Mohon tunggu...
Dian Andi Nur Aziz
Dian Andi Nur Aziz Mohon Tunggu... Penulis - Menulis Lagi

Karena pelupa maka ditulis.

Selanjutnya

Tutup

Financial Pilihan

Bang Jul Si Tukang Sayur dan Kepanikan Belanja

30 Juni 2020   23:47 Diperbarui: 30 Juni 2020   23:44 333
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(KOMPAS.com/Anggita Muslimah)

Warung Bang Jul menjadi langganan Ibu Mertua saya selama-bertahun-tahun. Sebagian besar kebutuhan lauk pauk dan sayur mayur dipenuhi oleh Bang Jul. Tetangga-tetangga Kami juga menjadi langganan di warung sayur berukuran 3X3 meter itu.

Sekitar jam 6 pagi biasanya Ibu berjalan kaki menyambangi warung yang berjarak kurang lebih dari 3 kali panjang lapangan bola ini. Namun, memasuki masa Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) akibat wabah virus korona, kebiasaan Ibu Mertua berubah. Ibu lebih sering menelepon Bang Jul untuk memesan sayuran. Kadang cukup dengan mengirim pesan singkat.

Presiden Jokowi mulai mengumumkan 2 pasie pertama covid-19 pada awal Maret 2020. Kami menduga-duga keputusan yang akan diambil oleh Pemerintah. Banyak cara untuk memutus rantai penyebaran virus ini.

Kami menyaksikan siaran-siaran berita di televisi cara-cara di negara lain mengatasi pandemi korona ini. Kisah-kisah pelaksanaan penguncian kota yang diberitakan di televisi Oleh karena itu, Ibu Mertua Kembali membayangkan kemungkinan krisis ekonomi 1998 terjadi kembali di masa pandemi korona ini.

Setiap hari siaran televisi menyajikan debat tentang penanganan virus korona. Narasumber yang pro dengan usulan penguncian wilayah (lockdown) sama kerasnya dengan kelompok pro kebijakan yang "lebih longgar". Kelompok pertama lebih mempertimbangkan kesehatan sementara kelompok lainnya memasukan pertimbangan memburuknya ekonomi. Pemerintah akhirnya lebih memilih PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar).

Dampak PSBB

Kami belum memiliki gambaran apa itu PSBB itu. Kami hanya membayangkan pusat-pusat perbelanjaan dan toko-toko akan dibatasi jam operasinya. Dan, masyarakat diminta tetap dirumah seperti di negara-negara lain yang sering ditayangkan di siaran televisi. Bila perlu mungkin disertasi sanksi bagi yang melanggar.

Kebijakan PSBB berakibat langsung pada penurunan pendapatan masyarakat. Pelanggan toko pakaian milik Ibu Mertua terkena imbasnya. Kalau pun tetap buka tidak cukup untuk membayar gaji karyawan dan ongkos operasional toko. Jumlah pelanggan menurun drastis karena karena banyak karyawan dirumahkan disertai pemotongan gaji. Sebagian bahkan di PHK karena produksi berhenti.

Ketika Provinsi DKI Jakarta mulai memutuskan penerapan PSBB Ibu Mertua yang tinggal di Bogor ini mulai khawatir. Tidak dengan kata-kata, kekhawatiran beliau ditunjukkan dengan perintah kepada kepada anak perempuannya yang tinggal serumah.

"Nak, beli beras lagi," perintah Ibu.

"Ya, Mah. Berapa?"

"Dua karung," jawab Ibu.

Padahal, satu karung beras beratnya 10 kilogram.

Selang sehari Ibu bertanya, "Minyak goreng masih ada?

"Masih 1 botol, Mah."

"Beli lagi, ya. Tiga botol. Beras juga beli lagi," detik-detik Ibu mulai menyetok sembako.

"Mah, itu kemarin udah beli 2 karung, satu karung lagi masih ada di bagasi mobil."

Ibu juga mengingatkan kami untuk menambah telur. Padahal rak telur di kulkas masih penuh.

Kekhawatiran akan terjadi kelangkaan barang-barang jelas ada di benak ibu. Kami menyaksikan di berita televisi bagaimana langkanya masker bedah di awal-awal virus Covid19 masuk Indonesia. Kalaupun ada harganya melangit. Kami sendiri membuktikan masker dan hand sanitizer habis di seluruh mini market dan apotek di lingkungan kami. Bahkan, cairan pemutih ikut-ikutan habis. Orang-orang mencari cairan pemutih sebagai pengganti cairan disinfektan.

Kepanikan Belanja

Ibu Mertua kami adalah saksi hidup bagaimana prihatinya kehidupan di kala krisis moneter 1998. Wajar saja Ibu Kembali mengalami ketakutan dan kekhawatiran akan kembalinya krisis di musim korona ini. Termasuk kekhawatiran langkanya bahan makanan. Naluri seorang Ibu menunjukkan, apapun kondisinya, yang penting keluarganya tetap bisa makan.

Bayangan atas kelangkaan barang ini menyebabkan munculnya kepanikan belanja (Arafat, et.al, 2000). Perilaku Ibu Mertua lebih karena kekhawatiran hilangnya bahan makan akibat pandemic korona ini. Ibu mertua memiliki persepsi kelangkaan beras, telor, minyak goreng dan bahan makan lain. Oleh karena ini di awal-awal pandemi Covid19 ini Ibu cenderung menumpuk bahan makanan.

Menurut Wilson V, dkk. (2003) kepanikan belanja adalah insting manusia untuk bertahan karena takut mati. Ibu berupaya mencukupi persediaan bahan makanan untuk 3 bulan ke depan. Ibu juga berkali-kali menelpon salah satu anaknya yang ada di sebuah kampung di Jawa Tengah untuk membeli telur dan beras lebih banyak dari biasanya. Bagi Ibu kami harus siap dan tetap bisa makan bila keadaan makin memburuk.

Sebenarnya yang dilakukan oleh Ibu Mertua bukan kategori belanja impulsif yang hanya untuk kesenangan. Bukan pula perilaku menimbun barang untuk mencari keuntungan besar dalam waktu singkat di atas kesengsaraan orang lain seperti pelaku penimbunan masker bedah.

Bang Jul

Beberapa minggu setelah Kabupaten Bogor juga ikut menerapkan PSBB, kekhawatiran Ibu tidak terbukti. Ketersediaan sembako dan makanan di pasar tetap terjaga. Bang Jul tetap mampu mengantarkan pesanan sayur mayur dan sembako ke rumah Ibu. Meski ada beberapa barang yang mengalami kenaikan harga, namun masih dalam tingkatan wajar. Apalagi pandemi Covid19 ini terjadi bersamaan di bulan Ramadhan.

Bang Jul Si Tukang Sayur ini membuktikan secara langsung bahwa tidak terjadi kelangkaan bahan makanan di pasar. Bahkan menu jualan yang tidak biasa tersedia di warungnya seperti daging, Bang Jul siap menyediakan. Bang Jul menyediakan diri mencarikannya di pasar dan akan diantarkan esoknya. Kami menghindari keluar rumah termasuk ke pasar mengikuti anjuran Pemerintah.

Melalui Bang Jul si Tukang Sayur berangsur-angsur bayangkan Ibu Mertua akan kelangkaan bahan makanan mulai hilang. Melalui Bang Jul membuktikan meskipun PSBB tidak terjadi kelangkaan sembako. Bang Jul secara tidak langsung memaksa Ibu Mertua cerdas berperilaku saat pandemi Covid19 ini.

Kita percaya percaya Pemerintah mampu mengatasi stabilitas sistem keuangan bila kita turut menjaga cerdas berperilaku. Caranya sangat mudah. Cukup bersikap tenang dan rasional. Ketika semua orang mengalami kepanikan belanja maka bukan kita aman tapi sebaliknya potensi krisis makin besar. Stabilitas harga dan ketersediaan barang sehari-hari makin memburuk.

Ada beberapa orang yang bertanya apa salahnya memborong barang? Toh, pakai duit sendiri, bukan hasil korupsi? Beberapa yang lain mengatakan boleh-boleh saja memborong barang asalkan bukan ditimbun untuk dijual dengan harga tinggi. Tentu ini pendapat keliru.

Ketika semua orang memborong barang-barang dalam waktu singkat maka terjadi ketidakseimbangan antara pasokan dan permintaan. Barang-barang makin langka, harga merangkak naik. Di sinilah spekulan memanfaatkan peluang. Pelaku kejahatan penimbunan mulai melakukan aksi.

Kepanikan belanja adalah perilaku kolektif. Orang akan ikut-ikutan panik hanya karena melihat orang lain panik. Bukan karena alasan rasional. Maka inflasi semakin meningkat. Nilai uang menurun.

Bila fenomena ini menyebar maka akan muncul efek domino. Tabungan dan investasi akan ditarik secara besar-besar untuk berbelanja secara besar-besaran. Sebagian menarik simpanan rupiahnya di bank untuk membeli mata uang dolar karena nilai kurs terhadap rupiah terus naik.

Dampak akhirnya adalah ketidakpercayaan pada ekonomi kita. Bahkan bisa muncul ketidakpercayaan pada bank. Padahal saat ini sudah ada Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). LPS adalah salah satu Lembaga yang menjaga stabilitas sistem keuangan Bersama Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Bersama Kementerian Keuangan, lembaga-lembaga inilah yang menjamin makroprudensial aman terjaga.

Transparansi Informasi

 Kepanikan dalam situasi wabah Covid19 seperti sekarang ini bisa makin meningkat bila tidak ada kejelasan informasi keadaan sebenarnya. Dalam studinya Cheng (2004) menunjukkan bahwa orang menjadi panik karena curiga ada informasi yang disembunyikan.

Peran pemerintah begitu sentral dalam soal informasi. Informasi perlu disampaikan secara proporsional. Tidak melebih-lebihkan tetapi juga tidak menganggap enteng. Melebih-lebihkan dari kondisi sebenarnya akan membuat masyarakat semakin ketakutan. Tetapi informasi yang menganggap enteng juga membuat korban nyawa akibat virus Covid19 makin meningkat. Ketakutan dan kecemasan tentu akan meningkatkan kepanikan belanja.

Bila pemerintah mengatakan bahwa ketersediaan beras mencukupi maka tentu bisa mengurangi hasrat masyarakat menimbun beras. Tentunya informasi ini harus dibuktikan di pasaran memang tersedia dan mudah didapat. Karena bila barang tersedia akan menimbulkan kecemasan dan ketakutan. Efeknya akan muncul kepanikan belanja kembali.

Bagi Ibu Mertua, Bang Jul menjadi menjadi pengamat langsung kondisi ketersediaan sembako di pasar. Ibu tenang ketika setiap pesanan sayur dipenuhi dan diantar Bang Jul ke rumah. Ibu tidak lagi perlu menumpuk beras dan sembako lainnya. Di pasaran stok beras terbukti aman terjaga dengan harga relatif stabil. Saat ini, tidak tukang sayur keliling juga sudah normal berjualan dan hadir setiap pagi di lingkungan kami. Tentu dengan tetap menjaga jarak dan memakai masker.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun