Mohon tunggu...
DIANDRA THUFAILAH
DIANDRA THUFAILAH Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswi Universitas Pendidikan Indonesia

Saya merupakan mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Witch Hunt: Saling Tunjuk Perkara KIP-K Salah Sasaran

25 Mei 2024   19:09 Diperbarui: 26 Mei 2024   00:51 203
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Isu KIP-K salah sasaran pada mulanya berawal dari media sosial X yang memperlihatkan oknum dengan hidup sangat berkecukupan, namun diketahui ternyata merupakan penerima KIP-K. Hal ini membuat masyarakat geram dan isu mengenai KIP-K salah sasaran menjadi topik hangat di kalangan masyarakat. Isu ini semakin menyebar karena masyarakat berbondong-bondong mengungkap berbagai identitas penyandang KIP-K yang dianggap tidak pantas. Walaupun sebagian besar memang benar, namun hal ini berdampak pada ajang doxxing, labeling, dan hate speech pada orang-orang yang sebenarnya layak mendapatkan KIP-K. Misalnya ketika didapati bahwa suatu individu penyandang KIP-K makan di restoran bagus, orang-orang tanpa pikir panjang langsung menghujat individu tersebut. Hal ini seolah membuat pandangan bahwa orang yang mendapatkan KIP-K harus terlihat sengsara dan merana. 

Namun demikian, apa penyebab yang melatarbelakangi KIP-K salah sasaran? 

1. Kondisi Ekonomi yang Berubah-ubah

Ketentuan bahwa penerima KIP-K diperbolehkan untuk bekerja, menerima beasiswa lain (selain dari APBN dan APBD), dan diperbolehkan untuk menikah, memungkinkan bagi penerima KIP-K untuk mengalami perubahan kondisi ekonomi ke taraf yang lebih baik dalam prosesnya. 

Namun, permasalahan timbul ketika perubahan kondisi ekonomi tersebut tidak diintegrasikan dengan perubahan pada basis data terpadu. Berkaitan dengan hal ini, kasus salah sasaran pada bantuan-bantuan sosial di sektor lainnya kerap terjadi. Hal ini sejalan dengan pernyataan Menteri Sosial yang memaparkan bahwa data yang tidak valid menjadi alasan utama bantuan sosial salah sasaran.

2. Penerima KIP-K Sebelumnya Pernah Menerima KIP

KIP merupakan program jangka panjang yang pada awalnya menargetkan peserta didik pada jenjang pendidikan SD, SMP, dan SMA. Penerimaan KIP-K tetap menyertakan penerima KIP jenjang pendidikan menengah, yaitu lulusan SMA, SMK, atau sederajat sebagai persyaratan calon penerima KIP-K. Hal ini memang sejalan dengan fakta bahwa Angka Partisipasi Kasar (APK) Pendidikan Tinggi pada tahun 2023 baru mencapai 31,45%. Rendahnya APK tersebut akibat biaya untuk menempuh pendidikan tinggi, baik biaya pendidikan maupun biaya hidup.

Namun, masih terdapat kemungkinan adanya oknum yang kembali menerima bantuan KIP-K karena pernah terdaftar sebagai penerima KIP sebelumnya padahal status ekonominya mungkin sudah membaik. Reliabilitas dan kredibilitas data yang ada dalam sistem KIP-K dalam hal ini menjadi isu yang perlu mendapatkan atensi lebih. 

3. Manipulasi Data 

Tak dapat dipungkiri bahwa  masih terdapat praktek manipulasi data pendapatan, jumlah atau nilai aset, dan foto tempat tinggal oleh pendaftar yang tidak bertanggung jawab. Hal ini  didukung pula oleh oknum seperti di Kelurahan yang memanfaatkan hal tersebut untuk melakukan transaksi dengan memberikan Surat Keterangan Miskin (SKTM) setelah dibayar. Oleh karena itu, survey lapangan perlu diberlakukan untuk meminimalisasi KIP-K salah sasaran. 

4. Pengelolaan yang Tidak Transparan serta Mekanisme Monitoring dan Evaluasi yang Kurang Jelas 

Mekanisme yang kurang transparan menjadi salah satu faktor yang dominan dalam isu KIP-K salah sasaran. Sistem yang tertutup dan kurang akuntabel antara Perguruan Tinggi dengan Pemerintah, membuat integrasi KIP-K semakin tak bersinergi. Dalam prosesnya, mekanisme monitoring dan evaluasi yang kurang efektif dalam meninjau kondisi ekonomi penerima KIP-K secara berkala. Padahal, masa penerimaan yang cukup panjang (maksimal 8 semester) memerlukan monitoring hasil belajar dan kondisi ekonomi penerimanya. 

Melalui fenomena  KIP-K salah sasaran, istilah witch hunt mencuat di media sosial. Witch hunt dalam bahasa Indonesia diartikan menjadi 'perburuan penyihir'. Namun, mengutip dari Collins Dictionary, istilah witch hunt sebenarnya mengacu pada upaya untuk menemukan dan menghukum sekelompok orang tertentu yang dipersalahkan atas sesuatu, seringkali hanya karena pendapat mereka dan bukan karena mereka benar-benar melakukan kesalahan. Dalam konteks ini, masyarakat dunia maya berbondong-bondong menuduh suatu individu tidak layak atau menyalahgunakan KIP-K hanya berdasarkan opini pribadi mereka. 

Perburuan yang berlandaskan pada isu KIP-K salah sasaran berimplikasi pada berbagai masalah lainnya yang kemudian menyebar di media sosial, di antaranya yaitu: 

1. Labeling dan Stigma terhadap Pengguna KIP-K 

Labeling adalah proses melabel atau mengecap seseorang yang diberikan tergantung pada penilaian masyarakat sesuai apa yang dilihat dan diterimanya dalam kehidupan sehari-hari (sitasi). Merebaknya isu KIP-K salah sasaran membuat sebagian masyarakat dengan mudahnya melabeli bahwa penerima KIP-K menyalahgunakan dana KIP-K hanya berdasarkan selintas foto atau video. Hal ini kemudian dapat menjadi stigma apabila terus terjadi. 

Stigma merujuk pada "tanda" atau "label" yang digunakan sebagai sebutan sosial, penautan label ke stereotip negatif, atau kecenderungan untuk mengecualikan atau sebaliknya melakukan diskriminasi terhadap orang yang ditunjuk (Scheid & Brown, 2010 dalam Destrianti & Syafiq, 2019). Labeling dan stigma membuat penerima KIP-K yang sebenarnya tepat menerima perlakuan yang kurang menyenangkan. Hal ini membatasi ruang gerak para penerima KIP-K dalam memposting suatu hal yang sebenarnya masih pada taraf wajar. 

2. Doxing 

Doxing merupakan bentuk cyberbullying ketika informasi pribadi orang lain dicari dan disebarkan, sehingga melanggar privasi dan memfasilitasi perundungan lebih lanjut (Chen, Cheung, dan Chan, 2019). Doxing diatur dalam pasal 27 Ayat 3 UU ITE yang melarang penyebaran informasi elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik. Pada UU No 19 Tahun 2016 Pasal 26 Ayat (1) menyatakan bahwa "penggunaan setiap informasi melalui media elektronik yang menyangkut data pribadi seseorang harus dilakukan dengan persetujuan orang yang bersangkutan". Maka, dapat dipahami bahwa perilaku doxing tidak dibenarkan, khususnya apabila dilakukan untuk membongkar identitas penerima KIP-K salah sasaran berdasarkan asumsi semata. 

 Lantas, apa yang dapat dilakukan?

1. Mendorong Penyelesaian Masalah Secara Struktural 

Masyarakat perlu mendesak penyelesaian masalah secara struktural. Cara yang dapat dilakukan yaitu mendesak pihak-pihak di antaranya, yaitu : 

a. Kemensos yang menyediakan DTKS (Data Integrasi Kesejahteraan Sosial) 

b. Perguruan Tinggi

c. Kemdikbud Ristek

Kemdikbudtistek perlu memperketat pengawasan terkait penyaluran dan penerima KIP-K. 

d. Puslapdik

Terkait hal ini, pakar Kebijakan Publik Unair, Gitadi Tegas Supramudyo Drs MSi dalam laman Unair, menyatakan bahwa sebagai lembaga yang mengatur KIP-K, Puslapdik dianggap kurang belajar dari pengalaman universitas lain. Hal ini karena banyak perguruan tinggi yang sebenarnya secara mekanisme sudah baik dalam menentukan SPP. Namun, diperlukan lembaga khusus untuk mengawasi jalannya kebijakan atau program. 

Upaya mendesak pihak-pihak yang langsung berkaitan dengan program KIP-K dilakukan supaya tata kelola dan sistem penyeleksian dapat dibenahi menjadi lebih baik.  Survei kecocokan data dan desentralisasi juga perlu dilakukan demi berlangsungnya program KIP-K yang tepat sasaran.

2. Membiasakan Pola Pikir Kritis dan Logis 

Selain perbaikan secara struktural, masyarakat perlu membiasakan diri untuk berpikir lebih logis dan kritis dalam menanggapi suatu isu yang beredar di dunia maya. Terjadinya labeling, generalisasi, doxxing, dan witch hunting akibat isu KIP-K salah sasaran dapat diminimalisasi apabila masyarakat berpikir kritis. Dengan berpikir kritis, masyarakat tidak akan semerta-merta menyebarkan identitas ataupun menghujat individu yang dianggap tidak pantas mendapatkan KIP-K hanya karena individu tersebut dianggap 'tidak hidup seperti orang miskin'. 

3. Kesadaran Diri 

Kesadaran diri perlu dimiliki oleh setiap orang bahwa KIP-K dikhususkan untuk membantu segelintir orang yang mengalami kesulitan ekonomi, namun memiliki potensi untuk mengenyam pendidikan lebih tinggi lagi. Perlu dipahami bahwa dengan kesadaran diri akan hak orang lain, tentu fenomena pengguna KIP-K dengan kebutuhan sangat tercukupi tidak akan menjadi sebuah masalah yang merugikan kesejahteraan orang lain. 

4. Membuat Situs Pengaduan Penyelewengan KIP-K

Hal ini dapat mengurangi terjadinya doxxing ataupun tuduhan tak berdasar yang dapat dilakukan di media sosial. Dalam hal ini, situs resmi dapat lebih memfasilitasi laporan yang diajukan dan dapat ditindak secara lebih sistematis dan terorganisir. Terkait isut pengaduan, beberapa perguruan tinggi sudah menerapkan situs pengaduan yang dapat digunakan untuk melaporkan adanya penyelewengan KIP-K.

KIP-K salah sasaran pada dasarnya melibatkan baik pihak pemerintah maupun segelintir oknum tak bertanggung jawab yang merampas hak penerima KIP-K yang lebih layak. Seharusnya masyarakat bukan hanya gencar mencari siapa yang layak dan tak layak menerima KIP-K, apalagi sampai melakukan labeling, stigmatisasi, dan doxing. Masyarakat perlu mendesak para pemangku kebijakan untuk membenahi sistem dalam KIP-K, sedangkan pemerintah perlu cepat bertindak untuk membuat program KIP lebih efektif. Dengan begitu, 'perburuan' KIP-K dapat beralih menjadi 'pemberdayaan' bagi orang-orang yang membutuhkan adanya KIP-K. 

Kontributor : Rizky Akbar Putra Tryna

References

Ahmadi, D., & Nur'aini, A. (2005). Teori Penjulukan. Mediator: Jurnal Komunikasi, 6(2), 297-306.

Ariningtas, F. S., & Indayani. (2022). Pemakaian Labelling pada Tokoh Utama dalam Novel Koella Karya Herlinatiens. Buana Sastra Jurnal Bhasa, Susastra, dan Pembelajarannya, 9(1).

Chen, M., Cheung, A., & Chan, K. L. (2019). Doxing: What Adolescents Look for andTheir Intentions. Intrenational Journal of Environtmental Research and Public Health, 16(2).

Dade, L. L., Waha, C., & Nachrawy, N. (2024). Kajian Yuridis Tentang Tindak Pidana Penyebaran Data Pribadi Melalui Internet (Doxing) di Indoneisa. Jurnal Fakultas Hukum Universitas Sam Ratulangi Lex Privatum, 13(3).

Destrianti, R., & Syafiq, M. (2019). dentitas diri remaja yang berhadapan dengan hukum. Character: Jurnal Penelitian Psikologi, 6(1), 1-11.

Kementerian Komunikasi dan Informatika. (n.d.). Kementerian Komunikasi dan Informatika. Retrieved May 24, 2024, from https://www.kominfo.go.id/index.php/content/detail/4419/Menkominfo%3A+Pasal+27+Ayat+3+UU+ITE+Tidak+Mungkin+Dihapuskan/0/berita_satker

Mukti, A. T., & Multazam, M. T. (2023). Doxing Patterns Using Social Engineering in Cyberspace [Pola Pola Doxing Menggunakan Social Engineering di Dunia Maya].

Nabb, M. (n.d.). WITCH-HUNT definition and meaning | Collins English Dictionary. Collins Dictionary. Retrieved May 24, 2024, from https://www.collinsdictionary.com/dictionary/english/witch-hunt

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun