Pandemi Covid-19 sampai saat ini masih belum kelihatan hilalnya kapan akan selesai, tapi dimana-mana, kita sudah membaca, there is something bigger will happen after this dreadful pandemic.Â
Yup. The impact of the climate change. Agustus 2021 kemarin, sekitar 234 peneliti dari 66 negara yang tergabung dalam Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) melaporkan bahwa  temperatur bumi sudah mengalami kenaikan sebesar 1.1C antara 1850 -- 1990 dan kemungkinan akan bertambah atau melebihi 1.5C di 20 tahun mendatang. Dalam bahasa awamnya, ini berarti "gawat" dan kita harus segara bertindak.
Dalam laporannya, IPCC menjabarkan lima skenario yang mungkin terjadi menjelang abad 22. Skenario pertama adalah skenario ambisius dimana terjadi pergeseran energi bersih secara bertahap. Kita telah berhasil menurunkan penggunaan bahan bakar fosil dan meningkatkan efisiensi energi. Peningkatan kesejahteraan, kesehatan dan pendidikan menyebabkan populasi manusia tidak lebih dari 7 miliar orang.Â
Pada skenario ini, kita berhasil mempertahankan kenaikan temperatur bumi di 1.5 C. Meskipun demikian, pada kondisi ini, bumi tetap menjadi lebih hangat dari sebelumnya sehingga kenaikan gelombang panas dan curah hujan ekstrem masih akan tetap terjadi. Â
Pada skenario kedua, pergeseran energi bersih tetap berjalan tapi tidak sebesar pada skenario pertama. Temperatur bumi naik menjadi 1.8 C, dengan rata-rata kenaikan 1.3 C -- 2.4 C pada tahun 2100 dengan jumlah populasi manusia mencapai 7 miliar orang. Walaupun kenaikan temperatur hanya berbeda sedikit dengan skenario pertama, tapi ternyata dampaknya sangat signifikan.Â
Para ahli IPCC memperkirakan adanya kenaikan permukaan laut hingga 30 -- 54 cm, yang menyebabkan resiko banjir di daerah pesisir pantai naik berkali lipat. Skenario ketiga menggambarkan kenaikan temperatur bumi hingga 2.7 C, dengan range 2.1 C -- 3.5 C di tahun 2100 dengan populasi manusia mencapai 9.6 miliar orang.Â
Pada temperatur ini, Samudra Arktik sudah meleleh sepenuhnya di musim panas. Dengan kenaikan temperatur hingga 3C, diperkirakan akan terjadi penurunan produksi makanan yang signifikan, gelombang panas yang lebih parah, disertai dengan curah hujan yang lebih ekstrem dengan resiko banjir yang lebih tinggi.
Skenario empat dan skenario lima mengilustrasikan kondisi yang makin lama makin parah. Skenario keempat menggambarkan apa yang terjadi kalau negara-negara hanya mengedepankan ekonomi. Eksploitasi bahan bakar fosil tetap dijalankan.Â
Pengembangan teknologi dan pendidikan mengalami penurunan. Pertumbuhan populasi akan berkurang pada negara-negara industri tetapi tetap tinggi pada negara-negara berkembang hingga mencapai 12.6 miliar orang. Temperatur bumi akan bertambah hingga 3.6 C dengan range 2.8 C -- 4.6 C dan kenaikan permukaan laut mencapai 46 -- 74 cm.Â
Skenario kelima, hampir bisa dikatakan sebagai kiamat kecil dimana temperatur bumi naik hingga 4.4 C, dengan range antara 3.3 C -- 5.7 C akibat manusia tidak mengindahkan peringatan-peringatan perubahan iklim bahkan tidak berusaha untuk melakukan apa-apa untuk mencegah hal itu terjadi. Perubahan cuaca akan terjadi sangat ekstrem, bahkan akan ada daerah-daerah yang tidak dapat dihuni lagi oleh manusia di musim panas (IPCC, 2021 dan vox.com). Â Â
Sebagai tambahan informasi, berdasarkan data bulan Agustus 2021 dari World Research Institute, Indonesia termasuk peringkat top ten negara penghasil emisi terbesar di dunia. Indonesia menyumbang sekitar 2.03% dari total emisi secara global atau setara dengan 965.3 Mt CO2e.Â
Emisi listrik/panas merupakan penyumbang terbesar emisi rumah kaca yang diikuti oleh sektor pertanian, transportasi, limbah, manufaktur/konstruksi, proses industri, pembakaran bahan bakar, dan terakhir bangunan.Â
Desain rencana net zero emission, walaupun hampir sama tapi akan berbeda di setiap negara. Satu negara mungkin akan bisa menerapkan 100% dekarbonisasi, tapi negara lain sudah bisa menerapkan 80% dekarbonisasi sudah menjadi suatu prestasi.
Okay, kita sudah tau skenario terburuk yang mungkin akan terjadi jika kita tetap mengindahkan peringatan-peringatan dari alam, laporan dan saran dari para ahli. Lalu apa yang bisa kita lakukan?Â
Apa yang bisa saya lakukan, sebagai generasi muda millennials yang update informasi dan tentu saja ingin berkontribusi? Mencapai net zero emission adalah proses ambisius yang membutuhkan proses secara holistik dan terintegrasi tidak hanya dari pemerintah tapi juga masyarakat sebagai individual.Â
Generasi millennials sudah memasuki usia matang dengan diversitas profesi yang beragam mulai dari policy maker hingga kaum rebahan. Jika kamu millennials dengan tanggung jawab sebagai policy maker di negara kita tercinta ini, sadarlah keputusan yang kamu ambil memiliki dampak yang sangat signifikan terhadap peran Indonesia di mata dunia dalam perang melawan perubahan iklim.Â
Pemerintah Indonesia sepertinya juga tidak main-main mengenai pencapaian net zero emission. Mungkin kita bisa baca di media massa, salah satu kebijakan terkini adalah penghentian penjualan mobil dan motor konvensional yang akan berlaku mulai tahun 2040. Big applause untuk para millennials yang terlibat dalam kebijakan tersebut.
Jika kamu adalah peneliti dan akademisi yang concern terhadap lingkungan, you're on the right track. Teknologi yang relevan dengan program net zero emission harus terus dikembangkan. Ini merupakan tantangan bagi para praktisi industri, peneliti dan akademisi untuk catching up dengan negara-negara lain. Sektor energi yang meliputi listrik, transportasi, manufaktur, dan bahan bakar adalah penyumbang emisi terbesar di Indonesia dan dunia.
Oleh karena itu, para peneliti dan akademisi sedang bergerak cepat untuk mengakselerasi penelitian di bidang energi terbarukan demi tercapainya net zero emission 2060. Jangan lupakan para millennials entrepreneur mulai dari tingkat UMKM hingga start up yang berjuang untuk memproduksi dan memasarkan daily used product hingga high tech products ramah lingkungan. Â
Hal yang tidak kalah penting dalam mendukung net-zero emission adalah prilaku dan gaya hidup (lifestyle) kita secara individual.Â
Bagaimana caranya kita bergeser dari gaya hidup yang konsumtif ke low-carbon lifestyle. Menciptakan rumah dengan konsep "green building" bisa menjadi salah satu contoh.Â
Penggunaan bahan bangunan yang ramah lingkungan, penggunaan listrik yang efisien dapat dilakukan dengan strategi pencahayaan alami, penggunaan listrik untuk peralatan elektronik seperlunya, dan bagi yang berpenghasilan berlebih dapat menggunakan panel surya sebagai alternatif.Â
Meminimalisasi pemakaian plastic-based material juga merupakan langkah yang signifikan dalam mengurangi emisi sekaligus mengurangi ancaman limbah mikroplastik dari pemakaian material yang tidak ramah lingkungan tersebut.
Kampanye pengurangan sampah belanja plastik di gerai-gerai market place dan supermarket berjalan sangat memuaskan dan harus diperluas lagi hingga ke pasar-pasar tradisional. Penggunaan container propilen (PP) bekas makanan take away juga bisa digunakan untuk menyimpan sayur, ikan, ayam, daging dari belanjaan pasar.Â
Kalau ingin lebih ramah lingkungan lagi, bisa menggunakan daun pisang dan daun jati. Gerakan meminimalisasi plastik lainnya yang sudah mulai dilakukan di kota-kota besar adalah pembelian isi ulang kebutuhan rumah tangga seperti sabun mandi, sabun cuci piring, detergen, shampoo, minyak goreng dan lain sebagainya.Â
Bravo, ibu-ibu millennials yang sudah sangat paham bahwa menjalankan green lifestyle tidak harus mahal, bahkan jika dilakukan dengan benar malah lebih cost-efficient. Reduce, reuse, recycle, semudah itu.
Lalu bagaimana dengan kamu, millennials si kaum rebahan atau mereka-mereka yang hidup sendiri, yang terkadang terbiasa menghidupkan televisi hingga berjam-jam lamanya, padahal tidak ditonton tetapi hanya karena ingin suasana ramai sehingga kita tidak merasa terlalu sendiri. Ayo, stop being dramatic dan mulailah cari kesibukan atau hobi atau pasangan yang bisa mengisi kekosongan di hati.Â
Bagi millennials yang selalu berhubungan dengan surat-menyurat elektronik, bisa melakukan langkah kecil dengan segera menghapus email yang sudah tidak diperlukan lagi.Â
Ternyata, satu email itu menghasilkan menghasilkan 0.3 g CO2. Terlihat kecil memang. Tapi bagaimana jika satu hari kita mendapatkan 20 email (dari online shop, travelling agent, dan lainnya), kalikan sebarapa banyak umat manusia di bumi ini yang menggunakan email.
Isu limbah makanan (food waste) pun sangat berkaitan dengan pencapaian net zero emission. United Nation Environment Program (UNEP) melaporkan bahwa 8 -- 10 % emisi rumah kaca diakibatkan oleh limbah makanan.Â
Bappenas Indonesia mencatat jumlah limbah makanan Indonesian yang fantastis di kisaran 23 -- 48 juta ton yang setara dengan 1702.9 mega ton CO2 sepanjang tahun 2000 -- 2019.Â
Bagaimana solusinya? Prinsipnya ambil makanan sesuai kebutuhan dan kurangi makan processed food dan mulailah makan sehat. Prakteknya memang agak tricky. Butuh persiapan dan tentu saja motivasi yang sangat kuat. Â Â
Pada akhirnya, keputusan untuk melindungi bumi ini ada di tangan kita. Bumi yang bagaimanakah yang akan kita tinggalkan untuk anak cucu kita kelak. Tidak ada tindakan yang sepele, bahkan hanya mematikan lampu kamar mandi pada saat tidak terpakai, atau memutuskan berjalan kaki, dibandingkan dengan naik kendaraan bisa berdampak positif bagi bumi.Â
Tindakan-tindakan positif kecil yang diulang hingga menjadi kebiasaan, akan menjadi gaya hidup atau lifestyle yang akan menjadi penolong bumi kita di masa yang akan datang. Be the upgrade version of you, be the influencer. Kita millennials, kita siap.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H