1. Unggah-ungguh Bahasa JawaÂ
Unggah-ungugah bahasa Jawa adalah seperangkat kaidah yang digunakan oleh pengguna bahasa Jawa untuk saling menghargai atau menghormati orang lain dalam berbahasa, yang tercermin dalam sikap atau tingkah laku dalam tuturan, dalam pembentukan kata-kata dan bahasa lisan (Andayani dalam Sulaksono, 2016). Unggah-ungguh bahasa Jawa dapat diuraikan lagi menjadi 4 jenis, diantaranya:
a. Ngoko Lugu, yaitu dalam kalimatnya semua menggunakan kata-kata ngoko. Ngoko lugu digunakan untuk berbicara dengan teman sebaya atau teman yang sudah akrab, ketika sedang berbicara dalam hati, digunakan oleh orang yang lebih tua ketika berbicara dengan yang orang yang lebih muda, dan digunakan oleh orang yang memiliki jabatan tinggi ketika berbicara dengan yang jabatannya di bawahnya.
Contoh:
Kowe mengko arep tuku apa?
'Kamu nanti akan beli apa?'
b. Ngoko Alus, yaitu dalam kalimatnya terdapat kata-kata yang menggunakan/campur dengan karma inggil. Dalam penggunaannya, kata yang diubah ke karma inggil yaitu kata ganti dan kata kerjanya. Ngoko alus digunakan oleh orang yang lebih tua ketika berbicara dengan yang orang yang lebih muda karena yang lebih tua masih menghargai yang lebih muda, berbicara dengan teman sebaya namun masih menghargai lawan bicaranya, dan membicarakan orang lain yang masih dihormati.
Contoh:
Mbak, mengko klambine paringna Rani.
'Mbak, nanti bajunya berikan ke Rani.
terdapat kata kerja yang menggunakan karma inggil yaitu paring 'memberi'.
c. Krama Lugu, yaitu ragam karma yang tingkat kehalusannya di bawah karma inggil. Dalam praktiknya digunakan untuk teman sebaya yang baru bertemu atau belum akrab, orang yang lebih tua kepada orang yang lebih muda tetapi belum akrab, dan digunakan kepada orang yang baru kenal.
Contoh:
Mas, reginipun buku punika pinten?
'Mas, harga buku ini berapa?'
d. Krama Alus, yaitu ragam karma yang semua kata dalam kalimatnya menggunakan krama inggil dan tingkat kehalusannya tinggi. Krama alus digunakan ketika orang yang lebih muda berbicara dengan orang yang lebih tua dan orang yang jabatan atau statusnya lebih rendah kepada orang diatasnya.
Contoh:
Simbah tindak pasar nitih becak.
'Simbah pergi ke pasar naik becak.'
2. Bahasa Kawi
Bahasa kawi atau bahasa rinengga berasal dari kata rengga yang artinya dihias. Bahasa Kawi biasa digunakan pada sastra-satra karena untuk menunjang keindahan bahasa. Sehingga bahasa ini banyak digunakan dalam karya sastra, pedhalangan, panyandra, dan sebagainya (Sulaksono, 2016).
Contoh:
karna 'telinga' ; bintulu 'biru' ; rekta 'merah' ; dan sebagainya.
3. Bahasa Bagongan
Bahasa Bagongan digunakan dikalangan Kraton Surakarta, Yogyakarta, dan orang-orang di sekitar daerah tersebut, bahasa ini disebut juga bahasa kedhaton. Bahasa Bagongan termasuk dalam golongan bahasa Jawa baku (Poedjasoedarma dalam Sulaksono, 2016).
4. Krama Desa
Krama desa dengan karma sering kali dianggap sama, bahasa ini banyak digunakan di pedesaan atau pegunungan sehingga dianggap sama degan bahasa krama. Krama desa disebut bahasa yang berlebihan karena sudah berbentuk krama masih dikramakan lagi.
Contoh:
krama: nama 'nama' dikramakan lagi menjadi nami (krama desa)
krama: mekaten 'begini' dikramakan lagi menjadi ngeten (krama desa)
krama: sepuh 'tua' dikramakan lagi menjadi sepah (krama desa)
Referensi: Sulaksono, Djoko. (2016). Seputar Budaya Jawa. Surakarta: Cakra Books.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H