Sang surya bangkit dari ufuk timur, seperti muncul dari dalam samudera. Ombak yang tenang menambah keelokan pemandangan pantai. Daun kelapa melambai-lambai memberi semangat pagi. Para nelayan pergi berlaut menggunakan perahu. Aktivitas penduduk desa pun dimulai. Semua sibuk dengan pekerjaan masing – masing. Sedangkan aku, sebagai siswa harus pergi menuntut ilmu. Aku tidak berangkat sendirian, banyak teman yang menemaniku selama perjalanan ke sekolah. Beberapa tujuan mereka berbeda denganku, ada yang pergi menjual hasil tangkapan laut di pasar, bekerja mengolah terasi dan membuat garam, ada pun yang pergi sekolah sepertiku. Penduduk desaku tidak pernah melihat perbedaan satu sama lain.
Perjalanan menuju sekolah harus melewati banyak rintangan, seperti menyeberangi sungai menggunakan sampan, melewati sawah yang licin. Jarak dari rumah menuju sekolah lebih kurang tiga kilometer. Kami berangkat hanya beralaskan telapak kaki. Sepatu dan seragam kami jinjing agar tidak basah selama perjalanan. Sesampai di sekolah, aku melakukan rutinitas belajar seperti biasanya. Mata pelajaran yang sangat aku sukai adalah PKN. Dari situ aku bisa paham betapa pentingnya tanggung jawab dan toleransi terhadap sesama manusia.
“Kriing..!” Suara bel berbunyi. Jam pelajaran pun berakhir. Semua siswa meninggalkan sekolah. Aku selalu pulang terakhir. Ketika keadaan sekolah mulai sepi, aku mulai melangkahkan kaki keluar sekolah. Jika aku berangkat sekolah bersama, bukan berarti pulang sekolah juga bersama. Aku lebih suka pulang sekolah sendirian, karena aku ingin menikmati keindahan alam yang asri. Di tengah perjalanan aku berjumpa dengan seorang nenek tua renta yang hendak menyebrangi sungai. Beliau tampak kesusahan, aku pun datang menghampirinya.
“Siang, nek. Apakah nenek perlu bantuan?” Aku menawarkan bantuan kepada beliau dengan sopan.
“Ah, untungnya ada yang mau membantu. Nenek ingin menyeberangi sungai ini, tetapi tangan nenek tidak cukup kuat untuk mengayuh.” Jawab nenek tersebut.
“Biarkan saya yang mengayuhkan untuk nenek.” Kami pun berhasil menyeberangi sungai air payau yang sangat luas. Sesampai di pinggir sungai, kami turun. Beliau pun berterimakasih kepadaku.
“Terimakasih, nak. Kalau nenek boleh tau, siapa namamu?” Tanya nenek.
“Nama saya Jaka, nek.” Kami sempat mengobrol panjang lebar sembari melanjutkan perjalanan pulang. Sesampai di dekat pasar kami berpisah. Beliau pergi ke arah yang berlawanan denganku. Beberapa detik kemudian terdengar suara orang berteriak, “Tolong! Tolong! Tas saya dicopet!” Dengan pandangan tajam aku mencari siapa pencopetnya. Aku pun mengejar copet tersebut. Tidak kusangka aku berhasil menangkapnya. Ternyata, dia adalah adik kelasku. Aku terkejut bukan main.
“Mengapa kamu mencuri barang orang lain, Do?” Ia langsung pergi dengan mengabaikan pertanyaanku. Penduduk setempat aku cegah sebelum mereka menghabisi dia. Aku pun mengembalikan tas wanita tersebut. Aku merasa malu serta kecewa dengan adik kelasku sendiri. Bagaimana mungkin anak sebaik dia berbuat sedemikian? Aku tidak tinggal diam. Ingin kucari tahu apa penyebabnya. Aku yakin pasti ada sesuatu yang membuatnya melakukan hal buruk seperti ini.
Di keesokan harinya, aku mengikuti Edo seusai sekolah. Ia masuk ke dalam jalan yang begitu sempit untuk dilewati kendaraan. Aku bersembunyi setiap ia menengok ke belakang. Ia masuk ke dalam bangunan kecil seperti sebuah gudang di dekat sungai. Aku mengintipnya dari jendela. Di dalam ia dipukuli oleh dua orang preman karena ia tidak mau mencuri lagi. Aku ingin menolongnya tetapi itu bisa membahayakanku juga. Pada akhirnya aku pergi melapor kepada polisi terdekat. Tanpa menunggu lama mereka bergegas mengunjungi keberadaan kedua preman tersebut.
Preman – preman itu ditangkap oleh polisi. Mereka tidak sempat melarikan diri. “Kalian akan dijatuhi hukuman yang sangat berat karena sudah merampas hak orang lain dan melakukan kekerasan kepada seorang anak.” Ucap bapak polisi sembari menuntun mereka masuk ke dalam mobil. Aku melihat Edo yang kesakitan dengan luka di wajahnya. Sungguh keterlaluan. Aku segera memeluk dan menenangkannya. Bapak polisi berterimakasih atas keberanianku untuk melapor. Beliau memberiku imbalan uang. Awalnya aku menolak imbalan yang beliau berikan, tapi karena dipaksa, aku pun menerimanya.