Munculnya rencana Kementerian PUPR untuk melaksanakan program Rumah Swadaya bagi Masyarakat Berpendapatan Rendah (MBR), secara pribadi mengingatkan saya pada program serupa di Kota Surakarta sekitar tahun 2010. Waktu itu, Pak Jokowi masih menjabat Wali Kota Surakarta (Solo).
Program yang bertujuan mengurangi jumlah Rumah Tidak Layak Huni (RTLH) di Kota Surakarta tersebut merupakan implementasi dari Visi Kota Surakarta bebas Permukiman Kumuh 2010.Â
Bisa jadi gagasan Rumah Swadaya berangkat dari program renovasi RTLH yang sebelumnya sudah dilaksanakan di berbagai daerah setingkat Kabupaten/Kota, satu di antaranya Surakarta. Program inilah yang kemudian diperluas jangkauan dan wewenang pelaksananya secara nasional.
Setiap orang memiliki hak untuk hidup sejahtera lahir batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat, serta memperoleh pelayanan kesehatan.Â
Hak ini dijamin dalam Pasal 28 H Amandemen ayat 1 UUD 1945 tentang Perumahan dan Permukiman. Tempat tinggal layak tentu tidak hanya mengacu pada unit hunian tunggal yang dihuni oleh 1 atau beberapa keluarga.Â
Dalam berbagai situasi dan kondisi, tempat tinggal tersebut dapat berupa asrama, hunian sementara, mess, ruko (rumah toko), rukan (rumah kantor), dan sebagainya. Namun jika diperuntukkan bagi kesejahteraan penghuninya secara utuh, maka rumah memiliki fungsi yang lebih utama dibanding hunian lainnya, selain tempat tinggal, beristirahat, dan bernaung, yaitu sarana pembinaan keluarga.Â
Akses rumah layak huni menjadi persoalan tersendiri khususnya bagi kalangan ekonomi bawah yang disebut MBR. Pendapatan yang rendah membuat MBR hanya bisa mengakses rumah-rumah yang kurang layak bahkan berada di lingkungan yang buruk kualitasnya, baik dari aspek kesehatan, maupun sarana prasarana dan fasilitas penunjang pemukimannya.Â
Dalam hal penentuan kriteria penerima bantuan, Direktorat Rumah Swadaya tidak hanya perlu merumuskan kriteria si calon penerima, tetapi juga kualitas rumah penerima bantuan dan lingkungan permukimannya.Â
Kualitas lingkungan permukiman yang buruk akan berdampak pada menurunnya kualitas rumah-rumah (permukiman) yang berada di dalamnya serta kesehatan para penghuni.Â
Maka itu, seperti halnya program renovasi RTLH, Program Rumah Swadaya tampaknya juga terintegrasi dengan program peningkatan kualitas lingkungan permukiman, misalnya perbaikan drainase, pembuangan limbah, air bersih, sarana pembuangan/pengolahan sampah, dll. Penentuan zona-zona kantong RTLH perlu dibuat agar program Rumah Swadaya terintegrasi dengan program pembangunan wilayah.
Di tahun 2012, saya mengangkat tema Program Perbaikan RTLH ini dalam penelitian tesis. Penelitian-penelitian serupa berkaitan dengan evaluasi program ini sebenarnya juga telah dilakukan oleh peneliti lain.Â
Namun beberapa aspek yang sempat saya rekam berkaitan dengan program Perbaikan RTLH ini adalah partisipasi masyarakat dan hambatan pelaksanaannya. Secara sekilas saya menangkap ada kemiripan konsep Program Renovasi RTLH dan Rumah Swadaya, yakni bentuk bantuan yang mendorong
Pemberian bantuan perbaikan RTLH diberikan pada rumah yang berada di lahan permukiman legal. Artinya rumah dibangun di atas lahan legal yang diperuntukkan bagi permukiman.Â
Program Perbaikan RTLH di Surakarta saat itu dikoordinasi oleh Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) Griya Layak Huni, sebuah SKPD Pemerintah Kota Surakarta yang kemudian menyalurkan bantuan perbaikan RTLH kepada pihak kelurahan.Â
Pihak kelurahan membentuk Kelompok Kerja (Pokja) yang melaksanakan verifikasi kondisi rumah dan penerima bantuan. Pokja ini beranggotakan perwakilan warga masyarakat yang dipercaya untuk menjadi mendata, mengkoordinir warga penerima, dan membuat laporan program. Pokja juga mengkoordinir pelaksanaan pembangunan perbaikan rumah tidak layak huni di kampungnya.Â
Pokja sangat aktif mendorong masyarakat berpartisipasi; mulai dari sosialisasi, menjadi konsultan bagi warga untuk menentukan bagian rumah yang sebaiknya diperbaiki lebih dahulu, bergotong-royong, membuat foto rumah sebelum dan sesudah program untuk laporan kemudian disampaikan kepada BLUD Griya Layak Huni.
Bantuan perbaikan RTLH yang diberikan waktu itu berbeda-beda nilainya tergantung program instansi pemerintah mana yang diperoleh penerima bantuan, kisaran nilainya antara 2,5 juta sampai 5 juta rupiah. Nilai ini tentu tidak dapat mengubah kualitas rumah  yang tidak layak, menjadi layak. Bantuan ini tidak diberikan langsung tunai kepada penerima.Â
Sebagian besar penerima bantuan menerima bantuan berupa bahan bangunan. Pokja yang mendata kondisi rumah warga, kemudian menghitung kebutuhan material yang dibutuhkan sesuai dengan pertimbangan urgensitas kerusakan rumah yang perlu diperbaiki. Misalnya bagian atap, atau dinding, lantai atau kamar mandi. Di sinilah masalah muncul.Â
Penerima bantuan tidak leluasa mengelola dana yang ia terima, termasuk membeli material apa saja yang dibutuhkan untuk renovasi rumahnya. Pihak Pokja menentukan pula dari toko bangunan mana para penerima bantuan dapat mengambil bahan-bahan material sesuai daftar kebutuhan. Ini tentu rawan penyelewengan.
MBR memang berada pada kondisi sangat rentan secara ekonomi, oleh karenanya kebutuhan perbaikan hunian atau rumah bisa jadi bukanlah prioritas mereka . Meskipun jumlah penerima bantuan yang tidak melaksanakan renovasi rumah sangat sedikit namun perlu menjadi catatan.Â
Alasan mereka yang tidak melaksanakan renovasi meskipun bantuan sudah diterima adalah mereka tidak punya biaya tukang. Bahan material berupa papan kayu, besi dan sebagainya dibiarkan saja menumpuk di rumah sampai mereka cukup punya uang mengupah tenaga bangunan.
Padahal, bantuan ini dimaksudkan sebagai stimulan atau motivasi bagi masyarakat agar mau memperbaiki rumah mereka. Sementara pelaksanaan pembangunan atau bedah rumah diasumsikan berasal dari swadaya masyarakat. Kerja sama antarwarga sangat diperlukan, dan ini sangat bergantung pada modal sosial yang dimiliki masyarakatnya.Â
Ada yang berhasil, tidak sedikit pula penerima bantuan yang justru mengeluarkan biaya membangun rumah yang lebih besar karena kerusakan rumah memang yang cukup besar.Â
Stimulan memang bertujuan agar masyarakat mulai sedikit-demi sedikit punya kesadaran untuk secara mandiri memperbaiki huniannya, agar kualitas hidup mereka secara fisik dan mental lebih baik.
Di lingkungan masyarakat yang modal sosialnya baik, para penerima bantuan bergotong-royong merevonasi rumah secara bergilir, mulai dari rumah si A dilanjutkan ke rumah B. Tidak ada biaya upah yang dikeluarkan. Bahkan sejumlah orang yang lebih sejahtera di kampungnya menyumbangkan sejumlah bantuan. Demikian pula perbaikan fasilitas umum, misalnya kamar mandi umum.Â
Pada papan di depannya nilai sumbangan dan tenaga akan disetarakan rupiah sebagai nilai swadaya masyarakat. Berbeda halnya di kampung-kampung perkotaan yang mulai renggang ikatan sosialnya. Swadaya masyarakat tidak muncul, setiap tenaga yang dikeluarkan perlu dinilai sebagai biaya tenaga kerja. Ini tentu memberatkan penerima bantuan.Â
Dari kajian ini diperlukan perumusan mekanisme penyaluran bantuan, monitoring pelaksanaan yang memastikan bantuan dapat diterapkan dengan mempertimbangkan karakteristik sosial budaya dan lingkungan alam yang bervariasi di seluruh Indonesia yang berimplikasi pada prioritas kebutuhan perbaikan RTLH yang berbeda pula.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H