Mohon tunggu...
Dian agashie
Dian agashie Mohon Tunggu... Lainnya - ibu rumah tangga

hobi menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tali Penjerat

11 Agustus 2023   22:56 Diperbarui: 12 Agustus 2023   19:03 134
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Kata orang kalau lagi ditempat gelap pejamkan mata terlebih dahulu baru buka. Tapi tetap saja ruangan ini benar benar gelap. Susah untuk mencari setitik cahaya di sini.

"gimana udah ketemu belum?" Seiya bertanya padaku. Bagaimana benda ini bisa cepat kutemukan kalau ruangannya saja gelap seperti ini.

"belum. Susah. Sentermu mana?"

"ada di tas Alfa"

"terus Alfanya kemana?"

"ga tau!" jawab Seiya ketus. Dari nada suaranya saja bisa kupastikan dia lagi marahan sama Alfa. Kucoba tak peduli. Ku terus cari tali penjerat S berharap benda itu ada disekitar sini. 

"hei teman teman!! cepat kemari" Cindy memanggil. Ku coba meraba udara mencari tas punggung Seiya. Dapat. Ku raih tangan Seiya dan ku ajak dia ke tempat Cindy. Agak samar tubuh Cindy terlihat. Sekilas cahaya bulan masuk melalui jendela. Kini aku bisa melihat Cindy memakai sebuah kalung emas besar dengan liontin bulat yang juga besar.

"ngapain kamu pake kalung itu, Cin?" tanyaku. Cindy ini temanku yang paling suka accessories. Kalau ada accessories cantik dia pasti langsung nyoba pakai.

"yah biasalah. Kayak ga tahu aku aja. Lho. Kok kalungnya bergetar ya. Aduh sakit" Cindy segera melepaskan kalung tersebut. Cindy merasa leher dan tangannya kesakitan. Aku meraih tangan Cindy dan memeluk tangannya.

"kamu ga papa, Cin?" Cindy mengangguk

"hei, kawan, kalung ini berubah warna jadi hitam. Gimana kalau kita bawa ke rumah?" Tanya Seiya dengan mata berbinar senang. Bawa kalung besar yang bikin pemakainya menderita ke rumah? Sepertinya itu ide yang buruk.

"Engga engga. Aku ga mau. Lagian kita di sini kan mau cari tali penjerat S.Apa hubungannya sama kalung itu?"

"Seiya benar, Flow. Kita harus bawa kalung ini" Aku menengok Alfa yang sudah ada dibelakangku. Dia menyoroti kalung tersebut dengan senter ditangannya. Ruangan kini menjadi agak terang. Dan kalung tadi yang berubah hitam kini kembali ke warna semula.

"ini yang kita cari" tukas Alfa. Kami semua terkejut kecuali Seiya. Dia merasa senang karena Alfa ada dipihaknya.

"kalian bukannya lagi marahan ya?" tanyaku keheranan. Alfa dan Seiya mendadak saling membelakangi.

Bisa berada di gedung ini bukanlah keinginan kami. Tempat yang gelap. Lorong yang sempit. Sama sekali tidak pernah kepikiran mau ke tempat seperti itu. Hanya karena ibu sahabat kami Sonia sakit keras. Kami membantunya mencari penyembuhnya. Namun yang membuatku heran kenapa obatnya justru sebuah tali penjerat? Kan obat itu cuma ada tablet, kapsul dan sirup. Tali penjerat? Apa maksudnya?

"ibuku kena sihir bernama stress. Sejak ayahku meninggal dia jadi suka merenung dan tidak mau makan. Tapi jika pagi tiba ibuku justru berubah ceria. Dengan semangat dia menyiapkan sarapan untukku dan almarhum ayah. Lalu setiap pukul delapan pagi. Ibuku kembali merenung di kamarnya sampai keesokan harinya. Hal ini sudah berlangsung lama. Aku sudah coba bawa ibuku ke banyak psikiater. Semua obat dan saran dokter sudah ku coba. Tidak ada perubahan" Sonia menunduk sedih saat dia bercerita padaku.

Sampai suatu ketika saat aku dan Sonia tengah berjalan dia tersandung batu dan jatuh di kaki seorang pengemis.

"apa kau mau menyelamatkan ibumu, gadis kecil?" Sonia kaget juga bingung. Dia berdiri dan menatap mata si pengemis.

"carilah sebuah tali penjerat bernama S. Lalu kalungkan di leher ibumu" belum selesai informasi yang diberikan, si pengemis menghilan. Sonia merasa apa yang dikatakan pengemis adalah obat untuk ibunya. Soniapun segera sibuk menyiapkan diri mencari tali penjerat itu. Dia berusaha mencari informasi tambahan tentang kalung penjerat dan ya sekarang kami di sini di gedung paling gelap yang pernah kami singgahi.

"waktu kamu ikut bersamaku kamu ingatkan dia ngomong apa Flow. Dia bilang kalungkan di leher ibumu. Berarti ini kan benda yang dimaksud" Sonia memastikan ingatanku. Seingatku sih iya si pengemis bilang begitu. Tapi kalau kita bawa kalung ini pulang apa kita akan bisa keluar dengan selamat dari tempat ini?

"tapi sonia. Ini kalung aneh lho. Kalung ini sudah melukai leher Cindy. Bagaimana kalau justru melukai leher ibumu?" tanyaku. Sonia menggenggam kalung tersebut kuat. Sepertinya dia tak berniat melepaskannya.

Ku coba raih pundak Sonia hendak menenangkannya. Namun dengan cepat Sonia mengambil senter dari tangan Alfa dan membawa kalung itu pergi seorang diri. Aku panik. Aku melihat teman teman. Dengan cepat ku ambil tas Cindy dan ku raih handphone jadul milinya. Bersyukur handphonenya masih menyala. Sehingga ini bisa memudahkan kami mengejar Sonia.

"teman teman, kita susul sonia. Cepat!"

Dengan bekal senter dari handphone kecil milik Cindy kami susul Sonia yang entah ada dimana. Kami telusuri lorong demi lorong. Tak ada tanda keberadaan Sonia dimanapun. Yang kami temukan justru hilangnya anak tangga. Kami seperti berputar saja.

"tunggu dulu. Ini kita muter doang lho. Aku ga nemu tangga sama sekali. Kalau kita muter seharusnya kita sudah ketemu Sonia" terang Alfa. Seiya dan Cindy sadar. Mereka mulai ketakutan. Aku memutuskan untuk berhenti sejenak.

"duduk dulu di sini, teman teman. Aku cape" Kamipun duduk di lantai lorong. Saat kami duduk tiba tiba lantai retak. Kami berdiri panik. Saat akan melompat kami berempat justru jatuh ke bawah dengan cepat. Brug! Aduh pantatku sakit. Aku menyentuh bagian bawahku. Ini bukan lantai. Tapi semacam besi dingin. Saat kusentuh besi disekitarnya aku menemukan sebuah tombol besi. Ku coba tekan dan lampu menyala.

"abang Flowy, sudah setengah enam. Sholat shubuh dulu. Abang kok shubuhnya setengah enam mulu sih" aih, ternyata cuma mimpi. Aku mengucek mataku dan mencoba mengingat kembali mimpiku. Petualangan yang seru. Mencari sebuah benda demi menolong seseorang.

"abang mimpi tahu, bu. Seru gitu. Kayak nyari benda buat nolongin orang" ibuku yang sedang membuka jendela berbalik arah. Dia menyentuh kedua pipiku dan tersenyum gemas

"Itu cuma mimpi, sayangnya ibu. Sekarang lebih baik kamu tolong diri kamu sendiri. Kamu berjuang untuk memperbaiki kualitas diri kamu dihadapan Allah swt" aku tersenyum. Ya benar. Perjuangan sebenarnya adalah bangun shubuh tepat waktu. Melawan hawa nafsu dari terlena oleh bunga mimpi. Selamat berjuang kawan kawan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun