Dalam dunia pendidikan fenomena perundungan sering terjadi khususnya di dunia pendidikan Indonesia. Kata perundungan atau “bullying” dalam bahasa Inggris diambil dari kata “bull” artinya “banteng” yang suka menyerang dengan tanduknya. “Bulyying” ini dilakukan oleh individu atau kelompok untuk menunjukan kekuatan atau kekerasan dalam tujuan mengintimidasi korban secara berulang-ulang.
Yayasan Semai Jiwa Amini (SEJIWA) mengatakan bahwa kekerasan merupakan situasi dimana pelaku meyalahgunakan kekuatan maupun kekuasaan yang dilakukan oleh individu maupun kelompok. Pelaku yang melakukan perundungan tidak hanya kuat dalam artian fisik saja melainkan kuat secara mental dan financial.
Data pengaduan terbaru dari KPAI mencatat bahwasannya sampai April 2023 ada 58 anak yang menjadi korban kekerasan. Pelakunya mulai dari kalangan dewasa hingga anak-anak. Sementara dari data SIMFONI PPA (Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak) menatat bahwa pada di 2022 terdapat 1.665 kasus kekerasan pada fisik/ psikis terhadap anak. (KPAI https://www.kpai.go.id/publikasi/tiada-toleransi-bagi-kekerasan-terhadap-anak, akses 21 April 2023).
Media massa kini sering memberitakan tentang kejadian peristiwa pembullyan di dunia pendidikan sehingga berdampak pada image bahwa wajah pendidikan di Indonesia penuh dengan kekerasan. Tak terkecuali pada kegiatan Orientasi Studi dan Pengenalan Lingkuangan Kampus atau yang akrab dia sebut dengan OSPEK. Pada kegiatan ini acapkali media menyorot adanya kasus perpeloncoan/ perundungan yang dilakukan oleh mahasiswa senior ke mahasiswa baru untuk menunjukan eksistensi kultur dari kelompok itu sendiri. Kultur seperti ini lah yang dapat menjerumus pada tindak kekerasan.
Contohnya pada kasus kematian Cisilia Puji Rahayu mahasiswa baru Peternakan di UNDIP yang kematiannya diduga akibat pelaksanaan ospek (Ari 2002: 13). Kasus bullying antarmahasiswa juga dapat terjadi di luar kampus seperti pada contoh kasus bullying di asrma sebuah Universitas, yakni adanya perundungan dalam bentuk non verbal seperti mengintimidasi, mengujarkan kata-kata yang bersifat seksual harassement dan dalam bentuk verbal sepeti pemukulan, yang lebih parahnya lagi korban dipaksa untuk menenggak minuman keras lalu ditelanjangi dan disuruh untuk mandi di waktu tengah malam (Simbolon 2012: 233 – 243).
Pengertian dari kebudayaan menurut Tayler merupakan kompleks yang mencangkup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istriadat, serta kebiasaan-kebiasaan bermasyarakat. Kebiasaan ini yang menciptakan sebuah ritual-ritual unik dari kelompok masyarakat tertentu untuk memasuki fase kehidupan baru. Seperti contohnya pada ritual “matatah” di Bali atau disebutnya dengan upacara pemotongan gigi yang dilakukan oleh umat Hindu yang telah menginjak usia remaja atau akil balig. Ritual ini sebenarnya tidak benar-benar seperti memotong gigi pada umumnya melainkan hanya mengikir dua gigi taring dan empat gigi seri rahang atas. Setelah melakukan potong gigi peserta diminta untuk mencobai enam rasa (pahit, asam, asin, manis, pedas dan sepat). Rasa pahit dan asam sebagai simbol harapan kuat dan tabah dalam menjalani kehidupan sehari hari, rasa asin merupakan simbol dari kebijaksanaan untuk mengambil langkah dengan hati-hati, rasa manis sebagai simbol kebahagiaan yang akan diterima dalam kehidupan, rasa pedas sebagai simbol agar senantiasa diberikan kesabaran dalam melawan amarah yang bergejolak, dan yang terakhir rasa sepat diharapkan untuk senantiasa menaati norma-norma kehidupan dimanapun.
Dalam konsep budaya di dunia pendidikan juga memiliki ritual tersendiri dalam menyambut perubahan status baru dari siswa SMP menjadi siswa SMA dan dari siswa SMA menjadi seorang mahasiswa. Ritual perubahan status masyarakat dalam dunia mahasiswa memiliki banyak sebutannya namun yang lebih akrab disebut dengan nama OSPEK (Orientasi Studi dan Pengenalan Lingkuangan Kampus). Essensi dari ospek ini sebenarnya untuk mengenalkan lingkungan kampus beserta ciri khas dari kampus hingga prodi itu sendiri, ada berbagai macam nilai-nilai yang didapar dari acara ospek seperti pengenalan diri dalam mencari minat bakat, pendisiplinan, pengembangan kepemimpinan dan masih banyak lagi. Tapi tak jarang essensi OSPEK sering berbelok dari arah tujuan. Adapun budaya senioritas yang sudah melekat di masyarakat bahwa yang tua lebih harus dihormati oleh yang muda dan perbedaan kodrat lelaki yang memiliki sifat patriarki terhadap kaum perempuan. Dalam pelaksanaan ospek terlihat seperti arena pertarungah antara senior dan junior (Noviana 2010: 3). Senior akan menunjukan dominasi dari kekuasaanya dengan memberikan kekerasan stigma maupun psikologis kepada junior sehingga ritual yang tidak diakui di masyarakat dan tidak terkendali dapat menjadi sebuah perpeloncoan. Terkadang ada beberapa kampus yang membentuk essensi dari ospek untuk membangun kekuatan mental sekaligus fisik untuk persiapan memasuki dunia perkuliahan. Hal ini justru memberi stigma negatif pada tata pengawasan kampus yang kurang tegas.
HASIL TEMUAN PEMBAHASAN
Perundungan dengan berbagai macam tindakannya
Perundungan menurut Smith et al, (2003) adalah suatu tindakan negatif untuk mengintimidasi atau menyelakai orang lain. Tindakan dari perundungan dapat berdampak pada kerusakan fisik maupun non fisik korban. Dari beberapa faktor tindakan bullying dapat di kelompokan menjadi 3 faktor yaitu bullying fisik, bullying non-fisik dan bullying mental.
1. Bullying secara Fisik, tindakan kekerasan yang menyakiti korban secara fisik seperti memukul, mencubit, menginjak bagian tubuh korban, melempar benda kepada korban, meludahi bagian tubuh korban, menarik rambut korban.