Mohon tunggu...
Diana Arnita
Diana Arnita Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswa Akuntansi

Syukuri Jalani Nikmati

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Persaingan di Antara Asap Dupa

10 Desember 2020   17:45 Diperbarui: 10 Desember 2020   18:07 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Peristiwa yang terjadi pada awal Agustus 2006, di sebuah desa kecil bernama Desa Kembang. Saat itu kepala desa yang lama sudah habis masa jabatannya setelah dua periode menjabat sebagai kepala desa. Hingga pada akhirnya muncul niat beberapa orang untuk mencalonkan diri menjadi kepala desa.

Calon pertama Bapak Adi Wiguna seorang petani biasa yang mempunyai wibawa, arif bijaksana serta rendah hati. Calon kedua Bapak Arya Surada, seorang anak konglomerat didesa kami yang mempunyai banyak sawah, dan calon ketiga, Bapak Surya Abima, seseorang yang dikenal kaya didesa kami karena istrinya seorang guru sd.

Setelah semua calon mendaftarkan diri, tiba saatnya hari dimana mereka harus berkampanye. Berbagai cara mereka lakukan untuk merayu para warga agar memilih dirinya. Mulai dari membagikan uang, membagikan sembako, dan pendekatan-pendekatan lainnya. Seperti yang dilakukan Bapak Surya, beliau membagikan sembako dan uang kepada semua warga, termasuk kepada keluarga saya.

"Assalamu'allaikum...."
"Wa'allaykumussallam..." ibu membukakan pintu dan ternyata.
"Ini buk, saya kesini ingin memberikan sembako sama uang ini, mohon diterima ya buk, dan ibu sekeluarga jangan lupa milih pak Surya, dijamin deh buk desa kita ini bakalan makmur, sejahtera, aman dan bahagia." Kata seseorang, salah satu tim sukses pak Surya, sudah seperti petasan yang meletup-letup di kawinan orang betawi.
"Iya pak, terimakasih sembakonya." jawab ibu singkat.
"Yasudah buk kalau begitu kami pamit dulu, Assalamu'allaikum."
"Wa'allaykumussallam."

Ya seperti itulah cara mereka merayu warga agar memilihnya. Hampir semua orang yang ingin mencalonkan menjadi seorang pemimpin berpikiran bahwa para pengikutnya bisa dibeli dengan sebungkus sembako dan uang dalam amplop putih 20 ribu rupiah. Apakah Tuhan menciptakan manusia hanya untuk menjadi pengikut manusia lain dengan dibayar serendah itu.

Bbbbrrrraaakkkkkk....
"Astaga.!!!"
"Suara apa itu buk?" setelah aku buka pintu ternyata bapak yang pulang dari sawah menjatuhkan topi capingnya (topi yang terbuat dari bambu berbentuk kerucut). Dengan mimik wajah marah, beliau langsung duduk di lantai ubin rumah kami.
"Ada apa pak?" tanya ibu sembari duduk disamping bapak, sedangkan aku masih terpaku berdiri disamping pintu.
"Padahal saya cuma mau desa kita ini makmur, saya mengajak temen-temen untuk memilih Adi, tapi jawaban mereka malah membuat aku marah"
"Memang mereka jawab apa?"
"Mereka bilang kalau mereka butuh beras buat makan, butuh uang buat belanja, lha kalau milih Adi, mau jadi apa desa kita ini, cuma petani biasa kok mimpi jadi kepala desa."
"Iya, tadi orang-orangnya Surya juga kesini memberi sembako sama uang"
"Yasudah tidak papa yang penting kita tetep harus dukung Adi."

Ya begitulah obrolan kedua orangtuaku dan aku hanya bisa mendengarkannya, aku takut jika harus ikut menimpali, sedang aku tak begitu paham soal masalah itu.

"Dunia, kenapa harus seperti ini? Apakah uang sekarang sudah menjelma menjadi Tuhan yang berkuasa diatas segalanya? Kenapa harus kertas bertuliskan angka itu menjadi seorang gundik yang begitu menggoda setiap orang? Apakah dengan uang saja cukup untuk membeli semua kepastian akan kenyamanan dan kebahagiaan? Bukankah gara-gara uang orang bisa gila? Lalu dimana letak kebahagiaan dan kenyamanan itu?" gumanku lirih sembari menatap langit-langit atap rumahku yang sudah mulai menjadi istana laba-laba.

Keesokan harinya, saat aku bangun tidur, sudah terdengar umpatan-umpatan yang sungguh tak pantas disuarakan.
" Alahhh... cuma seorang petani biasa, harta gak punya, berani-beraninya nyalonin jadi kepala dusun, mau dikasih apa para warga, modal gak punya sok-sokan mau jadi kepala dusun, apalagi istrinya yang rupanya mirip kayu, emang pantas jadi istrinya kepala desa? "

Dan terlihat banyak orang berbondong-bondong menuju rumah si empunya celoteh kasar tadi. Ya memang, hari ini adalah hari penenangan, dimana semua bentuk kampanye harus dihentikan. Karena besuk adalah hari pemilihan.

Pada saat itu berhubung keluargaku adalah tim sukses dari kubu Bapak Adi, maka aku diajak ke rumah beliau untuk menyiapkan segala hal yang berhubungan dengan pemilihan kepala desa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun