Cepatnya waktu berlalu! Scrolling foto di gallery ponsel, saya lihat lagi foto ini.
Setahun yang lalu, Agustus tanggal 10 tahun 2023, suami dan saya berangkat ke Solo. Kami berencana mendaki Gn Merbabu (3.145 mdpl) bersama teman-teman.
Grup pendakian kami berjumlah 12 orang. 5 orang teman-teman kuliah suami yang sudah kami kenal baik, 4 orang teman kantor suami yang kepingin ikut mendaki, terakhir adalah fotografer yang sudah kami kenal dan sudah pernah traveling bareng.
Sesuai kesepakatan, untuk trip ini PIC-nya adalah suami, dia menentukan hotel tempat menginap di Solo dan menyewa transportasi dari hotel ke titik pendakian, serta menyewa porter. Urusan transportasi menuju Solo dan pemesanan kamar hotel diurus masing-masing. Rombongan kami berasal dari Jakarta dan Surabaya.
Tanggal 11 Agustus setelah subuh kami sudah bersiap di lobi hotel. Hi-ace kapasitas 12 orang sudah siap di tempat parkir. Itinerary pendakian adalah: 8.30 start dari base camp di Selo, mendaki sampai sabana dan menginap di Sabana 1, tanggal 12 dini hari mendaki ke puncak, kembali ke kemah untuk sarapan, lanjut turun, menginap lagi di Solo (hotel bebas). Hari Minggu kembali ke rumah masing-masing.
Jalur pendakian Gn Merbabu ada banyak, bisa dari Magelang, dari Semarang, dan dari Boyolali. Masing-masing jalur punya tingkat kesulitan sendiri. Kami pilih lewat Selo, Boyolali, karena konon menurut sesama pendaki dan kami baca dari internet jalur ini paling landai, tapi konsekuensinya jarak tempuh paling panjang, 8 jam.
Kami pendaki senior, senior bukan karena pengalaman naik gunung tapi karena usia kami rata-rata sudah di atas 50 tahun. Kalau di marathon kami sudah masuk kategori Master. Selain itu di rombongan kami ada 1 perempuan yang sama sekali belum pernah naik gunung, jadi jalur Selo cocok buat profil kami.
Kendaraan sewa menurunkan kami di Basecamp Selo, lalu ada briefing sebentar oleh tour guide. Dari base camp ke Pos 1, perjalanan masih lumayan menyenangkan. Meski menanjak, banyak pohon di kiri kanan jalan setapak jadi panas matahari tidak terlalu terasa menyengat. Jalur pendakian tidak tertata seperti Gn. Papandayan dengan anak tangga dari batu. Di sini betul-betul setapak dari tanah yang sangat berdebu di musim kemarau. Sebagian dari kami mengenakan masker dan sebagian pakai buff.
Kami sampai di Pos 2 sekitar tengah hari dan porter sudah menyediakan nasi bungkus untuk makan siang kami. Oya, kami menyewa beberapa orang porter untuk membawakan dry bag dan carrier kami, mendirikan tenda di Sabana dan memasakkan hidangan makan malam dan sarapan besoknya. Maklumlah, pendaki senior!
Selepas Pos 2 jalan makin menanjak dan pepohonan berganti padang terjal. Panas matahari terasa sekali di sini, ditambah debu yang terbawa angin. Tidak nyaman jika kita berjalan di belakang pendaki lain. Jejak kaki mereka menerbangkan debu ke muka kita. Dan hari itu, meskipun bukan weekend, ternyata cukup banyak pendaki yang lalu lalang. Para pendaki yang turun nampak kulit mukanya gelap tertutup debu. Wah apakah muka kami seperti itu juga nanti?
Di Pos 3 kami beristirahat lagi. Pos 3 ini adalah dataran cukup luas dengan perdu-perdu edelweis dan sedikit pohon untuk berteduh para pendaki. Seorang kawan membagikan jeruk yang alhamdulillah nikmat sekali rasanya.
Next stop adalah Sabana 1 tempat kami menginap nanti malam. Porter yang menemani kami menginformasikan bahwa jarak tempuh tinggal sedikit lagi. Tinggal 2 tikungan lagi, bu, katanya. Ya pastinya, karena tikungan hanya ada 2, kiri dan kanan. Tapi berapa kali kita berbelok ke kiri dan ke kanan itu yang tidak dia sampaikan. Dan melihat arah telunjuknya menunjuk ke arah kemah kami berada, ciut rasa hati saya. Dari Pos 3 ke Sabana 1, kalau ditarik garis lurus hanya sekitar 600 meter, tapi elevasinya lebih dari 45 derajat.
Ya Allah...
Rasanya pengen nangis lihat tanjakan terjal di depan mata. Apa kabar lutut dan paru-paru perempuan 50+ tahun ini? Meski tanpa beban di punggung, berat sekali melangkahkan kaki di jalur berpasir. Beruntung punya suami yang pandai kasih semangat dan selalu sabar membantu saya naik.
Pantaslah tanjakan ini disebut tanjakan menangis atau tanjakan ratapan. Atau mungkin lebih tepat dinamakan tanjakan sumpah serapah? Karena perasaan saya berganti-ganti dari pengen nangis sampai pengen marah. Siapa yang bilang jalur Selo paling slow?
Alhamdulillah... Setelah berjalan lebih dari 6 jam, sekitar jam 15.30 saya dan suami sampai di Sabana 1. Sudah ada beberapa teman yang tiba lebih dulu dan duduk leyeh-leyeh di depan tenda sambil minum teh. Kemah untuk tidur sudah tegak dan ada 1 tenda khusus untuk duduk dan bersantai.
Apa sih yang dicari para pendaki? Saya suka berada di alam, di danau yang sepi, di hutan yang dihiasi suara-suara serangga, tapi berpikir panjang sekali sebelum akhirnya memutuskan ikut mendaki gunung berjam-jam, nafas ngos-ngos-an, badan berkeringat dan kaki pegal, lalu tidur meringkuk kedinginan di dalam sleeping bag, belum lagi kalau mau ke toilet harus menggali tanah. Sebagian besar gunung di Indonesia belum lengkap fasilitas umumnya.
Lalu apa yang membuat perempuan setengah abad yang suka kenyamanan ini capek-capek naik gunung? Ini salah satu yang membuat saya mendaki. Edelweis.
Mendaki gunung dan sampai di tujuan itu seperti mengalahkan diri sendiri. Sepanjang pendakian terjal saya seperti memantrai diri untuk tidak menyerah. Karena benar seperti dikatakan Confucius, “It does not matter how slowly you go as long as you do not stop.”
Setelah makan malam yang disiapkan oleh porter, kami beristirahat dan berencana untuk naik ke summit (Puncak Triangulasi dan Puncak Kentengsongo) jam 3 pagi.
Tidur di tenda, kedinginan di dalam sleeping bag meskipun sudah mengenakan baju berlapis dari longjohn, celana panjang, sweater dan jaket ditambah kaos kaki wool, membuat tidur saya tidak nyenyak. Sebelum jam 3 saya sudah terbangun oleh suara-suara porter yang bersiap-siap mengantar rombongan naik ke puncak.
Pada akhirnya saya dan beberapa teman memutuskan tinggal di tenda. Kaki masih pegal dan kata porter akses ke puncak sama sulitnya seperti tanjakan sebelum Sabana 1. Jadilah hanya suami dan teman-teman alumninya yang muncak.
Jam 9 pagi setelah rombongan dari puncak sampai di tenda, kami bersiap-siap turun. Perjalanan turun tanjakan ratapan itu sama sulitnya dengan saat naik. Kalau tidak berhati-hati, tanah berpasir ini bisa menggelincirkan badan kita. Jadi kami harus ekstra hati-hati dengan berpegangan ke perdu-perdu di pinggir jalur, atau berpegangan ke porter kalau mereka ada di dekat kita. Satu langkah demi satu langkah, sampai akhirnya tiba di basecamp kembali. Alhamdulillah.
...
Aku memang bukan pendaki
Tapi setiap mencapai ketinggian sebuah gunung
Di mana angin lebih sejuk
dan langit lebih biru
Di mana malam lebih gelap
dan bintang-bintang lebih bersinar
Ditambah hamparan indah edelweis memuaskan jiwa
Tersungkur aku penuh rasa syukur
dan rasa takjub lagi dan lagi
atas kebesaran Sang Maha Agung, Allah Maha Pencipta.
(sepotong sajak Para Pendaki, yang saya tulis sepulang pendakian bulan Agustus 2023)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H