Mohon tunggu...
Diana Apriani
Diana Apriani Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa fkip ppkn universitas pamulang

pantang menyerah

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Perlindungan Data Kependudukan dan Ketimpangan Layanan Publik

23 Juni 2021   11:50 Diperbarui: 23 Juni 2021   12:14 69
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Perlindungan data kependudukan yang buruk membuat warga tidak percaya pada sistem pemerintah. Ketidakpercayaan ini menurunkan partisipasi aktif warga, yang pada gilirannya menyebabkan ketimpangan dalam akses layanan publik. 

Kartu Keluarga (KK) yang salinannya jadi bungkus nasi itu adalah dokumen yang diterbitkan oleh Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) melalui kewenangan administrasi kependudukan (adminduk). 

Melalui sistem adminduk, pemerintah merekam dan mengelola data penduduk mulai lahir sampai mati, dan berbagai peristiwa penting dalam hidup mereka: kawin, cerai, adopsi, pindah, dan sebagainya. 

Sistem ini mengeluarkan dokumen identitas seperti Nomor Induk Kependudukan (NIK), Kartu Tanda Penduduk elektronik (e-KTP), akta kelahiran, akta perkawinan, dan akta kematian.

NIK diterbitkan begitu seseorang lahir atau diketahui ada dan diterakan dalam pelbagai dokumen. NIK terhubung dengan 33 elemen data yang tersimpan di dalam Sistem Informasi Administrasi Kependudukan (SIAK) Kemendagri, termasuk nama, nama orangtua, tempat dan tanggal lahir, alamat, serta biometrik iris mata dan sidik jari. 

Bagi warga, kepemilikan NIK dan dokumen identitas adalah pengakuan negara atas keberadaan seseorang dan dasar dikenalinya seseorang oleh layanan publik seperti kesehatan, pendidikan, bantuan sosial serta layanan komersial seperti telekomunikasi, niaga, perbankan, transportasi, dan asuransi. 

Data adminduk, misalnya, bisa disalahgunakan untuk mengajukan pinjaman, belanja daring, dan untuk melakukan doxxing (menyebarkan informasi sensitif seseorang seperti nama dan alamat tanpa izin). Oleh karena itu, NIK adalah data pribadi yang harus dilindungi kerahasiaan dan keamanannya. 

Sementara, bagi pemerintah, data adminduk adalah data dasar karakteristik penduduk yang dinamis. 

Data ini memberi informasi awal tentang kebutuhan, persebaran, dan sumber daya yang harus disiapkan. Misalnya, dari data kelahiran, pemerintah bisa memperkirakan kebutuhan layanan kesehatan ibu dan anak, termasuk imunisasi dasar.

Sayangnya, cakupan NIK dan dokumen identitas belum universal. 

Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2019 memperkirakan 4.8% atau sekitar lima juta penduduk Indonesia belum mendapatkan NIK.

Angka ini juga mencerminkan ketimpangan karena kebanyakan penduduk tanpa NIK berada di daerah timur Indonesia, seperti Nusa Tenggara Timur, Papua, dan Maluku. 

Selain itu, belasan juta anak Indonesia belum memiliki akta kelahiran, serta banyak perkawinan belum tercatat dan masih ada penduduk usia wajib KTP yang belum memiliki e-KTP. 

Penelitian kami menunjukkan situasi ini disebabkan antara lain oleh layanan adminduk yang masih sulit diakses sehingga butuh biaya untuk menjangkaunya, dan prosedur rumit yang dengan sendirinya menyisihkan kelompok-kelompok khusus. 

Di lain pihak, warga negara merasa manfaat memiliki dokumen identitas tidak langsung terasa sehingga mereka tidak aktif melaporkan peristiwa-peristiwa penting dalam hidup mereka pada pemerintah.

Melindungi data dan memelihara rasa percaya

Menurut kami, kejadian bocornya data berisiko meningkatkan keengganan warga mengurus dokumen identitas.

Padahal, ketimpangan NIK dan dokumen identitas hanya bisa diatasi jika layanan dan warga sama-sama aktif. 

Ketika pemerintah melakukan pendataan untuk e-KTP pada tahun 2011, warga negara secara sukarela datang dan memberikan persetujuannya kepada negara untuk merekam data biometriknya. 

Tidak ada keberatan publik saat itu; ini menegaskan mendesaknya tanggung jawab pemerintah untuk menjaga kepercayaan yang telah diberikan. 

Data-data yang warga laporkan adalah data rahasia, yang dilarang untuk disebarluaskan tanpa dasar dan tujuan yang tepat. 

Undang-Undang (UU) tentang adminduk mengatur bahwa data pribadi hanya bisa dimanfaatkan untuk perumusan kebijakan pemerintahan dan pembangunan dengan izin Kemendagri dan lembaga penyelenggara di bawahnya. 

Di tingkat internasional, ada beberapa prinsip, kerangka, serta aturan yang bisa menjadi rujukan bagi pemerintah. 

Salah satunya adalah penjabaran Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights atau ICCPR) yang telah diadopsi Indonesia pada 2005. 

Pelbagai aturan serta kerangka yang ada menggarisbawahi posisi negara sebagai pihak yang mendapat kepercayaan (consent) untuk menjadi pemelihara dan pengguna data pribadi (custodian). 

Sebagai custodian, negara wajib menjamin penggunaan data pribadi yang tepat dan rahasia sesuai kebutuhan publik dan individu pemilik data tersebut. 

Namun, hingga sekarang belum ada aturan turunan yang menjabarkan pelaksanaannya sementara Rancangan UU Perlindungan Data Pribadi juga belum rampung didiskusikan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun