Dosen pengampu : Prof. Dr. Syamsu LN., M.Pd dan Nadia Aulia Nadhirah, M.PdÂ
"You are what you think you are". Kalimat tersebut agaknya tidak asing bagi sebagian besar masyarakat dan seringkali hilir mudik terpampang pada berbagai media sosial sebagai kutipan motivasi. Namun, kalimat tersebut apabila dimaknai dengan lebih mendalam, memiliki kaitan erat dengan fenomena self-diagnosed yang tanpa disadari kerap kali dilakukan oleh masyarakat di era modern ini.Â
Munculnya fenomena self-diagnosed tidak terlepas dari perkembangan zaman yang senantiasa meningkatkan kemutakhiran teknologi sehingga informasi dapat dengan mudah diakses di mana saja.Â
Akses informasi yang mudah didapatkan berimplikasi pada literasi kesehatan mental di mana masyarakat saat ini dapat dengan mudah mengakses banyak informasi, berita, dan edukasi mengenai kesehatan mental maupun gangguan yang dapat menghampirinya. Walau hal tersebut turut berkontribusi dalam upaya peningkatan kesehatan mental atau kerap kali disebut mental health awareness, informasi seputar mental juga turut ambil andil dalam berkembangnya self-diagnosed pada masyarakat. Â
Dapat diambil contoh ketika seseorang memvalidasi informasi terkait gangguan mental sebagai sesuatu yang benar-benar dialaminya tanpa diagnosis lebih lanjut dari tenaga profesional, mengindikasikan bahwa orang tersebut sudah melakukan self-diagnosed atau diagnosis pribadi hanya berdasarkan informasi yang bahkan belum tentu kredibel (Akbar, 2019).Â
Berangkat dari permasalahan yang telah dipaparkan, perlu dipahami definisi secara lebih fundamental dari self-diagnosed itu sendiri untuk dapat memaknai secara lebih jauh substansi fenomena self-diagnosed di era literasi kesehatan mental.Â
Secara etimologis, self-diagnosed berasal dari bahasa Inggris yang terdiri dari kata "self" berarti diri dan "diagnosed" yang berarti diagnosis. Baumeister (1999) mendefinisikan self atau diri sebagai suatu keyakinan individu terhadap dirinya sendiri, termasuk atribut yang dimiliki orang tersebut dan 'siapa' serta 'apa' dirinya (Rashid et al., 2015). KBBI menyatakan definisi diagnosed atau diagnosis sebagai penentuan jenis penyakit dengan cara meneliti gejala-gejalanya. Apabila dihimpun berdasarkan kedua pengertian tersebut, self-diagnosed dapat didefinisikan sebagai proses di mana seseorang mengamati ke dalam diri sendiri, perihal gejala-gejala patologi yang ada dan mengidentifikasi penyakit atau gangguan berdasarkan hal tersebut tanpa konsultasi secara medis (Ahmed & Stephen, 2017).Â
Secara lebih spesifik self-diagnosed apabila sudah pada tahap yang sangat parah, disebut sebagai cyberchondriasis yaitu, kecenderungan individu untuk menggunakan informasi yang tersedia secara online untuk mendiagnosis diri sendiri (White & Horvitz, 2009 dalam Ahmed & Stephen, 2017).Â
Definisi self-diagnosed yang telah dipaparkan tersebut menyambungkan benang merah pada korelasinya terhadap literasi kesehatan mental. Literasi kesehatan mental digagas oleh peneliti yang berasal dari Australia bernama Jorm pada tahun 1997. Jorm secara rinci  mengemukakan bahwa literasi kesehatan mental mencakup kemampuan untuk : 1) mengenali gangguan tertentu, 2) mengetahui cara-cara untuk mencari informasi kesehatan mental, 3) pengetahuan tentang risiko dan faktor risiko serta penyebabnya, 4) tentang pengobatan diri dan bantuan profesional yang tersedia, 5) sikap yang mendorong penyuluhan, dan 6) mencari bantuan yang tepat  (Jorm et al., 1997).Â
Pada dasarnya literasi kesehatan mental dapat meningkatkan kesadaran diri seseorang mengenai kesehatan mental sekaligus mempromosikan pengetahuan tentang kesehatan mental. Namun, perlu ditegaskan bahwa hal tersebut dapat diaktualisasikan apabila pembaca memiliki kesadaran yang tinggi dan didukung pula oleh informasi yang kredibel. Berdasarkan penelitian dalam jurnal berjudul "Hubungan Literasi Kesehatan Mental dengan Trend Self-Diagnosis pada Remaja Akhir", menunjukkan hasil bahwa masih terdapat kecenderungan yang kuat pada mahasiswa Prodi Keperawatan Universitas Pendidikan Indonesia Kampus Sumedang dalam self-diagnosed, yaitu sebesar (58,1%) mahasiswa yang melakukan self-diagnosed tanpa didukung pertolongan tenaga ahli (Komala et al., 2023).
Pada wawancara yang dilakukan dalam prosiding  berjudul "Dampak Self-Diagnosed pada Kondisi Kesehatan Mental Mahasiswa Universitas Negeri Makassar" beberapa remaja yang diwawancarai secara sadar pernah melakukan self-diagnosed dengan menganggap bahwa mereka mengidap anxiety berdasarkan artikel yang membahas gejala-gejala anxiety tanpa pikir panjang (Annury et al., 2022).Â
Data dan wawancara tersebut mengindikasikan bahwa di era literasi kesehatan mental sekalipun, self-diagnosed masih terjadi dan hal tersebut memerlukan perhatian yang lebih karena self-diagnosed dapat memberi dampak buruk terhadap kesehatan mental. Perlu dipahami bahwa persepsi seseorang mengenai dirinya dapat memengaruhi cara-cara bertindak dan tindakannya dapat memengaruhi cara-cara seseorang dalam memandang dirinya sendiri (Shavelson et al., 1976). Apabila seseorang mendiagnosis dirinya memiliki gangguan mental padahal belum tentu kebenarannya, persepsi bahwa individu tersebut terkena gangguan mental dapat membuatnya mengalami kecemasan berlebih (Maskanah, 2022). Â Sebagai contoh, seseorang yang melakukan self-diagnosed terhadap depresi yang dialaminya mengharapkan tingkat prevalensi yang lebih tinggi dari depresi ketika hasilnya didasarkan pada evaluasi pribadi ketimbang penilaian diagnostik (Bonsaken et al., 2018).Â
Namun demikian, fenomena self-diagnosed di era literasi kesehatan mental menunjukkan bahwa permasalahan di masa sekarang sangat kompleks dan dinamis. Hal ini berdampak pada layanan bimbingan dan konseling di mana self-diagnosed dapat mengurangi optimalisasi konseli dalam proses konseling. Berkaitan dengan permasalahan yang ada, self-diagnosed praksis bertolak belakang dengan konsep bimbingan. Sebagaimana definisi bimbingan menurut Kamaludin H (2011) yaitu, bimbingan merupakan proses menolong individu memahami diri serta dunianya. Â
Lebih lanjut lagi, bimbingan ditujukkan supaya seseorang mampu memahami diri dan dunianya di mana individu memiliki persepsi yang jelas mengenai keadaan diri sendiri dan peka terhadap permasalahan yang dimilikinya  (Zahra, 2017). Sedangkan konseling menekankan pada pencegahan dan tujuan untuk membantu individu dari berbagai rentang usia dan tahapan menghindari membuat pilihan buruk dalam hidup sembari menemukan makna, arah, dan kepuasan dalam apa yang dilakukan seseorang (Gladding, 2017).Â
Self-diagnosed menjadi sebuah tantangan tersendiri bagi layanan bimbingan dan konseling untuk memberikan pendekatan yang efektif dalam membimbing konseli supaya dapat memahami diri dan dapat terlepas dari diagnosis pribadinya. Akan tetapi, konselor atau guru BK dapat menjadikan era literasi kesehatan mental sebagai sarana mengoptimalkan kesadaran literasi kesehatan mental yang bijak. Apabila ingin mengentas fenomena self-diagnosed, masyarakat perlu perlu lebih sadar akan isu-isu kesehatan mental dan meningkatkan literasi kesehatan mental (Gobel et al., 2023).Â
Hal ini berimplikasi pada layanan informasi dalam bimbingan dan konseling untuk dapat memperluas informasi mengenai pentingnya literasi kesehatan mental dan bahaya self-diagnosed, supaya individu mampu memahami dirinya lebih baik lagi (Wahyuni, 2018). Literasi kesehatan mental yang buruk memiliki konsekuensi negatif bagi orang-orang yang memiliki masalah kesehatan mental, karena mereka tidak memiliki pengetahuan dan sumber untuk mengakses layanan penanggulangan gangguan mental (Atlas, 2018). Oleh sebab itu, literasi kesehatan mental yang bijak merupakan hal yang esensial dalam mengurangi fenomena self-diagnosed dan supaya layanan informasi bimbingan dan konseling dapat lebih mencakup keseluruhan aspek yang lebih luas lagi.Â
Referensi
Ahmed, A., & Stephen. (2017). Self-Diagnosis in Psychology Students, 4(86). https://ijip.in/wp-content/uploads/2019/02/18.01.035.20170402.pdf
Akbar, M. F. (2019). Analisis Pasien Self-Diagnosis Berdasarkan Internet pada Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama. 10.31227/osf.io/6xuns
Annury, U. A., Yuliana, F., Suhadi, A., & Karlina, C. (2022). Dampak Self Diagnose Pada Kondisi Mental Health Mahasiswa Universitas Negeri Surabaya, 1. https://proceeding.unesa.ac.id/index.php/sniis/article/download/101/86
Atlas, S. (2018). Lay Perceptions of Self-Diagnosis as a Barrier to Mental Health Treatment-Seeking. https://repository.library.northeastern.edu/files/neu:cj82r7790/fulltext.pdf
Bonsaken, T., Grimlot, T., Skogstad, L., Lerdar, A., Ekeberg, O., & Bredal, I. (2018). Self-diagnosed depression in the Norwegian general population -- associations with neuroticism, extraversion, optimism, and general self-efficacy. https://bmcpublichealth.biomedcentral.com/articles/10.1186/s12889-018-5990-8
Gladding, S. (2017). Counseling : A Comprehensive Profession. Pearson India Education Services. chrome-extension://efaidnbmnnnibpcajpcglclefindmkaj/https://www.pears onhighered.com/assets/samplechapter/0/1/3/2/013265797X.pdf
Gobel, S., Lusiana, E., & Dida, S. (2023). Mental Health Promotion: Stop Self-Diagnosing Through Social Media, 11(1), 71-81. https://www.researchgate.net/publication/369159263_Mental_Health_Promotion_Stop_Self-Diagnosing_Through_Social_Media
Jorm, A. F., Korten, A. E., Jacomb, P. A., Christensen, H., Rodgers, B., & Pollitt, P. (1997). "Mental health literacy": a survey of the public's ability to recognise mental disorders and their beliefs about the effectiveness of treatment, 166, 182-186. 10.5694/j.1326-5377.1997.tb140071.x
Kamus Besar Bahasa Indonesia. (n.d.). KBBI. Retrieved November 1, 2023, from https://kbbi.web.id/diagnosis
Komala, C., Faozi, A., Rahmat, D. Y., & Sopiah, P. (2023). Hubungan literasi kesehatan mental dengan trend self-diagnosis pada remaja akhir, 17(3), 206-213. 10.33024
Maskanah, I. (2022). Fenomena Self-Diagnosis di Era Pandemi Covid-19 dan Dampaknya terhadap Kesehatan Mental, 1(2). http://www.jstor.org/stable/1170010 .
Rashid, K., Iqbal, M. Z., & Khalid, N. (2015). Development of Self as a Concept in the University Students, 37(2), 43-58. https://files.eric.ed.gov/fulltext/EJ1210431.pdf
Shavelson, R. J., Hubner, J. J., & Stanton, G. (1976). Self-Concept: Validation of Construct Interpretations, 46(3), 407-441. http://www.jstor.org/stable/1170010 .
Wahyuni, T. (2018). PERANAN LAYANAN INFORMASI BIMBINGAN DAN KONSELING TERHADAP TINGKAH LAKU SOSIAL PADA SISWA KELAS XII KR1 DI SMKN2 BOYOLANGU TULUNGAGUNG, 5(3). https://ejurnalkotamadiun.org/index.php/JIPP/article/view/138
Zahra, M. (2017). Urgensi Bimbingan dan Konseling untuk Pelayanan Masalah Anak Jalanan, 2(3), 49-53. https://jurnal.iicet.org/index.php/schoulid/article/view/426
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H