajukan oleh pemungut atau bendaharawan kepada Direktur Jenderal Pajak. Surat pernyataan ini penting dalam memastikan kewajiban pajak yang harus dibayarkan kepada negara. PMK ini mengatur prosedur dan tata cara penyampaian surat pernyataan dan pemungutan pajak yang harus dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Berikut uraian ringkas PMK No 63/PMK.03/2021 dari Pasal 1 hingga Pasal 13:

Pasal 1: Menjelaskan tentang pengertian istilah-istilah yang digunakan dalam Peraturan Menteri ini, seperti Tanda Tangan Elektronik, Sertifikat Elektronik, dan lain-lain.

Pasal 2: Menyebutkan bahwa pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan, serta penerbitan, penandatanganan, dan pengiriman keputusan atau ketetapan pajak dilakukan secara elektronik sesuai dengan ketentuan Peraturan Menteri ini.

Pasal 3: Menjelaskan bahwa pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan melibatkan Wajib Pajak, baik individu maupun badan, serta Instansi Pemerintah, lembaga, asosiasi, dan Pihak Lain. Hal ini berlaku untuk berbagai dokumen perpajakan, termasuk penyelenggaraan hak dan kewajiban perpajakan yang melibatkan Tanda Tangan Elektronik.

Pasal 4: Mengatur tentang kewajiban penyelenggaraan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan secara elektronik, yang harus sesuai dengan ketentuan hukum perpajakan yang berlaku.

Pasal 5: Menjelaskan tentang Sertifikat Elektronik, Kode Otorisasi DJP, dan dokumen yang digunakan dalam pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan. Sertifikat Elektronik diperlukan untuk penggunaan Tanda Tangan Elektronik dalam proses perpajakan.

Pasal 6: Menjelaskan tata cara penandatanganan Dokumen Elektronik, baik oleh Wajib Pajak individu maupun badan. Dokumen Elektronik yang ditandatangani secara elektronik memiliki kekuatan hukum yang sama dengan dokumen cetakan manual.

Pasal 7: Menjelaskan tentang kerja sama antara Direktur Jenderal Pajak dan Instansi Pemerintah, lembaga, asosiasi, dan Pihak Lain dalam penyelenggaraan berbagai aspek perpajakan secara elektronik.

Pasal 8: Mengatur tentang penerbitan keputusan atau ketetapan pajak secara elektronik, yang ditandatangani dengan Tanda Tangan Elektronik oleh Direktur Jenderal Pajak.

Pasal 9: Menentukan kewenangan Direktur Jenderal Pajak untuk mengatur berbagai aspek terkait pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan secara elektronik.

Pasal 10: Memberikan kewenangan kepada Direktur Jenderal Pajak untuk melakukan pemblokiran atau pembukaan blokir penggunaan Tanda Tangan Elektronik dalam pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan.

Pasal 11: Menjelaskan tentang dokumen-dokumen tertentu, seperti Formulir Permohonan Kode Otorisasi DJP, yang harus dibuat dengan format yang ditentukan.

Pasal 12: Menentukan berbagai ketentuan transisi, termasuk berlakunya peraturan-peraturan yang telah ada hingga tanggal tertentu.

Pasal 13: Menyatakan bahwa Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Peraturan Menteri ini bertujuan untuk meningkatkan administrasi perpajakan dan memastikan bahwa hak dan kewajiban perpajakan dipenuhi secara elektronik. Ini dapat membantu mengurangi potensi ketidakpatuhan pajak, meningkatkan transparansi, dan mempermudah proses perpajakan. Dengan penerapan perpajakan elektronik, informasi dan proses perpajakan dapat dilakukan dengan lebih efisien dan terkontrol.

Sementara PMK No 23/PMK.03/2008, yang ditujukan untuk mengatur tata cara penerbitan Surat Ketetapan Pajak, adalah salah satu aspek penting dalam penyelesaian ketidakpatuhan administrasi perpajakan. Surat Ketetapan Pajak merupakan alat penting bagi Direktorat Jenderal Pajak untuk menagih pajak yang belum dibayarkan oleh Wajib Pajak. Proses penerbitan surat ketetapan pajak harus sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam PMK ini. Terdapat berbagai jenis surat ketetapan pajak, seperti Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan.

Surat Ketetapan Pajak Nihil, dan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar. Penerbitan surat ketetapan pajak harus didasarkan pada nota penghitungan dan laporan hasil pemeriksaan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 23/PMK.03/2008 memiliki kaitan erat dengan mencegah ketidakpatuhan administrasi pajak karena mengatur tata cara penerbitan Surat Ketetapan Pajak. Surat Ketetapan Pajak adalah alat yang digunakan oleh Direktorat Jenderal Pajak untuk menagih pajak yang belum dibayarkan oleh Wajib Pajak. Dengan adanya aturan yang jelas dalam PMK ini, penerbitan surat ketetapan pajak menjadi terstandarisasi dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Landasan hukum dari peraturan ini adalah Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Undang-Undang KUP). PMK Nomor 23/PMK.03/2008 mengacu pada Undang-Undang KUP dalam mengatur tata cara penerbitan Surat Ketetapan Pajak. Dengan demikian, PMK ini membantu mencegah ketidakpatuhan administrasi pajak dengan menyediakan kerangka hukum yang jelas untuk proses penerbitan surat ketetapan pajak, yang pada gilirannya dapat mendorong Wajib Pajak untuk memenuhi kewajiban perpajakannya secara tepat.

Dokumen pribadi
Dokumen pribadi

PMK No 242/PMK.03/2014 mengatur tentang tata cara pembayaran dan penyetoran pajak. Ini mencakup prosedur pengenaan pajak, pemungutan pajak, serta tata cara penyetoran pajak ke kas negara. Penyelenggaraan tata cara pemungutan dan penyetoran pajak yang benar sangat penting untuk memastikan bahwa penerimaan negara terkumpul dengan efisien. Pasal 26 dalam Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 242/PMK.03/2014 mengatur besarnya pembayaran angsuran dan pelunasan atas penundaan utang pajak, serta sanksi administrasi berupa bunga yang timbul sebagai akibat dari angsuran atau penundaan tersebut. Ketidakpatuhan administrasi pajak dapat terkait dengan ketentuan ini, di mana Wajib Pajak diwajibkan membayar angsuran dengan jumlah tetap dan melunasi utang pajak yang ditunda sesuai dengan perjanjian.

Jika Wajib Pajak tidak mematuhi ketentuan ini, mereka akan dikenakan sanksi administrasi berupa bunga, yang dihitung berdasarkan saldo utang pajak. Sanksi ini diberlakukan sebagai upaya untuk mendorong Wajib Pajak agar mematuhi kewajiban perpajakan mereka dengan benar, yang juga melibatkan penerbitan Surat Tagihan Pajak sebagai tindakan administratif untuk mengingatkan mereka tentang kewajiban pembayaran pajak yang harus dipatuhi tepat waktu.


Refrensi :

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 29/PMK.03/2020.

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 63/PMK.03/2021.

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 23/PMK.03/2008.

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 242/PMK.03/2014.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun