Mohon tunggu...
Diana F Singgih
Diana F Singgih Mohon Tunggu... Lainnya - baru belajar menulis

Pensiunan yang saat ini hobinya merajut dan traveling

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ibu dan Airin

30 Juli 2024   16:18 Diperbarui: 30 Juli 2024   16:21 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Ariati?" lirih suaraku. Tenggorokanku sesak. Mataku buram oleh air mata. Tanganku menggapai. Kakiku berat!


"Latihan dulu ya Eyang, supaya kakinya tidak kaku," suara terapis muda menyingkirkan lamunanku.

Hari apa ini? Jam berapa? Pastinya siang karena terapis tidak akan datang malam hari. Tapi aku sudah tidak paham hari apa, bulan berapa. Memoriku makin buram seperti penglihatanku. Badanku tak pernah nyaman, selalu ada rasa sakit di salah satu bagian badanku. 

Aku benci sesi fisioterapi. Tapi Airin dan Nini (yang sudah merawatku sejak aku kena stroke beberapa tahun terakhir lalu) meyakini bahwa fisioterapi bisa memperbaiki postur badanku yang beberapa sendinya mulai bengkok. Terpaksa aku menuruti.

Mataku masih terpejam ketika ponsel Nini berdering dan kudengar suara Nini berbisik menjawab,

"Wa alaykumsalam. Eyang sedang tidur, non. Iya nanti kalau sudah bangun saya WA ke non ya."

Ah ternyata bukan yang kutunggu. Aku tak jadi membuka mata. Kecewa rasa hatiku. Kemana dia, kenapa lama sekali tak datang?

Aku dulu pernah belajar psikologi anak. Duh sulit sekali mengingat-ingat. Lintasan peristiwa dulu, kini, dan mungkin khayalan dan mimpi, bercampur baur di kepalaku. Tapi rasanya aku paham kalau anakmu lebih dari 1, kasih sayang ke anak itu harus adil, harus sama. Jangan sampai salah satu merasa ibunya lebih sayang ke saudaranya. Perasaan kurang disayang itu bisa berdampak pada kepercayaan dirinya dan membentuk kepribadiannya hingga dewasa. Tapi aku manusia, aku sayang ke semua anakku tapi somehow ada satu nama yang lebih terpatri. Mungkin karena dia bungsu. Di mataku dia tidak pernah salah. Tidak naik kelas waktu SD, aku pindahkan dia ke sekolah lain dan aku usahakan supaya dia naik kelas di sekolah yang baru. Hobinya otomotif waktu SMA, aku fasilitasi meskipun garasi jadi kotor dan berantakan, dan biaya reparasi kalau dia habis touring itu cukup besar. Akhirnya dia lulus kuliah meskipun molor dan nilainya ngepas. Aku lobby kawan yang punya perusahaan supaya si bungsu diterima kerja tanpa harus susah payah melewati segala macam seleksi dan interviu. Jika sebelum gajian dia mengeluh tak punya uang bensin, aku transfer. Suamiku sering komentar tak setuju karena treatmentku tsb membuat si anak tidak mandiri dan selalu bergantung, tapi karena aku bersikeras akhirnya suamiku mengijinkan. Dan berulang terus. Hingga suamiku meninggal dan aku tak lagi punya sandaran dan income.

A i r i n

Airin lemas. Dadanya sesak, badannya lunglai serasa tak bertulang. Air matanya mengucur tak terbendung. Terduduk di sofa, dia mencoba menata diri. Ponselnya tergeletak. Dia baru mendapat kabar buruk tentang Gurdo dan bingung bagaimana menyampaikan ke ibunya. Dia paham betul bagaimana cintanya sang ibu ke si bungsu. Ibunya tak bisa marah sesalah apapun si bungsu. Dan kejengkelan ibunya pada si bungsu biasanya terlampiaskan ke anak lain yang kebetulan sedang berada di dekatnya.

Sampai remaja, dia selalu jengkel kalau ibunya bersikap pilih kasih begitu. Tapi makin dewasa, banyak bergaul dan membaca, banyak datang ke kajian ilmu, apalagi setelah menikah dan punya anak sendiri, Airin mengerti. Dan dia belajar untuk tidak mengistimewakan salah satu anak. Setiap anak punya keistimewaan dan kekurangan masing-masing. Anak-anaknya diberi fasilitas yang sama, dari gadget atau kursus di luar sekolah, dimasukkan sekolah yang sama, mendapat tugas rumah tangga sesuai usianya, tak ada yang boleh menolak dan menawar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun