Mohon tunggu...
Diana Lieur
Diana Lieur Mohon Tunggu... Administrasi - Cuma orang biasa

No matter what we breed; "We still are made of greed"

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Begini Jadinya jika Larut dalam Kebutuhan "Instastory" yang Menuntut

8 September 2019   11:09 Diperbarui: 8 September 2019   14:20 925
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : www.forbes.com

Menjadi negara peringkat tinggi dalam pengunaan Instagram secara aktif, membawa setidaknya satu, dua, bahkan lebih terhadap perubahaan yang dirasakan saat dulu dan sekarang (setelah adanya Instagram). Dan tidak dapat dipungkiri bahwa hadirnya Media sosial Instagram telah memberikan warna baru untuk masyarakat dunia. 

Yang mana hampir seluruh kebutuhan komunikasi digital mampu diwakilkan atau diborong sekaligus oleh aplikasi Instagram dengan berbagai fitur-fiturnya yang selalu update dan manarik.

Adalah Instastory, fitur yang paling menarik dalam Instagram ini sepertinya tidak perlu lagi dijelaskan fungsi dan cara penggunaannya. 

Sekilas memang tampak tak ada yang perlu direbetkan mengenai Instastory. Karena semua bisa menggunakannya kapanpun, dan di manapun asalkan kuota user mencukupi. Yaaa sesederhana itulah Instastory. 

Namun di balik fungsi dan kesederhanaannya, ternyata Instastory sendiri pun kerap kali mendapatkan posisi yang khusus di hati para penggunanya lho. Sama seperti makan 3 kali sehari, atau minimal mandi satu kali dalam sehari. 

Meski tak ada aturan tertulis atau jadwal dalam menentukan kapan dan berapa jumlah postingan yang perlu ditampilkan dalam Instastory, bagi para pengguna rutin Instastory pun sama, adalah sebuah kebutuhan untuk menampilkan setidaknya satu buah postingan di fitur Instastory miliknya, dan itu bersifat harus! Maka, begini jadinya jika seseorang hidup dalam kebutuhan Instastory yang menuntut:

Membandingkan diri sendiri dengan kehidupan orang lain

Sekilas memang tidak ada yang salah jika sesekali kita melirik kehidupan orang lain sebagai acuan utuk menjadi pribadi yang lebih baik, toh sebagian besar orang pasti pernah menjadi bahan perbadingan antara dirinya dengan orang lain, atau dibandingkan dengan anak tetangga yang lulusan dari Universitas Negri misalnya hehee. 

"Semua pasti terlihat bahagia di Instagram"

Kalimat di atas saya dapatkan dari teman saya ketika mampir ke Tempat Makan BBQ miliknya untuk pertama kali. Sambil sesekali membalikan daging yang saya panggang, dengan panjang lebar saya curhat di hadapan teman masa SMA yang sekarang sudah menjadi owner tersebut. 

Mulai dari curhat masalah waktu yang terasa singkat, usia yang semakin bertambah, ditambah semrautnya masalah pekerjaan di kantor, hingga pada saya mencoba membandingkan kehidupan saya dengan beberapa teman yang hidupnya terlihat bahagia dari sudut Instastory yang saya lihat. 

Dan di pertengahan obrolan kami, tiba-tiba ia mengatakan bahwa selama ia menjadi seorang owner pun tidak seperti apa yang banyak orang pikirkan ketika melihat Instastory miliknya. 

Ada kalanya bahan-bahan yang dipesan banyak ternyata tebuang sia-sia karena sepinya pelanggan, kecewa sudah pasti ia rasakan, namun hal itu tidak ditampilkan pada Instastory.

Bahkan sebaliknya, teman saya ini berpendapat bahwa sayalah yang lebih bahagia darinya, setiap hari libur selalu menyempatkan diri untuk memancing di belakang perumahan atau pergi ke tambak ikan. 

Dan mungkin saja sebagian besar dari orang yang mengenal saya berpendapat bahwa saya orang yang selalu bahagia, karena pada kenyataannya kita memang selalu berusaha untuk menjadi yang paling bahagia versi Instagram. 

Menampilkan senyum manis, kesejukan suasana, atau kebanggan adalah menjadi hal utama dalam kebutuhan Instastory yang menuntut. 

Maka itulah awal mula bagi kita yang sering membandingkan diri sendiri dengan kehidupan orang lain di Zaman now. Meski ada, namun agaknya jarang bagi kita untuk menemui hal-hal yang bersifat kesedihan pribadi si penggunanya dalam postingan Instastory.

Memberikan kecemasan yang tak ada habisnya

Masih berkaitan dengan pembahasan sebelumnya, bahwa hidup dalam kebutuhan Instastory pun akan memberikan kecemasan yang tak ada habisnya. Hal ini pun sempat saya rasakan beberapa waktu lalu. 

Ketika tak ada kebahagiaan sedikit pun yang bisa saya tampilkan dalam fitur Instastory milik saya. Tak seperti biasanya, saya mulai cemas, dan berpikir bahwa diri saya akan tampak menyedihkan sekali dalam dunia Instagram, wow. 

Padahal saya sendiri pun tak pernah beranggapan kepada salah satu dari sekian banyaknya teman saya di Instagram, bahwa ia memiliki kehidupan yang kurang bahagia sekalipun ia jarang memposting kebahagian di fitur instastory, dan hal itu bisa jadi yang akan mereka pikirkan terhadap saya ketika saya sama sekali tidak mampu menampilkan kebahagiaan di Instastory. Wah, hebat sekali Instastory ini dalam memainkan daya pikir seseorang ya.

Dan para pengguna Instagram pribadi pun mestinya tak bisa mengelak bahwa merekalah sutradara terhebat bagi diri mereka sendiri dalam Instagram. Mulai dari alur, dan visual-visual indah diciptakan untuk mendapatkan penilaian dari orang lain. 

Bahkan pribadi saya pun tak bisa menepis bahwa beberapa kali saya akan larut dalam narasi yang dibuat oleh para pelakon Instastory, sambil duduk menonton Instastory kalimat demi kalimat akan bermunculan.

Lalu, dengan sendirinya dalam pikiran saya, mungkin saja seperti ini bunyinya "Wah, enak banget ya jadi si X, masih muda udah umroh berkali-kali" atau "Wah, bahagia banget ya jadi si Y, baru nikah udah kebeli rumah yang ada kolam renangnya, gak kayak gw". 

Bagi saya pribadi adalah wajar ketika seseorang akan merasa cemas saat melihat kebahagiaan orang lain yang tak bisa ia rasakan pada saat itu. Karena pada hakikatnya manusia hidup untuk kebahagiaan, dan itu bersifat abstrak. 

Entah itu bahagia karena menjadi tekenal, bahagia keliling dunia, atau bahagia karena pulang membawa banyak ikan selepas memancing, karena bahagia memiliki versinya masing-masing dalam pikiran setiap orang. 

Dan seperti itulah kebahagiaan semata yang ditawarkan oleh semrautnya dunia maya, salah satunya Instagram. Adalah tampak bahagia di mata orang lain dalam instastory, padahal belum tentu kebahagiaan itu benar-benar dirasakan oleh si pemiliknya.

Lantas bagaimana tindakan saya pribadi dalam mengatasi hal ini? Bagi saya cukup mudah, tak perlu bertekad untuk puasa Instagram, toh sampai saat ini saya tetap asik menggunakan Instagram. 

Hanya saja, yang perlu saya lakukan adalah mengubah sedikit cara berpikir saya dalam menggunakan aplikasi luar biasa tersebut. Adalah jika mereka bisa terlihat bahagia di dalam Instastory, mengapa tidak saya ciptakan kebahagiaan yang sesungguhnya meski tak terlihat dalam Instastory?

Karena sejatinya yang merasakan bahagia atau tidaknya seseorang adalah perasaan si pemilikinya sendiri. Melainkan bukan pada Instastory yang sewaktu-waktu bisa mengikat penggunanya dalam kepalsuan. Salam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun