4 tahun yang lalu ibunya terkena stroke. Saat itu ibunya tinggal sendirian. Ayahnya sudah mendahului dan ibunya tidak mau pindah tinggal di rumah salah satu anaknya. Ibunya perempuan tua yang mandiri, masih menyupiri sendiri mobil kecilnya pergi ke arisan, atau ke kegiatan sosial, dan mengunjungi anak cucu. Sejak stroke yang membuat dirinya harus bergantung pada orang lain, Airin mengajak ibunya tinggal bersamanya, kebetulan rumahnya cukup besar dan sekota dengan ibunya jadi teman-teman ibunya masih bisa datang berkunjung jika mereka ingin. Dia bersyukur mendapatkan Nini, caregiver yang sabar dan telaten. Airin menyaksikan sendiri bagaimana kelumpuhan menjadikan ibunya menjadi ekstra temperamental. Nampak sulit bagi ibunya menerima kenyataan bahwa beliau tidak lagi bisa melakukan segala sesuatunya secara mandiri. Makan harus disuapi, mandi harus dibantu, karena sebelah sisi badannya lumpuh. Tahun-tahun pertama setelah stroke kemampuan komunikasi ibunya masih bagus, dan karena Nini yang selalu ada di sisinya, perempuan itu yang selalu kena omel. Dari tayangan tv yang tidak memuaskan, hawa yang panas, makanan yang kurang pas rasanya, dsb.Â
Beberapa bulan lalu ibunya terkena stroke yang kedua, mengakibatkan sulit berbicara dan fungsi organ dalamnya menurun drastis.
Barusan, Yanti istri Gurdo mengabari kecelakaan yang menimpa adiknya. Dia dalam perjalanan pulang dari pabrik tempatnya bekerja ketika ojol yang ditumpanginya ditabrak truk dari arah berlawanan. Istrinya mengabari Airin dari rumah sakit tempat Gurdo dilarikan untuk mendapat pertolongan pertama.
I b u
"Ibu..! Ibu..! ada yang menjerit memanggilku, jauh sekali terdengarnya. Aku kenal itu suara Airin tapi kenapa suaranya serak dan penuh tangis.
Aku membuka mata.
Ah di mana ini? Berkabut dan sejuk. Badanku terasa ringan. Aku memutar kepala ke arah suara Airin, dan ooh... siapa itu terbaring? Aku melihat Airin menangis, Nini juga.
"Ibu...," suara lain memanggilku, ada senyum di suara itu. Aku menoleh dan memandang anak bungsuku, permata hatiku. Mataku bersinar dan senyum lebar terbentuk di bibirku.
"Gurdo, ibu rindu kamu, nak." Air mataku mengalir memeluknya.
"Ayo bu.." Gurdo menyentuh lenganku. Tangannya sejuk. Aku bergerak mengikutinya tapi suara tangis menahanku.
Aku menundukkan kepala dan melihat badanku terbaring kaku di bawah sana, dikelilingi banyak orang. Ada pria berjas putih yang sibuk memeriksa dan memijat dadaku. Lalu dia mengusap wajahku.