Conference of The Parties (COP) adalah pengambil keputusan tertinggi dari United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC). COP merupakan agenda tahunan yang dilakukan oleh anggota rezim perubahan iklim global, United Nation on Climate Change Conference (UNFCCC). UNFCCC sendiri merupakan suatu rezim yang pertama kali dibentuk di Rio de Janiero, Brazil pada tahun 1992. Pembentukan UNFCCC dilatarbelakangi oleh adanya temperatur rata-rata global yang naik hingga sebesar 0,74C selama abad ke-20. Dimana hal ini menunjukan pemanasan rata-rata global selama lima puluh tahun terakhir telah meningkat hampir dua kali lipat dari rata-rata seratus tahun terakhir yang juga menyebabkan tingginya jumlah karbondioksida pada atmosfer bumi.
Hal tersebutlah yang kemudian membuat para pemimpin dunia mulai mencari cara dengan membentuk suatu rencana besar terkait upaya konservasi lingkungan bumi dengan mendirikan UNFCCC. UNFCCC ini memiliki tujuan utama yaitu mengurangi emisi gas rumah kaca serta memerangi perubahan iklim yang terjadi. Selain itu, UNFCCC juga berkaitan erat dengan kesadaran setiap negara akan potensi pemanasan suhu yang tentunya akan mempengaruhi populasi makhluk hidup di bumi. Hal itu yang menjadikan UNFCCC memiliki agenda tahunan untuk melakukan pertemuan yang biasa disebut sebagai Conference Of Parties (COP) yang didirikan untuk mengatasi perubahan iklim.
Conference Of Parties ke-26 (COP26) diselenggarakan di Glasgow, Skotlandia pada 31 Oktober hingga 12 November 2021. Target dari dilakukannya pertemuan ini dianggap lebih ambisius dengan rencana pembatasan suhu global agar dapat berada dibawah 1,5C. Upaya pencapaian target ini akan diwujudkan dengan adanya pengurangan separuh emisi dunia pada 2030 yang direncanakan dapat mencapai Net Zero Emission (NZE) pada 2050 mendatang, serta berfokus pada upaya dekarbonisasi berskala global. Dengan target yang telah disepakati tersebut, COP26 ini diharapkan dapat menyelamatkan ekosistem makhluk hidup di bumi khususnya yang tinggal pada wilayah dengan potensi pengaruh pemanasan iklim global yang tinggi.
Conference Of Parties ke-26 (COP26) yang diselenggarakan di Glasgow pada 31 Oktober hingga 21 November 2021 lalu menghasilkan berbagai target yang telah disepakati oleh 197 negara penandatangan. Salah satu kesepakatan tersebut adalah membahas mengenai upaya yang akan dilakukan untuk penstabilan kondisi iklim dengan mengurangi konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer yang dapat menimbulkan dampak negatif bahkan mengancam keselamatan makhluk hidup di bumi. Salah satu poin penting dalam pertemuan ini juga masih berkaitan dengan target dalam Paris Agreement mengenai kesepakatan untuk membatasi pemanasan global agar tidak melebihi 2C. Namun, yang membedakan dalam kesepakatan COP26 ini target yang akan dicapai pada pembatasan pemanasan global lebih kecil, ialah tidak lebih dari 1,5C.
Selain membahas mengenai kesepakatan pembatasan pemanasan global, COP26 juga telah membahas dan merencanakan mengenai peningkatan pendanaan aksi iklim karena kondisi lingkungan alam di bumi yang semakin hari dianggap semakin mengkhawatirkan dan semakin memburuk. Hal ini juga yang membuat banyak pihak mulai merasa bahwa perubahan iklim telah memasuki tahap darurat global dan bahkan telah mengancam populasi makhluk hidup dalam tiga dekade terakhir ini. Rencana kebijakan terkait darurat iklim global ini dilatarbelakangi oleh prediksi dari beberapa peneliti yang menyatakan bahwa pada abad ini akan ada terjadinya kenaikan suhu glogal hingga mencapai 2,7C.
Source: https://images.app.goo.gl/5xWmUojkJNouEwcu6
Gambar tersebut menunjukkan bahwa kondisi dasar laut juga sedang mengalami krisis iklim, yang dimana berdasarkan data-data diatas telah tercatat bahwa 27% dari semua jenis karbon yang masuk ke laut dapat memberikan pengaruh buruk pada pukat dasar (bottom trawl). Emisi dari makanan dan perikanan juga menjadi salah satu pendorong terbesar krisis iklim karena telah menyebabkan hingga 40% emisi global. Hal ini disebabkan oleh kapal ikan yang melepaskan 159 miliar karbondioksida di setiap tahunnya. Hal tersebut setara dengan karbondioksida dari 40 pembangkit listrik tenaga batu bara.
Selain itu, berdasarkan data diatas juga dapat diketahui bahwa dampak pemanasan iklim global tidak hanya mengancam makhluk hidup yang berada di darat tetapi juga mengancam habitat makhluk hidup yang hidup di laut atau di perairan. Hal ini terjadi karena pengaruh pukat dasar (bottom trawl) pada emisi gas rumah kaca sehingga mengidentifikasi peluang mitigasi utama habitat dasar laut.
Prediksi mengenai kenaikan suhu oleh para peneliti dibuktikan dengan banyaknya kerusakan masif akibat kenaikan suhu yang terjadi di muka bumi sehingga sering menyebabkan terjadinya bencana alam. Hal ini yang kemudian membuat warga negara sadar akan pentingnya alam ini sehingga setiap negara menyepakati rencana pemotongan emisi karbon guna mencegah naiknya suhu di bumi seperti yang telah diprediksi.
Berkaitan dengan rencana peningkatan pendanaan aksi iklim, pada pelaksanaan COP26 juga diputuskan bahwa sejumlah negara maju turut menjanjikan bantuan dana sebesar $100 milyar setiap tahunnya untuk negara-negara yang rentan dan miskin guna untuk membantu menekan emisi karbon serta melindungi rakyat dan warga negaranya dari potensi akan terjadinya dampak negatif krisis iklim global. Dari pelaksanaan COP26 dapat kita lihat bahwa adanya antusiasme setiap negara dalam menanggapi kondisi darurat iklim ini dan bahkan sebagian besar negara meminta agar hal ini dapat dikaji lebih serius dan mendalam untuk kemudian dapat ditemukan solusinya untuk bersama-sama melindungi negara.