Mohon tunggu...
Diandra Kayla
Diandra Kayla Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Hobi membaca dan menulis cerpen sejak kecil, membuat Kayla ingin meneruskan potensinya disini. Semoga suka!

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Kerasnya Kehidupan Kota Ditanggung Kaki Mungil Pejuang Rupiah

15 Oktober 2024   23:02 Diperbarui: 15 Oktober 2024   23:04 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
R, pengamen jalanan (Sumber: dokumentasi pribadi)

Bandung - Malam bagi beberapa orang adalah waktu yang tepat untuk mengakhiri hari. Setelah hari yang panjang, beberapa menikmatinya dengan berbaring di kasur empuk jutaan rupiahnya, beberapa mengakhirinya dengan menyantap masakan enak yang diantar tepat di depan pintu.

Hal-hal itu bisa terjadi kepada beberapa manusia yang beruntung. Namun bagi sebagian lain, malam adalah hari dimana mereka mencari koin-koin rupiah demi memenuhi isi perut mereka. Tidak hanya orang dewasa, anak-anak harus menyisihkan waktu malam mereka untuk menopang perekonomian keluarga.

R, adalah salah satu dari banyak anak-anak yang mengais rezeki di bawah terang bulan. R, seorang anak kelas 5 SD yang berusaha tiap malam mengangkat gitar yang lebih besar dari badannya, untuk menyanyikan potongan lagu-lagu pop pada pengunjung di kafe.

R menyanyikan lagu D'Masiv – Jangan Menyerah pada hari Minggu (13/10/2024). Ia mengaku bahwa ia masih aktif sekolah di pagi hari dan mengamen di malam hari. R bercerita tentang bagaimana ia membagi waktu sekolah dengan mengamen.

“Buat sekarang sih nggak susah kak. Biasanya aku ngerjain PRnya siang abis pulang sekolah. Kalau malem dari jam 18.00 sampai jam 22.00 aku mulai ngamen,” ujar R menceritakan jadwalnya setiap hari.

Ia bercerita tentang bagaimana sulitnya mencari orang-orang yang mau menyisihkan sebagian uang mereka untuknya. Mereka kadang hanya memintanya untuk menyanyikan lagu, namun hanya dibayar recehan atau bahkan tidak dibayar sama sekali.

Ketika ditanya mengenai mengapa ia memilih untuk mengamen, R menjelaskan bahwa ia terpaksa mengamen demi membantu keluarganya. “Ayah aku di rumah, ibu juga di rumah ngurusin ayah sama adik sambil jual gorengan. Adik masih 2 tahun,” katanya sambil memainkan gitarnya pelan-pelan.

R berkeliling Bandung disekitar jalan Jawa hingga Asia Afrika. “Biasanya mah keliling sekitar sini aja sampe Asia Afrika. Nyari tempat yang banyak orang aja. Di Asia Afrika sering banyak yang ngasih,” kata R ketika ditanya mengenai mengapa ia memilih mengamen di Asia Afrika.

R terkadang tidak mengamen sendirian. Ia biasanya berjalan bersama teman-teman yang senasib dengannya. “Kita biasanya janjian buat mencar. Misalnya di Asia Afrika, kita mencar-mencar aja. Nanti ketemuan lagi,”

R berharap, berapapun uang yang didapatkan dari hasil mengamen akan cukup untuk membantu keluarganya untuk makan diesok hari. Ia juga berharap kehidupannya akan lebih baik secepatnya agar ia bisa bersekolah dan bermain bersama teman-teman sebayanya.

Sangat disayangkan betapa anak-anak di Indonesia masih banyak yang menjadi korban eksploitasi. Padahal, anak-anak ini mungkin memiliki potensi yang seharusnya digali lebih dalam dan didukung dengan lingkungan yang sehat dan aman.

Pengamen jalanan masih menjadi isu yang harus diperbaiki di Indonesia. Apalagi pengamen yang masih berusia dini. Anak-anak ini layak untuk mendapatkan kehidupan yang seharusnya ia jalani. Belajar, bermain, melakukan hobi disela-sela sekolah, mencari jati dirinya.

Pemerintah harus segera tanggap dalam membantu anak-anak ini untuk hidup layak. Kemiskinan struktural membuat anak-anak ini harus menelan pahitnya dunia dan dewasa sebelum umurnya. Sudah saatnya kita sadar betapa krusialnya kasus eksploitasi anak yang terjadi di Indonesia karena R bukan hanya satu—satunya anak yang menjadi korban. Ia hanya satu contoh dari jutaan anak Indonesia yang kehilangan masa kecil demi sesuap nasi. Sayangnya, ekspolitasi anak tidak hanya terjadi dikalangan pengamen jalanan. Anak-anak dibawah umur yang bekerja di media sosial juga menjadi cont oh kasus eksploitasi anak yang harus diperhatikan lebih serius.

Anak sekecil R  atau bahkan yang lebih kecil lagi, tidak seharusnya ikut merasakan pahitnya dunia dari usia dini. R pantas mendapatkan masa kecilnya dan bertumbuh kembang seperti anak lain. Namun kerasnya kehidupan membuatnya harus merasakan beban dunia yang tidak semestinya ia pikul dipundak kecilnya. Melangkah perlahan dengan kaki mungil beralaskan sendal hingga malam hari menenteng gitar yang ukurannya setara badannya sendiri.

R dan jutaan anak lainnya harus menjadi pembuka mata bagi pemerintah maupun kita semua untuk lebih memperhatian anak-anak disekeliling kita dan membantu mereka untuk memiliki hidup yang kebih baik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun