Mendaki gunung dan sampai di tujuan itu seperti mengalahkan diri sendiri. Sepanjang pendakian terjal saya seperti memantrai diri untuk tidak menyerah. Karena benar seperti dikatakan Confucius, “It does not matter how slowly you go as long as you do not stop.”
Setelah makan malam yang disiapkan oleh porter, kami beristirahat dan berencana untuk naik ke summit (Puncak Triangulasi dan Puncak Kentengsongo) jam 3 pagi.
Tidur di tenda, kedinginan di dalam sleeping bag meskipun sudah mengenakan baju berlapis dari longjohn, celana panjang, sweater dan jaket ditambah kaos kaki wool, membuat tidur saya tidak nyenyak. Sebelum jam 3 saya sudah terbangun oleh suara-suara porter yang bersiap-siap mengantar rombongan naik ke puncak.
Pada akhirnya saya dan beberapa teman memutuskan tinggal di tenda. Kaki masih pegal dan kata porter akses ke puncak sama sulitnya seperti tanjakan sebelum Sabana 1. Jadilah hanya suami dan teman-teman alumninya yang muncak.
Jam 9 pagi setelah rombongan dari puncak sampai di tenda, kami bersiap-siap turun. Perjalanan turun tanjakan ratapan itu sama sulitnya dengan saat naik. Kalau tidak berhati-hati, tanah berpasir ini bisa menggelincirkan badan kita. Jadi kami harus ekstra hati-hati dengan berpegangan ke perdu-perdu di pinggir jalur, atau berpegangan ke porter kalau mereka ada di dekat kita. Satu langkah demi satu langkah, sampai akhirnya tiba di basecamp kembali. Alhamdulillah.
...