Mohon tunggu...
dian equanti
dian equanti Mohon Tunggu... Dosen - Pengajar Geografi

Menggemari isu Lingkungan, dan Kependudukan

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Pertemuan Keberuntungan Dunia Barat dan Timur dalam Novel "Daughter of Fortune"

22 Januari 2018   17:11 Diperbarui: 23 Januari 2018   02:03 882
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mewakili generasi kids and teen era 90-an, membaca adalah hiburan menyenangkan selain bermain dan bersepeda di sore hari. Berkurangnya kebiasaan membaca anak-anak masa kini tak bisa dilepaskan dari begitu lekatnya perangkat hiburan visual instan dalam genggaman. Tidak perlu saling mengunggulkan generasi dalam kebiasaan mengikuti zamannya.

 Sebagaimana kita mahfum bahwa tantangan masing-masing generasi berbeda. Jika dulu, televisi sering disalahkan menjadi penyebab anak-anak duduk berjam-jam di depan TV, malas mandi, belajar, bahkan bisa memicu obesitas jika diiringi kebiasaan mengudap cemilan. Ini belum menyinggung masalah konten yang dianggap tidak mendidik, namun terus diproduksi karena disukai pasar. 

Majalah-majalah remaja era 90-an juga dituding meningkatkan perilaku dan gaya hidup konsumtif, karena ulasan mode yang mau tak mau membawa tren fesyen terbaru, make up, gaya rambut, dan hobi koleksi para idol yang dikhawatirkan mendorong sejumlah remaja tergiring secara impulsif mengikuti gaya hidup hedonis. Teknologi saat ini membawa semua ancaman itu dalam gawai selebar telapak tangan saja. Isu-isu berita bohong atau ujaran kebencian bahkan tidak serusuh sekarang.

Salah satu upaya untuk menangkal ancaman yang merusak perilaku masyarakat itu adalah gerakan literasi. Membaca buku masih relevan saat ini, buat melatih kesabaran kita semua. Kita tidak boleh menilai buku dari sampulnya, apalagi berkomentar padahal isi bukunya belum dibaca. Sangat berbeda dengan kebiasaan netizen yang buru-buru berkomentar pada caption berita daring dengan judul provokatif, padahal isi artikel berbeda. Mirip kalian terjebak kisah mengharukan, eh malah digiring mengikuti akun online-shop. Eh maaf, itu sih pengalaman pribadi.

Kembali ke maksud mulia penulisan artikel ini yaitu membagikan konten positif berupa ulasan buku favorit. Sejujurnya ini alasan aman penulis kasta junior seperti saya agar tidak dirisak (di-bully). Setiap buku akan membawa kesan sendiri. Ikut tersenyum, jatuh cinta, sakit hati, penasaran atau ketakutan dikejar pembunuh berantai. Terkesan, takjub, bingung, berpikir. Lagi baca filsafat, atau buku sains? Ah silakan baca buku di hadapanmu, sambil ngopi!

Kali ini, saya akan mengulas novel Daughter of Fortune, ditulis oleh Isabelle Allende. Novel ini mengambil setting pertengahan abad ke 19 (tahun 1800-an). Kita akan berkenalan dengan Eliza, tokoh utama berusia belasan tahun, yang tinggal di rumah keluarga koloni Inggris mewah di Chili. Bagaimana dia berada di rumah itu adalah kisah menarik mengenai asal-usulnya. 

Dia dirawat Miss Rosa dan Mama Fresia. Oleh Miss Rosa, Eliza mendapat didikan Inggris sebagai putri terhormat dengan iman Protestan, teguh berbahasa Inggris dan diharuskan mampu bermain piano. Bersama Mama Fresia, ia bermain di hutan, mendengar dongeng Indian seram. Ia pun bersahabat akrab dengan buruh Cina, Tao Chi'en. Darinya ia bertukar pendapat tentang penting tidaknya asal usul nenek moyang. Padahal Eliza sendiri adalah bayi yang dibuang. 

Tidak jelas apakah dia ras Indian, atau keturunan kolonial Inggris. Rambutnya hitam, tapi berparas kaukasoid. Lebih jauh kita menyaksikan pertemuan dan benturan berbagai budaya. Kesan multikultur novel ini sangat terasa. Beberapa catatan yang sempat saya tulis dalam status Facebook, berkaitan dengan alur kisah, pengetahuan, petikan quote disertai refleksi berikut ini rasanya cukup mewakili.

Kita ke tokoh Jacob Todd, yang bergabung dalam program misionari agar bisa berpetualang. Dalam pelayarannya mengarungi Laut Atlantik, ia membawa berpeti-peti Injil Protestan untuk dijual di Chili, sebuah negara kepulauan di belahan bumi selatan dengan mayoritas Katolik. Karena dia sebenarnya adalah atheist yang oportunis, uang sokongan yang diperoleh digunakan untuk membiayai hidup yang nyaman. Begitu tersiar bahwa Todd misionaris gadungan, ia dikucilkan dari pergaulan. 

Tidak lagi diundang pada pertunjukan musik tiap Rabu Miss Rose, ditolak Union Club. Bahkan diusir pemilik kamar yang ia huni di mana selama ini ia mendapat fasilitas terbaik, semua karena pemilik rumah merasa ia telah berderma bagi penyebaran sabda Yesus. Bagaimana? Dalam kisah nyata banyak yang memberi derma tidak sedikit untuk mendukung kegiatan agama, tapi tidak peduli kegiatannya apa. Bermodal percaya saja pada si tokoh.

Gentleman, gentle halus, man, lelaki. Di era Victorian, sekitar tahun 1600-1800an, ini menunjuk tuan-tuan asing di negara-negara koloni Inggris. Ada pepatah, perempuan dikutuk dengan sakit saat melahirkan, sedang laki-laki dikutuk untuk bekerja keras dan mengalirkan keringat di dahi mereka. Kaum gentlemen ini tidak pernah bekerja kasar, golongan patrona pemilik perkebunan atau kapal dagang kaya di negara kolonial. Hegemoni pada patron, membuat pekerja tidak punya pilihan, walau bekerja dengan upah rendah,dan berbagai kesewenang-wenangan tuannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun