Mohon tunggu...
dian equanti
dian equanti Mohon Tunggu... Dosen - Pengajar Geografi

Menggemari isu Lingkungan, dan Kependudukan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Benarkah Mulai Berbohong Tanda Anak Semakin Cerdas?

18 Agustus 2017   16:55 Diperbarui: 19 Agustus 2017   03:33 2027
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Suatu hari ibu saya berkisah, hari itu ia mengomeli anak tetangga karena diduga membuat coretan di dinding rumah kami. Anak tetangga ini seorang bocah perempuan berusia 5 tahun. 

Merasa dituduh, sebut saja Dinda balik marah pada ibu saya yang dari usia pantas menjadi neneknya. "Kenapa Dinda yang dimarahi, Itu bukan Dinda yang buat". Entah karena emosi, ibu saya membalas, "eh berani ya. Sopan sedikit kalau bicara dengan orang tua, jangan teriak gitu." "Tentu aja, Dinda berani. Bukan Dinda yang salah".

Saya yang diceritakan peristiwa ini tidak sempat menyaksikan langsung, karena mulai pagi hingga petang berada di kantor. Saya hanya mendengar sambil biasanya tanpa komentar apa-apa. Ibu memiliki penilaian sendiri tentang karakter Dinda. Dinda dinilai suka bicara kasar, dan gemar memanfaatkan teman-temannya yang lebih kecil. 

Misalnya ia akan naik sepeda, sedangkan temannya yang masih kecil disuruh mendorong sepeda itu sementara ia berada di atasnya. Atau kenakalan yang membuat teman-temannya pulang menangis. Dan yang menjadi korban salah satunya adalah keponakan saya, Kinar seorang anak perempuan berusia 3 tahun.

Dinda dilabel "anak nakal" oleh ibu saya. Lengkap dengan peringatan, "jangan suka main dengan Dinda, nanti kamu dijahili" atau ujaran "kalau main dengan Dinda, Keenar pasti pulang menangis". Di saat saya sempat berada di rumah sore hari di waktu anak-anak kecil bergaul, saya memang sempat menyaksikan Keenar pulang menangis setelah bermain dengan Dinda. 

Dari jauh saya sedikit mengamati, ada gap komunikasi antara Dinda dan Keenar. Keenar yang waktu itu bahkan belum masuk PAUD tapi berteman dengan anak berusia 3 bahkan 4 tahun lebih tua, sepertinya tidak paham dengan apa yang dimaksud si anak yang lebih besar. Ibarat komunikasi antara orang dewasa, miskomunikasi bisa menyebabkan pertengkaran akibat salah paham. Apalagi Keenar tergolong anak yang bisa tantrum, menjerit jika menangis, maka tangisan seperti jadi bel penanda waktu bermain telah usai.

Dinda sendiri di mata saya, masih bersikap sangat wajar sebagai anak seusianya. Kadang nakal, tapi juga bisa ngemong dengan anak yang lebih kecil. Kadang juga egois dengan mainan, entah itu miliknya sendiri atau milik temannya. Ah, bukankah anak semuda itu memang membutuhkan waktu belajar? 

Suatu hari saya memanggil Keenar untuk mandi sore saat masih bermain, pelan namun jelas saya mendengar Dinda bicara, "Keenar, pulanglah dulu. Nanti (kalau main terus) kena marah". Terharu juga saya. Iya anak kecil pun punya perasaan, punya rasa tanggung jawab melindungi temannya agar tidak dimarahi. Tapi Keenar menolak pulang, malah makin mendekat ke Dinda. Dinda kembali menegaskan, "Keenar pulang sana!", kali ini sambil mendorong Keenar. Dan bisa ditebak, Keenar kembali menangis.

Dinda sehari-hari juga diasuh sang nenek, sedangkan ibunya juga wanita pekerja. Pendidikan nenek yang rendah, kurangnya pergaulan dan gaya bahasanya disalahkan menyebabkan pola asuh yang keras, sehingga mempengaruhi gaya bicara Dinda. Duh, kalau sudah begini permasalahan bisa menjalar ke mana-mana.

Beberapa hari setelah penemuan graffiti orang-orangan di dinding putih dinding ruang tamu itu, Ibu saya berhasil menguak fakta baru. Pelaku coretan ternyata bukan Dinda, melainkan Keenar sendiri. Penemuan ini juga tak sengaja, karena lukisan yang sangat mirip ditemukan memenuhi bagian belakang alas bermain (semacam karpet  berbahan busa tipis, biasanya bermotif kartun). 

"Oalah, pantesan Dinda marah ke Aku, rupanya yang nyoret dinding cucuku sendiri", ujar Ibuku sambil tersenyum geli. Rupanya tuduhan kepada Dinda, didasari pengakuan Keenar bahwa Dinda yang menggambar di dinding. Penemuan ini justru yang paling mengagetkan. Keenar, balita usia 3 tahun yang bicara saja masih cadel bisa berbohong? Siapa yang mengajari?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun