Mohon tunggu...
Diana F Singgih
Diana F Singgih Mohon Tunggu... Lainnya - baru belajar menulis

Pensiunan yang saat ini hobinya merajut dan traveling

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Antara Saya dan Simpanan/Investasi

13 September 2024   10:12 Diperbarui: 13 September 2024   10:24 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Tentang pengelolaan uang, dari jaman saya kecil sampai dewasa, yang selalu diajarkan oleh orang tua dan guru-guru adalah rajin menabung. Menabung di bank memang paling likuid, artinya paling mudah diambil ketika perlu. 

Waktu saya baru menikah saya meniru ibu saya menyimpan pengeluaran bulanan dalam amplop. Jadi ada amplop berisi uang belanja, amplop untuk gaji ART, untuk bensin, lalu setelah punya anak ada amplop untuk SPP, uang saku mingguan, dsb. Gaji dari suami langsung masuk terbagi-bagi dalam pos masing-masing. Jaman dulu bank belum banyak tersebar sampai di kampung, dan memang gaji juga diberikan berupa tunai. Jika sebelum gajian ada sisa uang dari bulan sebelumnya, maka itu yang ditabung. 

Kemajuan jaman dan literasi perencanaan keuangan berkembang dan menyebar, dan kita diajari bahwa menyisihkan uang untuk ditabung itu harusnya begitu terima gaji, bukan di akhir. Jadi sisa uang setelah ditabung itu yang harus dicukupkan untuk kebutuhan sehari-hari. Teorinya begitu. Kenyataannya? Sering kali yang sudah disisihkan di awal itu diambil lagi di akhir bulan untuk menutup kebutuhan sehari-hari sebelum terima gaji berikutnya.

Dana Pendidikan

Sadar bahwa biaya pendidikan itu besar, begitu punya anak saya sudah mulai menyisihkan untuk dana pendidikan. Dulu saya mengambil program tabungan dari CIMB, dulunya Bank Niaga. Seingat saya mereka adalah bank pertama yang punya fitur tabungan pendidikan, atau tapen. Kita tinggal mendaftarkan nama anak, lalu tiap bulan dana didebet otomatis dari rekening utama, yaitu rekening orang tuanya. Besarnya setoran perbulan bisa diubah sesuai kemampuan kita. Saya buat beberapa tapen untuk masing-masing jenjang pendidikan. Jadi untuk anak pertama ada tapen yang durasinya sampai dia lulus SD, dan 1  lagi yang akan cair saat dia lulus SMP. Begitu juga anak ke 2 dan 3. Yang rentang waktunya pendek saya masukkan angka setoran perbulannya lebih besar dari yang rentangnya lebih panjang. Setelah selesai 1 jenjang, saya buat lagi untuk jenjang lulus SMA. Biaya masuk kuliah sekian tahun lagi pasti membutuhkan dana yang jauh lebih besar.

Kami tidak sekaligus membuat program untuk semua jenjang karena mempertimbangkan besarnya dana yang harus disisihkan.

Ketika tiba waktunya anak lulus dan masuk ke jenjang yang lebih tinggi, dana simpanan tsb cair dan masuk ke rekening utama. Seingat saya dananya tidak pernah cukup untuk membayar uang gedung di sekolah lanjutan, tapi kekurangannya itu tidak terlalu besar dan dapat ditutup dengan tabungan kami. 

Selain itu anak-anak saya punya rekening Niaga Junior, yang kartu ATMnya baru saya kasih waktu mereka masuk SMP. Saldo rekening tsb selain dari kami orang tuanya, juga dari uang jajan mereka sendiri dan amplop-amplop Lebaran yang tiap tahun mereka terima dari kerabat. Saya ingat anak perempuan saya (yang sekarang sudah menikah) pernah cerita bangganya dia ketika di SMP menarik uang tunai di ATM untuk mentraktir teman-teman sekelasnya di Pizza Hut. Suatu privilege bagi anak SMP jaman itu pegang kartu ATM sendiri.

Investasi

Waktu anak-anak masih kecil, saya dan suami tidak bisa berinvestasi. Ingin sih berinvestasi seperti orang lain, punya properti untuk disewakan, punya bisnis sampingan, dll. Tapi apa daya gaji kami berdua tidak ada lebihnya. Mau meminjam di bank, takut tidak bisa melunasi lalu agunannya dilelang. Seingat saya dulu simpanan kami hanya berupa tabungan dan emas perhiasan hadiah dari ibu saya. Setelah kondisi keuangan lebih stabil kami menambah investasi dengan membeli logam mulia. Setiap terima bonus tahunan dari kantor kami belikan logam mulia. 

Sekarang ini banyak sekali instrumen investasi yang ada. Dari saham, reksa dana, obligasi, properti sampai kripto yang sampai sekarang belum masuk di pemahaman saya. 

Masing-masing individu punya profil resiko sendiri. Ada 3 profil yaitu konservatif, moderat dan agresif. Kita harus tahu profil kita sendiri sebelum mulai berinvestasi.  

Profil saya konservatif dan suami memasrahkan pada pilihan saya, jadi saya cari yang relatif aman seperti obligasi dan reksa dana. Tidak stres melihat fluktuasi IHSG dan harga saham di aplikasi investasi yang kita pakai.

Setiap tahunnya pemerintah menerbitkan obligasi dan sukuk. Bunganya cukup bagus, sekitar 6% per tahun. Yang sedang dalam masa penjualan adalah SBN Syariah SR021 dengan bunga 6,35% per tahun untuk tenor 3 tahun, dan bunga 6,45% per tahun untuk tenor 5 tahun. Saya belajar dari anak saya si milenial mengenai investasi di sukuk ini. Sekalian membantu pemerintah, mam, begitu sarannya. 

Anak-anak saya si milenial dan genZ berbeda. Mereka berani investasi di saham tapi selain itu mereka juga menyimpan di instrumen yang low risk. Mendengarkan mereka mengobrol tentang investasi di meja makan, senang rasanya. Mereka tidak hanya doyan jajan kekinian tapi juga sadar bahwa mereka harus menabung untuk hari tua.

Mudahnya mendapatkan informasi dan pengetahuan di jaman now harusnya membuat masyakat lebih pintar mengelola keuangannya. Tidak mudah tergiur keuntungan besar dalam waktu singkat harus menjadi pegangan supaya uang yang kita cari dengan susah payah itu tidak hilang begitu saja. Ingatlah bahwa pedoman high gain high risk itu nyata adanya.

 

Apa instrumen investasi favorit pembaca Kompasiana? 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun