Mohon tunggu...
dian anggraini
dian anggraini Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Limas Ibu

1 Juni 2016   15:07 Diperbarui: 1 Juni 2016   15:15 32
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Dinding,,,dinding papan rumah ini terasa menatapku foto-foto tua berwarna hitam putih yang kusam,menempel di beberapa sudut,ada bingkai yang miring bekasditiup angin,daun jendela sebelah kanan dekat pintu selalu berbunyi nyaring enselnya sudah berkarat,kacanya pecah sebelah.Dan gentingnya yang dulu berwarna merah liat sekarang menghitam sedikit kehijauan lumut berserakan,tak beraturan diatas atap,seolah-olah ada seseorang yang sudah mengacak-acaknya.semua terasa keropos.

Aku menghela nafas lalu menghirupnya kembali kuat-kuat.

Bayangan wajah ibu yang mulai keriput mengantar dipelupuk matadan permintaannyaajaib itu kembali terngiang-ngiang di telingaku,aku tak tahu mengapa ibu ingin kembali kerumah ini?

setelah bertahun-tahun meninggalkannya, adakah kenangan bisa membuat seseoarang bahagia,ibu akan ditimbun kesunyian disini.Harusnya dia tetap bersama kami dijakarta,bukan meminta pulang dan menghabiskan sisa usia kesunyian yang panjang”ibu dilahirkan dirumah itu juga,juga kakekmu,dan kakek buyutmu dan saudara-saudara ibu yang lain.Bila rumah itu sampai terjual dan berpindah tangan ibu tak akan hidup tenang.

Begitu alasan ibu ketika aku bertanya,dan aku dibuat senyap olehnya...

Memang seperti itu adanya.Rumah ini adalah limas turun menurun dari keluarga ibu,dibangun oleh kakek buyutnya,dinding dan kayu-kayunya terasa tua tapi setia,seperti ibu yang bersetia dari kenangan masa lalu

Sudah beberapa tahun terakhir rumah ini terlantar,harusnya wak safar(kakak ibu, saudara laki-laki satu-satunya) yang merawat rumah ini,bukankah begitu yang tersurat kepercayaan orang kampung kami?

Anak laki-laki yang mewarisi semua harta kekayaan peninggalan orang tua,termasuk rumah limas yang jadi symbol sebuah keluarga,tapi uwak safar tak berdaya,dia terlilit hutang,demikian banyak lantaran ulah nakal beberapa anak laki-lakinya yang gila berjudi an terjerat rentenir habis terjual,kebun-kebun duku,durian,sapi,kerbau,motor,perhiasan,dan terakhir rumah ini terancam pindah tangan.

“Tebuslah rumah itu dik,ibu mohon ibu tidak akan meminta apapun padamu,hanya itu,”mata ibuperlahan basah dan berkaca-kaca saat mengucapkan permintaannya,seperti ada kaca rapuh  didalam vety,lalu pecah berhamburan,

Aku tak tahu harus bagaimana,ibu begitu setia dan cinta pada rumah ini. Dia ingin merawatnya,seperti merawat kenangan yang tertempel disetiap penjuruannya,ibu memang begitu,setiap kami mudik lebaran dan bermalaman dirumah ini,dia tidak akan bosan-bosannya bercerita tentang masa kecilnya,masa gadisnya,dan ketika ia menikah,lalu perlahan meninggalkan rumah ini,mengikuti ayah merantau kejakarta.

“Pohon jambu air didepan itu ibu yang menanam saat masih gadis “tunjuk ibu pada sebatang pohon jambu air yang buahnya merah manis.selalu lebat setiap tahun,didekat pagar depan kiri kanan pintu gerbang,bergerombolan batang-batangkembang sepatu,mawar,dan beberapa bunga yang aku sendiri tiadak tahu namanya,berdesak-desakan tetapi seolah-olah paham untuk berbagi tempat dan kehangatan,dipojok pagar paling kanan,pohon jambu air itu tumbuh dengan rimbun,dahan-dahannya rajin dipangkas,kata ibu,jambu air akan berbuah lebat jika knopinya rajin dirapikan.

“bagi ibu rumah ini adalah sebagian dari dirinya,hidupnya setiap jengkalnya merekam semua tentang dia,cinta kerinduan,kebahagiaan,bahkan kesepian dan kegalauan yang perlahan-lahan menggoritinya akhir-akhir ini.

“ibu yakin ingin menebus rumah itu?”dan aku menatap lekat-lekah wajahnya,mata ibu semakain berkaca-kaca aku paham dengan isi kepalaku saat ini,seperti yang kami pahami bersama,tak seharusnya anak perempuan yang menjaga rumah limas,menghidupkan garis keluarga,,,tak seharusnya,tapi,,,ibu,,,,

“ibu yakin,,,”desisnya terdengar gamang,bergetar,tapi ingin terdengar begitu mantap,aku menghela nafas lagi,,

Tekat ibu benr-benar bulat dan aku tak kuasa untuk menolaknya,atas desakan ibu,aku minta cuti,dari kantor dan menemui uwak safar yang sudah dipindah ke prabumulih.ternyata dia sudah membuang dirinya lantaran malu karena harta bendanya habis bahkan ruamah leluhur satu-satunya terancam hilang.

“ibumu yakin ingin menebus rumah itu?”suara uwak safar terdengar gemetar,jelas sekali kegalauan menyatapi tiap jengkal wajahnya,akupun paham dengan isi kepala uwak safar,ini bukan hal yang lumrah,pasti orang-orang akan mencibir wak safar,dia akan dianggap anak laki-laki yang tak berguna,tak bisa meneruskan garis leluhurnya,dan pastinya wak safar akan benar-benar terbuang setelah ini,dia tak akan mau lagi menjejakan kakinya dikampung kami,apalagi menyetor wajah-wajahnya pada orang-orang disana,,,,

“ibu yakin,wak,,”aku tak sanggup menatap mata wak safar yang dipenuhi kuncup-kuncup basah,hatinya pasti perih,tapi tak berdaya ,,”ibu tak iklas jika rumah ini sampai berpindah tangan yang bukan dari keturunan kita,,,uwak safar menganggu-angguk kepalanya

“”kata ibu”suaraku melirih “berapa yang harus bayar ke uwak?

Uwak safar mengangkat wajah tuanya dan aku tak menduga sama sekali ketika sepasang air mata meluncur jatuh dilandai pipinya yang sudah mengeriput,tergesa-gesa dia menghapus air mata itu dengan telapak tangannya,aku jadi serba salah,,

“Tak usah ,,wak sudah bersyukur jika ruamh itu jatuh ketanganmu,bukn ketangan orang lain,menebusnya juga tak murah,,

Aku makin terdiam,rasanya aku ingin memeluk uwak safar dengan erat,menguatkan hatinya yang terluka,tapi aku justru bergeming,aku bingung harus berbuat apa,melihat sosoknya yang makin ringgih,aku jadi teringat almarhum ayah,seharusnya dimasa itu wak safar dia bisa hidup bahagia dengan istri,anak menantu dan cucu-cucunya,menghabiskan sisa usia tanpa memikirkan hidup yang ruwet,

Aku membuka tas,mengeluarkan selembar surat berpindah tangannya rumah itu dari wak safar dan ahli warisnya kepada ibu dan aku,adapula surat yang sudah kusiapkan untuk ditanda tangani surat diatas materai,agar tak terjadi hal yang diinginkan,

“tolong ditanda tanganin ,wak,””kusodorkan surat itu depan wak safar,aku juga membukakan pulpen bertinta hitam untuknya,tangan wak safar terlihat gemetar saat menggerakkan jemari,membubuhkan tanda tangan diatas namanya,tapidia tetapberusaha tersenyum ketika mengembalikan surat itu padaku,

Kembali hening,danaku tak kuasa untuk berkata apa-apa sampai berpamitan padanya selain ucapan,

Saya pulang wak,jaga kesehtan,dia mengangguk,kutinggalkan saja sebuah amplop yang sudah kusiapkan sejak dari Jakarta,wak safar berusaha menolaknya,tapi aku tak mengubris,aku bergegaspergi dan hatiku tersa basah,,

“Abang yakin izinkan ibu pulang dan tinggal dirumah itu?tanya istriku,,Aku memandangnya dan menganggukkan kepala

“sendiri?”

“dengan siapa lagi?kita?aku balik bertanya

“Tapi ibu sudah tua,bang,”istriku meletakkan majalah langganannya,dia menarik punggungnya dari sandaran ranjang dan menatapku yang berbaring disebelahnya,kututup buku yang sedang kubaca,menatapnya lama,,,

“Rayu ibu agar mengurungkan istrinya,pinta uwaksafar kembali kekampung dan menunggu rumah itu,aku gak tega membayangkan ibu sendiri disana.”

“masak iya,abangtega suruh ibu tinggal sendiri,”istriku merengut,

Aku terdiam,hentilah,kita bicarakan denagn ibu lagi,,’”mataku kembali menekuni halaman buku yang ku baca,sesungguhnya aku tak bisa konsenterasi,,pikiranku berkecamuk,antar ingin menurutipermintaan ibu dan mendengarkan ucapan istriku,

Keinginan ibu untuk pulang kampung dan menjaga rumah limas keluhurnya benar-benar tak bisa digoyahkan,,,segala cara sudah aku lakukan,pun istriku,termasuk memintanya untuk merayu uwak safar kembali kekampung kami,dia memang melakukan itu,dia memang ingin wak safar yang menunggunya seperti yang lumrahnya terjadi,tapi wak safar tak ingin,dia tak bisa ,aku tahu wak safar punya harga diri dia pasti merasa malu pada ibu,

Akhirnya memang tak ada pilihan ibu ingin pulang merawat rumah itu,merawat kenangan,dan kehormatan leluhurnya,sejauh apapun kura-kura lautan,dia akan kembali kepantai dilahirkan itu,yang ibu ucapkan pada ku,dan aku senyap....

“ibu ingin menutup mata selamanya disana,desis ibu.aku tertunduk,Tak pa-apa,ada laila cucu bang safar yang sudah smp itu,ada juga fajar yang sudah sma ibu akan baik-baik saja disana,jangan tinggalkan pekerjaanmu dijakarta,anak istrimu butuh masa depan,istrimu tidak mungkin juga meninggalkan kerjanya.

Ibu seolah paham dengan kegalauan kami,aku mengangguk,dan disinilah aku,istriku,ibu,laila dan fajar,diteras rumah limas leluhur ibu,didepan daunpintu yang terbuat dari kayu jati,kini tertegun,dengan tiba-tiba kami tercekam oleh rasa sepi yang dalam bercampur dengan rasa sedih dan haru,lalu ibu mendorong daun pintu dari kayu jati itu,terdengar derit enselnya yang berkarat,menyayat telinga pilu,dan kulihat mata ibu berkaca-kaca saat ruang tengah rumah ini  menyambutnya pulang,diruang tengah ini,aku seperti melihat ibu dari tahun tahun yang dikisahkannya,lalu jarum jam tua dengan bandul yang terus bergerak kekiri kekanan secara teratur itu,seperti kenangan using yang terus bercerita.

Ibu menatapku,kuncup-kuncup air mata pecah diretina matanya,,merembes,dan jatuh perlahan dilandai pipinya yang keriput,aku tahu ibu bahagia.walaupun seelah ini orang-orang akan menguraikan cerita buruk tentangnya yang mengambil alih rumah leluhur,tentang kakak laki-lakinya yang tak becus menghidupkan garis keterunan leluhur mereka,tentang semua hal yang tak lumrah,,tapi ibu tetap tersenyum padaku..

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun